06. Jangan pukul

1.3K 205 3
                                    


.
.
.
.
.
Fares mendapat ijin yang lebih awal, demamnya yang tidak kunjung turun membuat para guru mengijinkan Fares pulang. Gio yang akan mengantar Fares sampai rumahnya, para guru sebenarnya sudah menghubungi Abi, tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya dokter Tirta meminta Gio untuk mengantar Fares pulang.

Fares sudah bergelung dalam selimut tebalnya, rumahnya semakin sepi karena bi maya sudah pulang kampung. Hanya ada pak mun, itu pun di pos satpam.

Tok

Tok

Tok

Fares mengerang saat mendengar ketukan dipintu kamarnya, ingin beranjak tapi sakit kepalanya tidak mengijinkan.

Cklek

"Fares." Fares membuka matanya untuk melihat siapa yang datang kekamarnya.

"Bang Tirta." Fares bergumam lirih saat mengetahui yang datang adalah dokter sekolahnya, yang juga adalah sepupunya.

Fares dan Tirta juga Regis adalah sepupu. Ibu Tirta dan Regis adalah adik dari Abi, papanya Fares. Rumah mereka juga berhadapan, itulah kenapa sekarang Tirta ada dirumah Fares, untuk mengecek keadaan sepupu mungilnya.

"Masih demam, kamu mikirin apa sih Res?" Tirta bertanya setelah duduk dipinggir ranjang Fares. Tangannya nengecek suhu tubuh Fares yang masih tinggi.

"Papa." Tirta menghela nafas, dia tau Fares pasti memikirkan hal itu.

"Papa ngelupain janjinya bang, papa gak jemput Fares kemarin." Tirta diam, dia mendengarkan gumaman Fares tentang apa yang terjadi kemarin.

"Mungkin om Abi lagi sibuk dikantor, makanya lupa sama janji nya ke kamu Res." Fares menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca.

"Aku lihat papa kemarin, lagi makan sama Raefal, padahal Fares nungguin papa sampai kehujanan." Tirta kembali terdiam, dia tau bahwa Abi memang memperlakukan Fares berbeda, tapi apa harus seperti ini?

"Apa papa gak sayang Fares ya bang?"

"Apa Fares harus jadi kayak Raefal dulu baru papa sayang sama Fares?" Tirta yang tidak tahan mendengar rancauan Fares, langsung menarik tubuh mungil itu masuk kedalam pelukannya.

"Kamu gak perlu jadi kayak Raefal Res, kamu cukup jadi dirimu sendiri, jadi Fares." Fares kembali menggeleng.

"Tapi papa gak sayang Fares, papa cuma sayang Raefal." Tirta menepuk punggung ringkih Farez, berharap sepupunya itu bisa sedikit tenang.

"Fares kan punya abang, punya Regis, ada bunda sama ayah juga, ada Gio, banyak yang sayang sama Fares, nanti juga om Abi pasti sayang sama Fares." Tirta kembali mengelus punggung Fares saat mendengar isakan pelan dari si mungil.

Fares memang seperti itu jika sedang sakit, terlalu overthinking. Meskipun sebenarnya apa yang di pikirkan dan diucapkan adalah kenyataan. Tirta tau Fares adalah anak yang kuat, dia adalah malaikan unyuk keluarga ini, terutama untuk adiknya.

Apa yang terjadi dikeluarga ini bukan salah Fares ataupun Raefal, jika ingin menyalahkan seseorang, maka silakan salahkan Abi. Satu-satunya orang dewasa dirumah itu harusnya bisa bersikap adil, bukan hanya memandang salah satu dan melupakan salah satunya.

"Tuhan kasih kamu cobaan kayak gini karena tuhan tau kamu pasti bisa ngelewatin ini. Selalu ada pelangi setelah hujan Res, selalu ada senyum setelah tangis, suatu saat kamu pasti bakal tersenyum tanpa rasa sakit Res." Tirta merebahkan tubuh Fares keranjangnya, si mungil itu tertidur. Tirta segera berjalan kedalam kamar mandi Fares, mengambil baskom kecil dan mengisi nya dengan air hangat sebelum akhirnya mengambil handuk kecil juga baju untuk Ares.

Tirta mengganti seragam Ares dengan perlahan, tangannya terkepal saat melihat bekas luka cambukan dipunggung mungil Fares. Bahkan ada beberapa luka yang masih belum kering, hasil dari hukuman beberapa hari lalu.

"Kalau kamu capek, kamu bisa tinggal sama kita Res, jangan terus bertahan disini."
.
.
.
.
.
Brak

Fares langsung terbangun saat pintu kamarnya dibuka paksa, pening yang sempat hilang langsung kembali datang. Fares beringsut bangum dari ranjangnya saat melihat Abi berdiri diambang pintu dengan tatapan marah.

"P-papa." Fares ketakutan saat melihat Abi mendekat.

"Siapa yang ngajarin kamu bolos Faresta?" Abi memang tidak berteriak, tapi ucapannya sangat datar hingga membuat Fares semakin ketakutan.

"F-fares gak bolos pa."

Plak

Satu tamparan Fares terima dari Abi, tubuh mungil yang belum sepenuhnya pulih itu kembali terhuyung.

"Kamu udah berani bohong sama papa? Gurumu bilang kamu pulang lebih awal." Fares menunduk, dia sebenarnya ingin menjawab, tapi nyalinya delaku ciut jika berhadapan dengan tatapan tajam Abi.

"F-fares sakit pa."

Plak

Sekali lagi Fares menerima tamparan dari Abi, pria itu bahkan tidak melihat kondisi Fares yang masih pucat.

"Sampai kapan kamu mau bohong Faresta? Apa teman-teman mu itu yang ngajarin kamu bohong?!" Fares menggeleng, inilah alasan Fares tidak berani menganggap seseorang sebagai teman. Abi selalu meyalakan teman-temannya jika dia melakukan kesalahan.

"F-fares gak b-bohong pa." Fares langsung terdiam saat mengingat bahwa suaranya itu tidak dianggap dirumah. Jadi mau seperti apapun dia memberi pembelaan tidak akan berguna.

Plak

Bugh

Bugh

Bugh

Abi kembali memukul tubuh mungil Fares dengan penggaris kayu yang diambilnya dari meja belajar Fares. Malam itu Fares kembali mendapat luka dari Abi. Kali ini bahkan wajah Fares turut menjadi sasaran.

"P-pa...A-ampun...jangan pukul...lagi.." Fares mencoba menahan tangan Abi yang akan kembali memukulnya, tubuhnya sudah tidak bisa bergerak karena mati rasa.

"Awas kalau sampai papa dapat kabar kalau kamu gak sekolah lagi, dasar sialan." Fares memejamkan matanya saat Abi mengucapkan itu. Bukan pertama kalinya Abi menyebutnya sialan, apakah memang dia tidak pantas mendapat kasih sayang Abi.

Fares mencoba bangkit, meskipun akhirnya gagal. Seluruh tubuhnya sakit, nafasnya juga mulai terasa sesak, jangan lupa Fares sempat memuntahkan darah saat Abi memukulnya tadi. Setelah mendengar deru mibil menjauh dari rumah, dengan penuh perjuangan Fares meraih ponselnya dari nakas, mencoba menghubungi Tirta.

"Tuhan, F-ares belum mau pulang, Fares takut, ijinkan Fares mendapat kasih sayang papa sebelum pulang." Fares bergumam lirih saat menunggu panggilannya dijawab oleh Tirta.

Tut...Tut...

Tut...Tut...

Tut...

"Halo?"

Fares memejamkan matanya saat mendengar suara serak Tirta, sepertinya dia mengganggu waktu istirahat Tirta.

"Halo Res, ada apa?"

"A-abang..hhh...t-tolong...hhh.."

"Tunggu sebentar abang kesana."

Tut

Tangan Fares mencengkeram dadanya saat dia semakin sulit bernafas, dadanya terasa sakit dan panas, sepertinya pukulan Abi tadi ada yang mengenai dadanya.

"M-mama...hhh...F-fares...s-sakit...hhh..."

"I-ini...s-sakit...hhh...F-fares...takut..."

Fares terus mencoba bertahan dengan kesadarannya yang semakin menipis. Fares terlalu takut untuk menutup matanya, dia takut jika dia menutup matanya maka dia tidak akan bangun lagi. Fares belum mendapat kasih sayang dan pelukan sang papa.

"Uhuk.." tatapan mata sayu yang kian kosong itu semakin menutup setelah tubuh ringkihnya kembali memuntahkan darah. Fares kehilangan kesadarannya tepat saat beberapa orang masuk kedalam kamarnya.

"FARESTA!!!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

WächterWhere stories live. Discover now