8). Krisna's New Problem

64 18 16
                                    

Our chemistry has over. -E.F.

*****

Pendramaan pun terus berlanjut hingga ketiganya tidak sadar bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang terus mengawasi, yang diikuti oleh banyak pasang mata lain termasuk temannya, Cecilia.

Bukannya Meira suka keributan. Dia hanya gemar mengamati fenomena para dewasa muda, khususnya responden yang berada dalam ruang lingkup mahasiswa demi kebutuhannya sendiri, yaitu menulis kutipan panjang bergenre romansa yang nantinya akan dimasukkan ke dalam video yang diedit oleh Cecil, kemudian dikemas apik dengan gambar serta lagu-lagu yang sedang viral.

Berawal dari celetukan teman seangkatan. Katanya, mereka akan menjadi rekan kerja yang solid berhubung keduanya memiliki hobi yang saling melengkapi. Lantas, siapa sangka konten yang mereka coba bagikan di kanal YouTube berhasil masuk topic trending dan mendapat banyak subscribers. Meira sendiri tidak tahu mengapa bisa, sampai-sampai dia mendapatkan salah satu review yang menyatakan bahwa video tersebut benar-benar relate dengan apa yang mereka hadapi dalam dunia nyata.

Meira senang, tetapi dia tidak bersedia mengekspos dirinya ke publik. Gadis itu memang tipikal yang tidak enjoy dengan kehebohan dan dalam hal ini, menjadi populer juga sama mengerikannya. Dia lebih suka situasi seperti ini, di mana dia bisa melakukan apa yang dia inginkan tanpa perlu diperhatikan.

Cukup, karena tanpa mengunjukkan diri saja, dia sudah famous dengan cara yang sebenarnya tidak dia harapkan.

Seperti populer di antara para lelaki, misalnya.

Ya, Meira boleh saja kalah dari Elina karena warna kulitnya yang kuning langsat, tetapi kecantikannya melokal. Gadis itu mempunyai vibes seperti gadis berdarah ningrat yang ayu meski tingkah lakunya menunjukkan sebaliknya.

Gadis itu cenderung galak dan tidak senang berbasa-basi. Mirip Elina, tetapi lebih parah. Jika dianalogikan dalam level kepedasan; Elina itu tingkat tiga, sedangkan Meira level tujuh.

Ada alasan mengapa dia berlaku demikian. Karena kalau kata abahnya....

"Yang berbahaya itu justru yang banyak haha-hihi-nya," tutur Meira, menjawab rasa penasaran Cecil suatu kali. "Nggak usah jauh-jauh, cek aja kamus psikologi; jika seseorang suka tertawa terbahak-bahak bahkan untuk hal sepele, maka kemungkinan besar dia sedang merasa kesepian."

"Trus kenapa berbahaya?" tanya Cecil lagi. "Kalo soal kesepian, semua orang merasakan itu karena orang yang datang tetap akan pergi pada akhirnya."

"Memang, tapi kenapa harus paksain tertawa ketika seharusnya kamu bisa biasa-biasa saja? Apalagi untuk hal sepele, kurasa jatuhnya jadi munafik."

Ya, begitulah karakter seorang Kristina Meira sehingga cukup meyakinkan banyak orang untuk tidak mendekat. Baginya malah bagus karena di sisi lain, dia juga tidak suka memiliki banyak teman.

Lebih baik baginya; satu teman, tetapi tidak munafik.

Meira mengeluarkan memo kecil beserta pulpen dari dalam tas punggung, sedang bersiap untuk menuangkan sejumlah ide ketika Cecil menyikut lengannya pelan. "Mei."

"Hng?" Meira masih sibuk menulis, jadi hanya bergumam sekilas sebagai tanda bahwa dia mendengarkan.

"Tuh, lihat. Kayaknya bakal runyam, deh. Tadi aku denger dari bisikan anak-anak, katanya cewek Tionghoa itu mau pindah ke Trisakti."

"Oh, ya?" tanya Meira takjub. Akhirnya atensinya beralih ke Cecil sekilas sebelum berpindah ke trio muda-mudi yang telah menjadi perhatiannya selama setengah jam terakhir.

Benar saja, sepertinya akan terjadi keributan karena cowok utama telah menarik gadis itu untuk ikut bersama, lebih tepatnya dengan cara kasar yang spontan dicegah oleh Andre.

Ya, soal Andre, Meira memang mengenalnya. Wong, mereka satu kampus meski bukan dari departemen yang sama. Meira jurusan Teknik, sedangkan Andre jurusan Manajemen. Pun, kedudukan cowok itu dua tingkat di atasnya.

"Hooo... bakal nambah bumbu pendramaan kalo gitu. Bagus buat konten kita."

"Bener. Berarti bisa banget kamu stalking ketiganya di kampus. Malah jadinya lebih leluasa, 'kan?"

"Ketiganya?" ulang Meira, seolah sedang memastikan apakah indra pendengarannya berfungsi dengan semestinya atau tidak.

"Iya, denger-denger makin runyam karena si cewek yang FWB-an sama cowok ganteng, mutusin dia secara sepihak—–eh, cocok bilang mutusin nggak, sih? Berhubung keduanya belum pernah pacaran."

"Trus?"

"Ya, itu. Denger-denger, si kating dijodohin sama cewek Tionghoa, makanya disuruh pindah ke Trisakti, di kampus yang sama."

"Trus 'ketiganya' tadi maksudnya apa?"

"Cowok satu itu, kan, asalnya juga dari Trisakti."

"Hooo... aku malah baru tau."

*****


Krisna kembali ke kampus dengan langkah lunglai. Perasaannya bercampur aduk, tetapi yang paling menonjol adalah rasa gengsi bercampur malu karena merasa di-'kalah'-kan oleh Andre.

Dia baru mendapati jarak yang sangat jauh antara dirinya dengan Elina atau dengan kata lain, dia jauh dari layak untuk gadis itu.

Soal beda agama... oke, dia bisa menanganinya karena itu bukan satu-satunya penghalang di saat banyak pasangan menghadapi kasus serupa, lantas bisa menikah dengan cara lain; antara pindah agama atau menikah di luar negeri. Keduanya memang tidak gampang, tetapi Krisna yakin ada solusi yang bisa mereka ambil sebagai jalan tengah.

Kemudian... soal strata sosial. Elina berasal dari keluarga berada, agak jauh dari Krisna yang masuk golongan menengah ke bawah meski tidak terlalu merakyat.

Krisna bisa saja tetap bersikukuh untuk tidak melepaskan Elina, tetapi kata-kata Andre dua jam yang lalu seolah menamparnya.

"Lo dukung dia, 'kan? Maka, biarkan Elina yang memutuskan."

"Dia bilang impiannya mungkin bisa terwujud kalo jadi nikah sama lo." Krisna berujar dingin. "Itu sama aja kayak memaksakan dia dan lo dengan gampangnya nyebut 'dukung'?"

"Jika akhirnya Elina masih mau mempertahankan lo, dia bisa memutuskan perjodohan ini kapan pun juga dan gue yang akan ngomong langsung ke papinya Elina."

"Nah," kata Krisna sebelum memandang langsung ke Elina dengan perasaan lega. "Lo bilang aja langsung kalo—–"

"Krisna, apa lo harus denger jawabannya lagi dengan kata-kata yang lebih kasar?"

"Elina...."

"Lo coba mikir, deh. Kalo gue memang punya perasaan yang sama, kalo gue memang menganggap lo penting, tanpa bantuan Andre, gue juga bisa ngomong atau bahkan memberontak demi lo. Tapi faktanya nggak ada sedikit pun usaha yang gue lakuin buat lo. So, kesimpulannya? Masa iya, lo masih nggak paham?"

Krisna terdiam, lebih mengacu pada fakta kalau dia baru sadar sedang diperhatikan oleh banyak mahasiswa UPH, terlebih dipermalukan di depan jodoh Elina.

Tadinya, dia berusaha berpikir positif dengan keadaan Elina yang memerlukan sejumlah waktu untuk menenangkan papinya dengan iming-iming menerima perjodohan sekaligus memberi peringatan pada Krisna karena tidak kunjung memberi kepastian tentang mau dibawa ke mana hubungan mereka. Jika dipikir-pikir, dia sempat mengira situasinya mirip dengan Ferdian yang pernah menggantung perasaan Luna selama empat tahun.

Ternyata... tidak demikian. Rupanya hanya Krisna yang berharap. Rupanya hanya Krisna yang berjuang sendiri atas cintanya. Dan rupanya... hanya Krisna yang baper.

Bersambung

Run Towards You • EROS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang