13. Benarkah aku serakah?

1K 172 8
                                    


.
.
.
.
.
Regis meraih ponselnya dengan panik, mencoba menghubungi Tirta untuk mencari Fares. Sudah dua jam sejak Fares pamit untuk mengambil ponselnya tapi nyatanya remaja itu tidak kunjung kembali. Angkasa, Gio, Bayu dan Haris pun sama khawatirnya. Regis sudah mendatangi rumah Fares, tapi Abi mengatakan Fares tidak pulang sejak dia pergi kerumah Regis.

Tut...Tut...

Tut...Tut...

Tut..

"Iya, ada apa Gis?"

"Abang cepet pulang!" Regis bernafas lega saat Tirta menjawab panggilannya.

"Ada apa? Kenapa kamu panik gitu?"

"Bang Fares ilang." Regis menarik nafas panjang saat mengatakan itu, pikirannya sudah kalut dan berpikir kemana perginya sepupu mungilnya itu.

"Ilang gimana? Bukannya tadi dia dirumah sama kamu?"

"Iya, tapi habis itu bang Fares ijin pulang buat ambil hp tapi sampe sekarang gak balik-balik." Regis bisa mendengar suara helaan nafas dari Tirta.

"Gak usah panik, abang pulang sekarang."

"Hati-hati bang." Regis menatap Gio dan yang lain setelah panggilannya dengan Tirta terputus.

"Bang Fares kemana ya bang? Apa aku ada salah bicara tadi?" Gio menggeleng menenangkan Regis, sebelum akhirnya dia ingat pertanyaan Fares tadi.

"Apa ada yang salah sama jawaban Angkasa tadi?" Regis menatap Gio bingung, begitu juga Bayu, Angkasa dan Haris.

"Jawaban yang mana?" Gio menghela nafas.

"Serakah."
.
.
.
.
.
Tirta menatap ponselnya, beruntung dia memang sudah akan beranjak pulang, karena hari sudah mulai sore. Tirta menebak-nebak tempat yang sekiranya sering Fares datangi.

"Apa dia kemakam tante Nita?" Tirta bergumam saat menyadari bahwa hanya makan sang mama yang selalu didatangi Fares.

"Coba aja dulu kesana." Tirta menyalakan mobilnya dan pergi kepemakaman umum tempat Renita dimakamkan.

"Semoga beneran disana." Tirta memacu mobilnya sedikit ngebut, karena hari sudah sore, sebentar lagi adalah jam pulang kerja, jadi untuk menghindari kemacetan yang mungkin terjadi, Tirta benar-benar ngebut.

Tirta menghela nafas saat melihat punggung kecil Fares, remaja itu sedang duduk disamping makam mamanya. Tirta tau pasti ada yang menganggu pikiran sepupunya satu itu.

"Fares." Fares menoleh saat namanya dipanggil, matanya sedikit terbelalak saat melihat Tirta berdiri dibelakangnya.

"Bang Tirta." Tirta menghela nafas, dia ikut berjongkok di samping makam sang tante. Dan ikut menyapa tante kesayangannya itu.

"Bang Tirta ngapain disini?" Tirta menatap lekat pada Fares.

"Emang gak boleh ya abang kesini? Harusnya abang yang nanya, kenapa kamu ada disini? Udah pamit sama yang dirumah belum?" rentetan pertanyaan Tirta membuat Fares menunduk.

"Maaf." Tirta menghela nafas, sebelum bangkit.

"Ayo pulang, sebelum Regis ngacak-ngacak rumah." Fares hanya menurut saat Tirta menarik tangannya.

"Bang Tirta." Tirta menoleh saat Fares menahan tangannya.

"Kenapa?" Tirta mengernyit saat melihat raut tidak nyaman dari Fares.

"Pelan-pelan, kaki Fares kesemutan." Tirta tertawa kecil sebelum membungkuk dihadapan Fares.

"Maaf maaf Res."
.
.
.
.
.
Fares menatap keluar dari jendela mobil Tirta, pikirannya sudah melayang kemana-mana. Fares terus saja memikirkan ucapan-ucapan sang papa juga jawaban Angkasa tadi.

"Kamu kenapa?" Fares tersentak saat tiba-tiba Tirta bertanya padanya.

"Fares gak papa bang." Tirta mencibir jawaban Fares.

"Kalau kamu emang gak papa, kamu gak akan ngelamun gitu." Fares menunduk.

"Bang, apa Fares anak serakah, kalau Fares minta perhatian papa?" Tirta mengernyit, dia memilih menepikan mobilnya kesebuah taman dibanding melanjutkan menyetir dengan pertanyaan dari Fares.

"Siapa yang bilang gitu?" Fares menggeleng.

"Gak ada, Fares cuma takut jadi serakah karena minta kasih sayang papa, Fares bukan anak serakah kan bang?" Tirta tersenyum menghadap Fares dan menggeleng.

"Setiap anak itu punya hak meminta kasih sayang orang tuanya, dan itu gak bisa dibilang serakah Res, kamu bukan anak serakah." Fares terdiam, seharusnya ucapan Tirta bisa sedikit menenangkan hatinya, tapi nyatanya tidak bisa.

"Fares takut bang, apa Fares berhenti aja ya?" Tirta kembali mengernyit bingung.

"Berhenti dari apa?" Fares hanya tersenyum dan menggeleng.

"Fares kangen mama."
.
.
.
.
.
Regis menatap kesal pada Tirta, pasalnya abangnya itu tidak memperbolehkan dia menemui Fares. Bahkan Tirta juga meminta Haris, Bayu, Gio dan Angkasa untuk pulang, padahal mereka ingin bertemu Fares lebih dulu.

"Bang, kenapa gue gak boleh ketemu bang Fares?" Tirta menghela nafas.

"Fares kayaknya lagi gak mau diganggu Gis, besok aja kamu temuin Fares, lagian besok libur kan." Regis hanya bisa mengangguk, dia tidak bisa lagi merengek pada Tirta.

"Bang Fares lagi kesel sama kita ya bang?" Tirta menggeleng.

"Gak, Fares cuma lagi kangen sama tante Nita."

"Bang, kalau seandainya tante Nita masih hidup, bang Fares bakal lebih bahagia kan?" Tirta tersenyum tipis.

"Mungkin."
.
.
.
.
.
Fares memejamkan matanya saat pintu kamarnya terbuka. Fares kira itu adalah Raefal tapi ternyata yang masuk kedalam kamarnya adalah sang papa.

Abi berdiri disamping tempat tidur Fares, menatap lekat pada Fares yang tidur, tangan Abi terulur meraih tabung obat milik Fares yang didapatkan Fares dari rumah sakit waktu itu.

"Kamu gak perlu obat ini lagi, kamu harus jadi penjaga yang kuat buat Raefal, dan obat ini gak akan bikin kamu kuat." Abi membuka tabung obat itu dan menuang isinya kedalam kantung plastik yang dibawanya.

"Kamu harus memastikan bahwa hidup Raefal akan baik-baik saja Faresta." Abi melangkah meninggalkan kamar Fares setelah mengatakan itu. Bahkan tanpa Abi ketahui Fares mendengar semuanya, dia tau bahwa obatnya akan dibuang oleh Abi.

"Fares bakal pastiin Raefal baik-baik aja pa, Fares bakal pastiin Raefal hidup bahagia, tapi tolong tunggu sebentar ya pa, tunggu sampe Fares kuat." Fares merebahkan tubuhnya, dia sudah berjanji pada dirinya bahwa mulai malam ini dia tidak akan bergantung pada obat itu, meskipun dia harus berjuang melawan sesak didadanya.

"Fares kuat kan ma, mama bakal bantu Fares jadi kuat buat Raefal sama papa kan?"
.
.
.
.
.
Pagi ini Fares tengah meringkuk mencengkeram perutnya diatas kasur. Sejak semalam dia tidak bisa tidur karena perutnya sangat sakit, efek makan nasi goreng pedas itu, membuatnya tidak tidur semalaman.

Tok

Tok

Tok

Fares mengabaikan ketukan dipintu kamarnya, paling yang akan masuk adalah Regis atau Tirta, karena Raefal tidak pernah mengetuk pintu.

Cklek

"Bang Fares." Regis melongokan kepalanya kedalam kamar Fares.

"Tumben masih tidur?" Regis bergegas mendekati Fares, niatnya datang kerumah sepupunya pagi ini adalah untuk mengajak Fares joging.

"Bang, ayo bangun." Fares mengerjap, bangun apa, dia tidur aja belum.

"Aku udah bangun Gis, ada apa?" Regis berdecak saat Fares masih sembunyi dibelakang selimutnya.

"Abang ayo joging!" Fares mengerang pelan.

"Gak dulu deh Gis, kamu aja yang joging." Regis merengut, kenapa Fares menolak ajakannya.

"Abang ayo." Fares menghela nafas dan membuka selimutnya.

"Gis, ajak bang Tirta aja ya, hari ini perutku lagi sakit banget." Regis mendelik saat melihat wajah pucat Fares.

"Gue panggilin bang Tirta dulu bang!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

WächterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang