Sebuah Akhir

35.8K 3.9K 361
                                    

Sergi melirik arlojinya dengan tak percaya. Sudah dua jam ia menunggu di sofa tunggu ini, tapi mereka belum juga mengantar Oma keluar dari ruangannya.

Para staf berjalan hilir mudik di hadapannya seperti gasing rusak, acuh dan sebodoh amat. Padahal sudah lebih dari sepuluh kali ia mendatangi meja resepsionis untuk menanyakan hal yang sama.

Dan mendapat jawaban yang sama pula. "Dokter Jaya lagi nggak ada, Mas. Harus minta tanda tangan beliau untuk surat kepulangan."

Sergi mendesah putus asa. "Nggak ada dokter lain di sini?"

"Dokter Jaya yang biasa menangani Bu Ratih."

"Kalau gitu boleh saya minta nomor teleponnya?"

"Nggak bisa."

Sergi menahan geram. Ditolehkannya kepala ke sekeliling, pada staf yang hilir mudik sibuk entah apa padahal lantai ini sepi, juga pada para resepsionis yang tidak menghiraukannya sejak tadi. Emosinya tersulut. Tidak biasanya ia begini.

Bisa jadi hari ini banyak faktor pemicu, seperti misalnya, Lana—mantan pacarnya—yang akan segera berangkat ke airport meninggalkannya. Dan ia sedang gusar ingin mengejarnya ke sana atau tidak.

"Seseorang bisa tolong segera? Halo? Padahal permintaan saya nggak sulit, saya cuma mau Ibu Ratih dilepaskan hari ini, saat ini juga. Saya nggak bisa nunggu lama karena ada acara penting satu jam lagi. Jadi tolong, siapa pun, selesaikan semua ini, se, ge, ra."

Seorang perempuan muda baru saja mendatangi meja resepsionis untuk menanyakan apa yang terjadi. Hanya dengan penjelasan singkat, perempuan itu dengan tenang meminta pena dan surat pengantar kepulangan.

Sergi mendesah lega. "Akhirnya."

"Sebenarnya semua akan lebih cepat diselesaikan, seandainya Bapak nggak teriak-teriak mengganggu kenyamanan semua orang." Jawab perempuan itu sambil memeriksa berkas.

Sergi membelalak. Kenyamanan? Dia bicara soal kenyamanan sementara dirinya dioper ke sana-sini dan disuruh menunggu dua jam? "Saya udah nunggu dua jam. Cuma buat sebuah tanda tangan."

"Ibu Ratih udah setuju untuk pulang?"

"Ibu Ratih pelupa. Hari ini hari ulang tahunnya, dan keluarga saya sudah menyiapkan semuanya. Ibu Ratih bakal senang keluar merayakannya, daripada di RSJ ini."

"RSJ?" Ada senyuman protes di nada suara itu.

"Yayasan." Sergi mengoreksinya secepat mungkin. "Maaf. Maksud saya itu."

Perempuan itu mengembus napas singkat. Kemudian bersiap menulis sesuatu di suratnya. "Nama Bapak siapa, Pak?"

"Sergi."

"Hmm?"

"Sergi. Sergio."

Gerakan tanda tangan itu langsung berhenti. Seakan nama itu memiliki kekuatan magis, perempuan itu menoleh kepadanya dengan tatapan bingung penuh penilaian. Kemudian di bibirnya terukir senyuman kecil.

"Ibu Ratih itu nenek saya." Sergi berdeham canggung. "Saya bukan bapak-bapak." Banyak yang mengiranya tua karena suaranya yang berat. Padahal ia cukup yakin wajah serta penampilannya masih sangat segar.

"Dan tempat ini bukan RSJ." Perempuan berkadigan merah itu menyerahkan lembaran Surat Kepulangan ke tangannya. "Lagi pula kalaupun RSJ, saya rasa nggak ada salahnya juga. Di mana pun itu, Bapak lain kali bisa ngomong baik-baik."

Sergi tahu kadang-kadang ia bisa terlihat seperti laki-laki arogan, tapi sungguh, ia tidak punya banyak waktu untuk meluruskan kekacauan kecil ini.

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Where stories live. Discover now