Ch. 27: Seems like you are the only exception

Start from the beginning
                                    

"Menurut lo?" tanyaku balik, jengkel.

Aku memutar kedua bola mataku kemudian memilih untuk bungkam. Tanpa berniat memenuhi rasa penasaran Haris, aku kembali meneguk air putih.

Meski sudah lebih dari dua bulan hubunganku dengan Damar berakhir, aku masih enggan untuk membicarakan sesuatu yang menjadi bukti nyata kegagalanku dalam mempertahankan suatu hubungan serius. Belum lagi pembicaraanku dengan Damar yang terakhir kalinya masih sering mengusikku. Walaupun Lisa dan Adam berkali-kali mengatakan bahwa ambisiku bukanlah sesuatu yang patut disalahkan, tetap saja aku tidak bisa memungkiri bahwa ambisi itu juga yang menyebabkan hubunganku dengan Damar berakhir.

Seolah mengerti rasa ketidaknyamanku, aku merasakan Aksa menepuk punggungku, seperti berusaha menenangkanku. Aku menoleh kepada Aksa yang sedang menegur Haris dan mulutnya—yang kalau mengutip perkataan Aksa, terlalu sampah. Aku menghela napas pelan. Meski terdengar tidak masuk akal, gestur kecilnya itu berhasil membuat suasana hatiku sedikit membaik.

"Melihat Haris bikin orang tersinggung nggak tahu kenapa bukan hal yang aneh lagi," celetuk Kevin sambil berdecak. Aku hanya tersenyum tipis mendengar keluhannya itu. "Apa kabar, Lun? Udah lama juga kita nggak ketemu."

"Lo nggak datang waktu pernikahan Lisa, ya?" tanyaku.

"Ada dinas ke luar kota," balas Kevin ringan. "Omong-omong, tiga bulan lagi gue mau menikah." Mataku membulat ketika mendengar ucapannya. "Berhubung masih ada sisa undangan, nanti undangan punya lo, gue titipin ke Aksa, ya?"

"Congrats, Kev!" ujarku tulus. "Soal undangan itu gampang, lah." Aku mengibaskan tangan seraya tertawa singkat. "Lo juga bisa titipin ke Lisa atau Adam. Atau ke Haris juga nggak apa-apa. Soalnya gue ada proyek di perusahaannya, jadi lebih gampang kalau mau janjian."

Kevin mengangguk. "Oke. Nanti gue titipin ke Aksa atau Haris aja."

Sekitar lima belas menit setelah aku bergabung dengan mereka, Haris berpamitan untuk ke kamar mandi sedangkan Aksa beranjak untuk menyelesaikan pembayaran di kasir. Aku menopang dagu sambil melihat Aksa yang sedang mengantre. Tangannya bertumpu pada pinggang sedangkan tangannya yang lain sibuk memegang ponsel di telinga. Dilihat dari wajahnya yang tampak tegas, sepertinya itu telepon yang berhubungan dengan pekerjaan.

"You guys look good together," cetus Kevin, membuatku menoleh ke arahnya.

Aku mengernyit lalu tertawa pelan. "Gue sama Aksa nggak ada apa-apa," ujarku, mengalihkan pandangan dari sosok laki-laki yang selama beberapa minggu terakhir rutin menghubungiku di sela-sela kesibukannya. "Cuma teman, Kev."

"Nggak ada yang tahu ke depannya gimana," balasnya dengan senyum tertahan. "Ini mungkin terdengar menjijikan dan gue juga ogah banget buat ngomong gini di depan Aksa—tapi, gue senang melihat Aksa mau coba buat memulai hubungan baru. Setelah dia putus dengan Amanda, dia nggak pernah kelihatan ada niat buat pacaran lagi. Walaupun gue sama Haris udah kenalin dia sama beberapa teman kami, ujung-ujungnya berhenti di tengah jalan. Aksa terlalu pasif."

"Terlalu pasif?" Tawaku tersembur begitu saja. Mengingat apa yang dia lakukan kepadaku selama beberapa minggu terakhir, kata pasif adalah kata yang tidak cocok untuk menggambarkannya. "Dia sama sekali nggak kelihatan pasif."

"Seems like you are the only exception."

Jantungku melewati satu detakan ketika mendengar penuturan Kevin. Mulutku terbuka tetapi tidak ada kalimat apapun yang mampu kukatakan untuk menanggapi ucapan laki-laki itu, maupun menyuarakan berbagai pertanyaan yang akhir-akhir ini menetap di benakku. The only exception.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now