11). Exactly The Truth

50 15 22
                                    

Beyond this night
Trapped in a moment. -E.F.

*****

"Kalo itu yang Papi tanyakan, dengan senang hati aku bakal jawab 'tidak'!" Netra Elina berkilat saat mengucapkan kata-kata itu sementara Edwin terkesiap meski dilakukan dengan cara elegan; rahang mengeras dengan tatapan yang menghujam galak. Sepintas, caranya menatap mirip dengan sang anak setiap berhadapan dengan orang asing.

"Tau nggak, sih, Pi? Aku juga manusia biasa yang bisa iri sama orang. Aku nggak pernah punya temen curhat. Aku selalu menampungnya sendiri. Waktu SMA, aku ngerasa senasib banget sama Ferdian--oh iya, Papi nggak mungkin tau siapa dia. Bahkan nggak ada satu pun yang tau. Kalaupun ada, cuma si Mbok yang ngerti."

Elina terdiam sejenak, mulai merasakan sakit di bagian paru-parunya. Seharusnya gadis itu sudah terbiasa karena gejala ini bukan kali pertama. Sebelum dekat dengan Krisna, rasa sakit itu berlangsung secara rutin yang tak ada bedanya dengan orang penyakitan yang harus minum obat sebanyak tiga kali sehari.

Ya, sesakit itu. Ketika seorang remaja identik dengan masa pencarian jati diri dan membutuhkan sandaran, gadis itu tidak mendapatkannya. Dia dituntut mandiri dan melakukan segalanya sendiri.

"Mirisnya, aku merasakan kebahagiaan dari orang lain." Elina melanjutkan, kembali menyugar rambutnya agar terlihat keren dan menjiwai, tetapi nyatanya, itu adalah usahanya untuk menyembunyikan air mata yang bersiap untuk tumpah.

Edwin tidak mau berkomentar, terlihat dari ekspresi elegannya yang masih bertahan. Oleh karenanya, Elina berpikir tidak ada gunanya berlama-lama di ruangan itu. Dia lantas membalikkan tubuh dan melangkah ke pintu.

Tangan Elina sudah menempel di kenop pintu ketika suara Edwin tiba-tiba menggelegar, berhasil memberi sensasi kejut hingga bulu kuduknya meremang. "Terkadang komunikasi antara orang tua dan anak tidak menemukan titik temu; entah karena jarang ngobrol atau ketidaksinkronan sifat, tapi percayalah, tidak ada orang tua yang mau bermusuhan dengan anaknya sendiri. Sekarang kamu marah dan benci Papi, tapi beberapa tahun kemudian kamu akan mengakui bahwa apa yang Papi bilang benar adanya. Terimalah Andre sebagai jodohmu."

Gantian Elina bungkam. Dia berniat untuk mengabaikan sang ayah, bahkan tangannya sudah memutar kenop hingga pintunya terbuka, tetapi gerakannya terhenti di saat-saat terakhir. Ada sesuatu yang seolah membuncah di otaknya, semacam mendapat ilham dan berhasil memberinya dorongan hingga dia seolah mendapat pencerahan.

Lantas, gadis itu berbalik dan berucap, "Thanks, Pi. Aku juga jadinya nggak mau bermusuhan sama orang yang nggak seharusnya aku musuhi. Di sini, Papi mengajarkan aku untuk terus bersikukuh pada pendirian. Juga... mengajarkan untuk berserah pada takdir. Biarkan semesta yang memainkan perannya dan aku akan terima."

"Elina, jadi kamu masih mau bergaul sama anak Muslim itu?" tanya Edwin dengan ekspresi tidak terima. "Kenapa kamu harus menentang sesuatu yang sudah diatur mudah untuk kamu? Andre kurang apa lagi buat--"

"Aku udah biasa nemuin kesempurnaan, tapi nggak untuk kebahagiaan, Pi."

"Kalo gitu, Papi ganti..." Edwin melangkah lebar menuju pintu dan mendorongnya dengan sekali entakan hingga pintu tersebut menutup kembali. "... kamu milih dia karena sengaja, 'kan? Sengaja supaya bisa menentang Papi?"

"Menurut Papi?"

"Jangan main api, Elina." Larangan itu sarat akan peringatan yang kentara, bahkan terwakili dari sepasang mata Edwin yang melebar.

"Itu juga peringatan Krisna, btw." Elina berujar, lebih kepada dirinya sendiri. Gadis itu lantas menatap sang ayah lamat-lamat, menunjukkan sebesar apa obsesinya. "Jangan main api seolah-olah aku anak nakal yang nggak tau konsekuensinya. Memang benar jangan mempermainkan cinta, tapi who knows? Nggak semua api berpotensi kebakaran karena api juga melindungi kita dari kegelapan. Aku butuh terang dan Krisna bisa jadi penerang itu. Atau Andre? Aku nggak tau."

"Elina, kenapa kamu jadi mempermainkan perasaan dua cowok?"

"Kehausan akan kasih sayang keluarga nggak cukup aku dapatkan. Lantas, ketika aku mendapatkannya dari orang lain, apa aku salah jika menolaknya? Mungkin benar yang Papi bilang kalo aku sengaja menentang Papi. Anggap aja demikian, tapi yang penting bagiku, aku mau menemukan kebahagiaan sendiri."

"Elina."

"Aku bahkan rela pindah agama jika takdirku memang Krisna. Toh, banyak juga cinta beda agama, 'kan?"

"Elina!"

"Anak bungsu pebisnis Delli and Della Group..." Elina menerawang dan mulai menyeringai. "... kurasa nggak buruk, Pi."

"ELINA! Kenapa kamu jadi begini?"

"Karena aku tau permainan Papi. Perjodohan itu nggak akan selesai sampai di sana aja. Aku tau rencana Papi. Impian aku jadi artis nggak akan pernah direalisasikan. Bener, 'kan?"

Bungkamnya Edwin memancing seringai dalam di bibir Elina meski ekspresinya gagal totalitas karena matanya memerah demi menahan tangisan lagi.

"Papi sebenci itu sama dunia entertainment, jadi nggak pernah menduga jika aku bakal suka bidang itu. Karakter Papi yang perfeksionis nggak akan bisa nerima jika yang berhubungan dengan Papi memiliki celah. Nggak usah jauh-jauh. Buktinya, ada Kak Shelina yang impiannya harus dikubur gara-gara Papi.

Aku nggak mau mengikuti jejak Kakak. Aku mau bahagia dengan cara aku sendiri." Elina melanjutkan dengan nada dingin. "Jadi, plis, Pi. Jangan halangi aku. Dengan iya-nggak-nya aku mau meraih impian sebagai artis atau iya-nggak-nya aku berakhir sama Krisna, Papi nggak berhak ikut campur. Aku tetap berhak atas keinginan aku sendiri. Aku, toh, udah dewasa."

"Elina, Papi juga memberikan yang terbaik buat Kak Shelina--"

"Tapi dia nggak bahagia, Pi."

Edwin lagi-lagi sukses dibuat bungkam oleh kata-kata anak bungsunya.

"Anggap aja aku anak bungsu yang perlu dimanja. Untuk sekali ini aja, Pi. Plis, biarkan aku berekspresi."

"Kamu bakal menyesal, Nak." Kali ini, raut wajah Edwin melunak. Kentara sekali ekspresinya berubah murung, seolah-olah menjelaskan secara gamblang bagaimana dia bernostalgia dengan masa mudanya. "Papi nggak mau kalian menyesal."

"Kayaknya ada kaitan sama masa lalu Papi, ya?" Elina ikut-ikutan melunak, merasa peka dengan mimik wajah papinya. "Tenang aja, Pi. Aku bakal nunjukin kalo aku beda dari masa lalu Papi."

"Ini demi kebaikan kamu, Elina. Dengerin Papi, ya?"

"Nggak, Pi. Setelah aku ngomong sama Papi, aku baru sadar kalau aku salah karena menjauhi Krisna. Aku seharusnya ngasih dia kesempatan."

"Elina, tidak baik berada di antara dua pria. Dulu Papi juga demikian dan--"

"Intinya aku belum mau menikah, Pi. Aku masih muda, aku masih perlu nyari banyak pengalaman. Itu aja yang aku butuhkan dari Papi."

"Elina...."

"Kalo aku gagal, setidaknya aku udah berusaha. Sama seperti impian aku menjadi artis, biarkan aku berusaha juga, Pi."

Edwin terdiam, hanya bisa memandang binar Elina yang sarat akan obsesi yang menggebu-gebu, ibarat lempengan besi yang sudah telanjur solid.

Bersambung

Run Towards You • EROS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang