#Part-21#

38 7 0
                                    

Winara tak kunjung berhenti untuk menggerutu kesal terhadap Haidar. Bahkan, di saat dia sudah berhenti di depan rumah yang terlihat sangat elegan ini, Winara masih saja menampilkan ekspresi tidak sukanya kepada Haidar.

"Ayo, Sya!" ajaknya kepada Winara yang tak mau beranjak dari posisinya.

"Lo mau tetap di sana?" kesal Haidar dengan kekesalan gadis itu.

"Eh, kalian sudah pulang?" tanya Syifa yang tiba-tiba saja mendatangi mereka.

Langsung saja Haidar mencium punggung tangan ibunya itu dan diikuti oleh Winara yang masih saja terlihat kesal.

"Kenapa gak diajak masuk, Zidan?" tanyanya pada Haidar.

"Udah Ma, dianya aja yang gak mau diajak. Malah menggerutu gak jelas mulu sama Zidan," adunya.

"Ya jelaslah, kalau kamu gak maksa aku kaya gini, aku juga gak bakalan gini, kali" elaknya Winara.

"Sudah-sudah! Sayang, ini Tante yang minta, bukan karena Zidan yang mau. Tante pengen ada teman di rumah hari ini, mangkanya Tante minta Zidan buat ajak kamu ke sini."

"Tapi, Tan-"

"Iya, yaudah, ayo kita masuk! Tante udah masakin makanan kesukaannya Zidan. Tante yakin, kamu pasti juga bakalan suka sama makanan kesukaannya Zidan," ucap Syifa seraya merangkul Winara dan membawa gadis itu masuk ke dalam rumahnya.

"Nurut gitu doang susah amat," ejek Haidar di saat gadis itu melewati dirinya. Seketika, Winara pun melayangkan tatapan sengitnya kepada Haidar.

"Kak Nara?" ucap Kayla di saat mereka sampai di ruang makan dan langsung memeluk Winara.

"Eh, Kayla? Kamu gak sekolah?" tanya Winara seraya membalas pelukan Kayla.

"Kayla sudah pulang, Kak" jawab Kayla seraya mengajak Winara untuk duduk di salah satu kursi meja makan.

Syifa yang melihat itupun hanya bisa tersenyum bahagia. Sedangkan Haidar, pria itu saat ini telah beranjak ke kamarnya, guna mengganti seragam sekolahnya dan bersih-bersih.

Tak lama kemudian, seorang pria berjas hitam pun datang. "Assalamu'alaikum!" salamnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab semuanya seraya mengalihkan pandangan mereka kepada pria itu.

"Eh, sudah datang?" ucap pria itu sembari duduk di kursi kesayangannya—Karen, ayah tirinya Haidar.

"Nara, bukan?" tanya Karen dengan ramahnya.

"Iya, Om."

"Gak usah panggil om, Nak. Panggil Papa saja, biar sama kaya Haidar dan Kayla," timpal Karen yang lagi-lagi dengan ramahnya.

Dan tentu saja hal itu membuat Winara seketika tersentuh. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Karen dan untuk pertama kalinya pula dia merasakan ketersentuhan ini.

"Ta-"

"Jangan menolak lagi, Sya. Papa itu gak suka ditolak," potong Haidar terlihat serius, namun tidak sebenarnya.

"Iya, Papa gak suka ditolak, soalnya ditolak itu menyakitkan. Dan Papa gak suka itu," nimbrung Karen dengan kekehannya.

Mendengar keharmonisan ini, Winara pun hanya mampu tertawa kecut. Dia bingung ingin berekspresi seperti apa, sebab tidak pernah merasakan keharmonisan seperti ini yang menyertai dirinya di dalamnya.

"Gak usah canggung gitu, Sya" peringat Haidar yang mulai menyanduk nasi ke dalam piringnya.

"Iya, Kak. Anggap aja ini keluarga Kakak sendiri. Ya kan, Ma, Pa?" timpal Kayla.

Pertama untuk Terakhir (End)Where stories live. Discover now