Happily Ever After

485 54 14
                                    

Perpustakaan semi outdoor Mama hampir rampung, rak-rak buku pesanan sudah datang, buku-buku juga sudah mulai diangkut dan siap untuk disusun. Satu sofa panjang dari ruang nonton dipindahkan ke belakang, Mama bilang untuk menghemat bujet.

Ai mengangkat kedua kakinya ke sofa, membaca buku dongeng The Stupid Duckling yang baru saja ditemukan Bik Nana ketika memindahkan beberapa kotak buku dari gudang.

Warna-warninya sudah mulai lusuh dan ada beberapa halaman yang koyak. Buku tersebut seperti menyedot pikirannya ke beberapa kejadian di masa lalu. Suatu masa ketika ia belum jatuh cinta dan ketika keluarganya masih baik-baik saja. Namun, sudahlah, perubahan juga salah satu komponen dari kehidupan, kan?

Itu harga mati yang harus diterima dan diikhlaskan, meskipun sulit.

Embusan napas berhasil meloloskan diri dari mulut Ai, bersamaan dengan buku yang ditutup. Gadis itu mengelus sampulnya dan berdiri dari sofa. Ia berjalan menuju rak, lalu menaruh buku tersebut di sana. "Lo dongeng pertama yang gue baca pas udah lancar baca. Bae-bae di situ."

Ai berbalik badan, mengambil cat yang tadi diletakkan di atas meja kayu, lantas mendekat ke Bintang yang sedang membuat mural abstrak warna pastel di salah satu dinding taman belakang.

"Eh, udah di pasang," gumam Ai menunjuk ayunan rotan tak jauh dari Bintang.

"Jangan duduk itu belum-"

"Akhh!" Ai dan ayunan sudah menghantam tanah, cat di tangannya jatuh dan tumpah mengenai tubuhnya.

Bintang menoleh dengan raut terkejut, tetapi terbahak ketika melihat Ai berlepotan. Cowok itu menyimpan catnya, lalu mendekat melihat kondisi Ai. "Bilang jangan duduk. Tukangnya baru coba-coba, keluar bentar buat beli bahan tambahan," katanya sambil menarik tangan cewek itu untuk berdiri. "Sakit nggak?"

"Iyalah, lo kira gue jatuh di kasur." Ai mengusap-ngusap bokongnya yang ngilu. "Kenapa nggak kasih tahu, sih," protes Ai bersungut-sungut.

"Udah, Bego. Lo aja budek."

"Jangan panggil gue bego," sahutnya kesal tanpa ekspresi.

"Terus apa? Sayang?" tanya Bintang, sebelah alis tebalnya menukik.

Mata Ai memicing. "Dasar gila." Ia melengos, pergi dari hadapan Bintang untuk mengambil cat baru.

Bintang terkikik dan kembali ke tempat kerjanya. "Cuci muka dulu, celemek lo ganti."

Ai menggeleng. "Nggak masalah. Kotor itu belajar." Dari pintu kaca ia melihat pantulan dirinya yang membiru. Kalau yang dilihatnya adalah Ai sebulan yang lalu, sosok itu pasti sudah bergegas kabur ke kamar untuk menganti pakaian, takut Yaka tiba-tiba datang dan menemukannya dengan wujud berantakan. Ia tak akan sudi menyuguhkan pemandangan ikatan rambut yang mencuat serta wajah dan tubuh dipenuh noda.

Namun, sekarang gadis itu tak peduli.

Ai mendengkus geli. Sempat kehilangan kompas, yang membuatnya terombang-ambing di lautan, lalu karam diterpa kekecewaan, tetapi setelah itu berhasil menemukan sesuatu yang patut ia cintai dan hargai lebih dari apapun. Sesuatu yang disebutnya diri sendiri.

***

Hari terus berganti, si Buruk Rupa bertumbuh besar. Petani memutuskan untuk melepasnya ke kolam. Saat itulah ia melihat pantulan dirinya pada air jernih.

"Astaga! Aku sudah berubah sekali! Aku hampir tidak mengenali diriku." Kumpulan angsa turun ke kolam, saat si Buruk Rupa melihat mereka, ia menyadari bahwa angsa-angsa cantik itu persis dengan dirinya. Selama ini ia memang bukan bagian dari para bebek, tapi jenis yang lain.

Kemudian ia mendengar anak kecil di tepi sungai berkata, "Lihatlah angsa muda itu! Cantik sekali!"

Sejak saat itu angsa hidup bahagia dengan keluarga barunya.

THE END

The Stupid Duckling ✔Where stories live. Discover now