28). The Answer

47 11 21
                                    

I'm gonna throw myself to you. -E.F.

*****

Elina masih ingat asal muasal impiannya menjadi aktris. Berawal dari sinetron Eneng dan Kaos Kaki Ajaib yang pernah viral pada masanya, dia sukses dibuat jatuh cinta saat menonton aktris cilik berbakat bernama Jessica Anastasya. Pun pada Dea Anissa yang sering 'berlangganan' melakoni banyak judul sinetron lain.

Awalnya sebatas suka yang bermakna takjub sebelum berlanjut menjadi obsesi seiring bertambahnya usia. Bisa dibilang, Elina mempunyai alasan kuat mengapa dia begitu tergila-gila pada dunia hiburan. Selain visualnya yang mendukung, dia membutuhkan kemampuan akting agar bisa dipraktekkan dalam dunia nyata.

Katakan Elina munafik, tak apa-apa, karena gadis itu sudah sering menertawakan diri sendiri. Di saat hidupnya dididik otoriter, di saat kehidupannya diatur, dan di saat dia merasa hidupnya seperti boneka, Elina membutuhkan distraksi untuk menyembunyikan perasaan. Dengan menirukan watak semerdekanya, bisa dikatakan bakat tersebut semakin terasah.

Elina tentu ingin mewujudkan impian tersebut. Hanya saja, sepertinya semesta tidak rela karena dia dihadapkan pada pilihan yang rumit. Ibarat berada di suatu titik perjalanan, kini dia harus memilih salah satu dari dua pilihan jalan yang membentang di hadapannya.

Antara jalan rusak dengan jalan yang sudah direnovasi. Antara Krisna Pramudya dengan Andre Liam. Antara cinta dengan impian.

Cinta... apakah Elina sudah mengaku bahwa dia cinta pada Krisna?

Seharusnya bukan, tapi kenapa rasanya sakit, ya, saat ngelihat dia jalan sama cewek lain?

Sepasang netra Elina berfokus pada satu titik, di mana lensanya membidik ke arah sepasang muda-mudi yang sedang berbicara dengan seseorang yang penting. Suara bising terdengar di mana-mana, selayaknya proyek pembangunan yang berproses setengah jadi.

Elina beruntung karena Andre tidak berada di sisinya saat ini, pun duo Krisna-Meira yang kini asyik berdiskusi setelah puas bertanya.

Gadis itu tahu sebesar apa obsesi Krisna pada pelajaran, yang seolah sudah mendarah daging sejak menjadi anak sekolahan, tetapi baru disadarinya jika dia bisa seluwes itu saat sekelompok dengan cewek. Jika ditilik dari bagaimana aktifnya dia saat merespons dan mengizinkan Meira mengambil alih buku catatannya, entah kenapa berhasil memberi sensasi cubit dalam ulu hati Elina.

"Elina."

"Y-ya?" Elina terhenyak. Niatnya mau menyembunyikan ekspresi asli, tetapi terlambat gegara setetes air mata yang berhasil turun ke pipinya. Dengan sangat terpaksa, gadis itu membuang wajah ke arah lain atau ke mana saja untuk menghindari Andre.

"E-Elina. Kamu.... Ada apa?" Suara Andre terdengar panik.

"Oh... ada debu di sekitar sini, jadi rasanya perih aja kena mataku." Elina tertawa, terlampau sukses menunjukkan kemampuan aktingnya yang mumpuni. Tindakannya memang seolah menunjukkan jika netranya kelilipan debu. "Maaf, Andre. Aku mau pulang aja, ya?"

"Oh, iya. Nggak apa-apa, kok. Kebetulan udah selesai. Aku malah nggak ketemu sama mahasiswanya karena udah keburu di-handle sama kepala insinyur yang lain."

"Ya, udah. Yuk." Elina mau berbalik. Sebelah tangannya masih menempel di wajah, tepatnya di dekat mata. Lantas siapa sangka, Andre malah salah paham dengan mengira gadis itu membutuhkan bantuan.

"Mata kamu nggak enak banget, ya?" Kecemasan Andre semakin menjadi-jadi. "Hmm... maaf banget, ya? Gara-gara aku ajak ke sini, mata kamu jadi korbannya. Mungkin kamu nggak pernah ke lapangan model ginian, apalagi belum beradaptasi sama situasi ribut kayak gini."

"Nggak apa-apa, Andre." Elina berbalik lagi untuk kedua kalinya, tetapi cowok itu masih menahannya atau dengan kata lain, menghadang dengan memosisikan diri di depannya.

"Sebelumnya... sori lagi, ya? Aku minta izin...."

"Hah?"

Elina belum kunjung mengerti, tetapi Andre sudah telanjur mencondongkan tubuh ke depan, yang sepaket dengan kedua tangan untuk menyentuh masing-masing sisi wajah gadis itu.

Sepasang netra Elina segera membola ke bukaan maksimal, jelas tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu di hadapan orang banyak, terlebih sikap Andre yang santai saja seolah itu bukan hal besar.

Keduanya seolah masuk dalam dunia FTV; Andre berusaha meniup mata Elina, memperlakukannya seolah anak kecil yang membutuhkan kasih sayang selembut mungkin, sedangkan gadis itu bergeming dengan ekspresi yang luar biasa kaget.

Faktanya tidak salah menyebut mereka demikian karena di antara hiruk pikuk keramaian yang membuat oleng gegara suasana romansa itu, Krisna juga menyaksikan dengan bahasa tubuh yang dramatis layaknya memerankan adegan klimaks dalam cerita.

Meira juga menyusul meski terlihat dari ekspresinya, dia seolah sudah bisa menebak apa yang sudah digariskan.

"Pilihan lo ada dua; menerima atau menyangkal. Lo bisa putuskan sekarang."

Krisna bungkam, tetapi Meira tahu bahwa kata-katanya sudah masuk ke dalam indra pendengarannya.

"Kalo menerima... lo bisa berbalik dengan elegan dan melanjutkan tugas kita, sedangkan jika menyangkal... lo bisa teruskan langkah dan merebut Elina dari Andre."

"Menyangkal apa?" Berbanding terbalik dengan ucapan Meira yang terdengar lugas, kata-kata Krisna terdengar begitu pelan hingga tak ada bedanya dengan bisikan.

"Takdir." Meira menjawab, "Terkadang kehadiran seseorang bukan berarti menjadi jodoh kita, melainkan memberi kita semacam pelajaran untuk memaknai apa intisarinya.

Lo udah baca, kan, arti judul 'Kerang' yang gue namai di folder khusus tentang lo dan dia?" Meira melanjutkan. Tatapannya juga ikut dilayangkan jauh ke depan, di mana lensanya membidik ke arah duo Elina dan Andre. "Cinta beda agama itu kayak dua mata pisau yang berbeda. Kalo lo yakin bisa melaluinya, cangkang lo akan naik level. Sebaliknya? Lo tau sendiri apa ending-nya.

Gue bukannya mau menggurui lo, tapi agama nggak segampang itu disatuin. Lo mungkin bisa pindah agama, pun Elina. Tapi gimana dengan keluarga kedua belah pihak? Apakah mereka akan meng-amin-kan kedua iman itu? Memang, sih, nggak ada yang mustahil, tapi nggak akan ada gunanya kalo kekuatan cinta lo hanya sebesar biji sesawi. Gue dapet istilah 'biji sesawi' dari ajaran Kristen, betewe."

Krisna masih memilih diam, tetapi helaan napasnya terdengar dalam dan panjang. Meski sulit menerima, tetapi nyatanya dia tidak membantah.

Krisna sudah mulai mengerti, hanya saja, dia masih ragu untuk mengambil keputusan.

"Perjalanan kalian masih panjang. Kita semua masih muda. Lo suka sama seseorang, belum tentu bakal jadi pendamping lo di masa yang akan datang. Mau lo segitu cintanya sama dia, belum tentu dia bakal jadi jodoh lo. Saran gue, jalani aja. Nggak ada larangan buat jatuh cinta, tapi inget, jangan berlebihan. Segala sesuatu berlaku sama. Berlebihan bisa jadi racun. Sama halnya dengan berat badan juga, toh? Kegemukan bisa bikin obesitas yang merangsang banyak penyakit. Cinta juga demikian, jadi--"

"Gue paham. Plis, nggak usah bawel."

"Oke, so... apa keputusan lo?"

Bersambung

Run Towards You • EROS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang