Had a Rough Day

101 37 3
                                    

Teriakan Mama masih tergiang-ngiang di benak Ai, layaknya salah satu aplikasi belanja daring yang selalu menongol berulang-ulang pada iklan TV bahkan Youtube, apalagi kalau lagi diskon. Ia tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan itu, tapi ketika bertemu Mama tadi pagi, rona wajahnya biasa-biasa saja. Bahkan mata Mama tidak terlihat sembap—kondisi umum para perempuan setelah bertengkar.

Masalah itu juga menghancurkan konsentrasi belajarnya. Walaupun selama ini Ai tidak pernah berkonsentrasi penuh, setidaknya ia berusaha memperhatian penjelasan guru sampai dua alisnya yang terpisah sejak lahir bertemu. Namun, tadi ia lebih banyak bengong, perasaanya mengganjal.

"Kenapa lo?" tanya Lila dan memasukkan bukunya ke dalam tas. "Perasaan semalam lo on fire."

Ai mendesah, bahunya turun. "Semalam kayaknya ortu gue bertengkar, deh."

Alis Lila mengerut. "Papa lo pulang?"

"Nggak," jawab Ai tak bersemangat. "Gue nggak sengaja dengar Mama ngomong di telepon."

"Wajar itu. Ortu gue juga, sering malah. Apalagi kalo Mama gue terus-terus belain kakak gue yang badungnya Nauudzubillah dan Papa gue nggak setuju. Tapi abis itu mereka mesra lagi."

Ai menatap Lila sembari menimbang kata-kata sahabatnya. "Papa gue udah jarang pulang, La. Alasannya sibuk."

"Kali aja beneran sibuk. Tetap pikir positif, kita nggak bakal ngerti. Gue lihat Mama lo baik-baik aja, tuh. Doain aja yang terbaik. Lo jangan mikir macam-macam." Lila menepuk-nepuk bahu Ai pelan. "Oke. Gue malas lihat lo lemes."

Ai memutar bola mata, setengah mendengkus setengah tertawa. Memang akhir-akhir ini rona Mama terlihat lebih cerah dibanding sebelumnya. Namun, Papa menjelma menjadi Bang Toyib yang jarang pulang. Kendatipun masih "bersua" via telepon tetap saja rasanya beda.

"Yuk, ngantin." Lila berdiri di samping meja sambil merapikan seragamnya.

"Lo duluan aja. Gue mau nelpon Papa dulu."

Lila mengangguk. "Mereka pasti baik-baik aja. Gue duluan."

Ai merogoh ponsel dari kocek roknya, lalu menghubungi Papa. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, menunggu bunyi putus-putus itu berubah menjadi suara. Namun, tidak terjawab, ia melakukan percobaan kedua ... juga gagal.

Gadis itu mendesah, tapi detik itu juga ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.

Papa lagi ada pertemuan. Minggu ini Papa pulang, kok. Jgn main Hp di sklh.

Seketika bibir Ai membentuk senyuman. Kabar itu melepas ganjalan di hatinya.

Dengan perasan yang lebih ringan Ai menyusul Lila ke kantin, memotong jalan melewati taman depan kelas. Manik matanya menemukan Bintang sedang berlari guna memasukkan bola ke jaring. Sejurus kemudian terdengar sorakan para pemuja cowok itu. "Ihh ... apa nggak bau matahari itu."

"Kak Ai, Awas!"

Ai melihat bola terbang ke arahnya. Refleks kakinya mundur dan tersandung beton pembatas taman. Tubuhnya oleng ke belakang, jatuh terlentang di atas ruellia yang sedang bermekaran.

Sialan.

Lalu, apa yang akan ia lakukan sekarang? Berdiri tegak atau pura-pura pingsan?

***

Ai belum sempat memutuskan, Bintang sudah datang lebih dulu. Setelah itu bayangan tentang gendong ala bridal, hapus saja. Piggyback? Tidak juga. Cowok itu datang mendekat, kemudian terbahak, begitu juga yang lain. Cowok rese itu hanya bilang, buruan bangun kalau nggak gue seret. Dengan patuh ia bangun dan mengikuti Bintang ke UKS.

The Stupid Duckling ✔Where stories live. Discover now