#Part-17#

32 6 1
                                    

Waktu ke waktu terus berlalu, namun masalah yang Winara hadapi sama sekali tak berubah. Semuanya masih saja sama.

Saat ini gadis itu tengah menatap sedih ke arah jendela kamarnya yang menampilkan sebuah momen keluarga yang tampak bahagia. Namun, tidak untuk dirinya.

Setetes air mata pun mengalir begitu saja dari pelupuk matanya. Melihat betapa bahagia keluarga itu. "Pa, sampai kapan Papa akan kaya gini?" tanyanya dengan melirih.

Winara menghapus kasar air matanya, lalu berlalu dari hadapan pandangan itu dan beralih untuk menyambar tasnya yang tergantung, lalu pergi meninggalkan kamarnya. Bahkan, hanya kamarnya, tetapi rumahnya.

Dia pergi menggunakan motor Scoopy-nya. Kepergiannya dari rumah sama sekali tak disadari oleh siapapun, sebab Winara pergi tanpa berpamitan kepada siapa-siapa pun terlebih dahulu.

Selama perjalanannya, Winara tak henti-hentinya untuk meneteskan air matanya. Memori akan masa lalunya terus saja bersemayam dalam benaknya.

"Pa, Nara bosan di rumah," ucap anak kecil itu menghampiri ayahnya.

"Hm," jawab ayahnya dengan tidak acuhnya.

"Papa! Della mau ke taman!" rajuk anak kecil lainnya yang lebih kecil daripada anak tadi.

"Ayo!" ajak ayahnya dengan begitu semangatnya. Bahkan, langsung menggendong putri kecilnya dan mengabaikan Winara yang terlihat sedih saat ini.

Tak hanya momen itu yang saat ini bersemayam dalam benaknya, namun ada yang lebih menyakitkan daripada itu. Dan itu adalah saat di mana Winara meraih prestasi di sekolahnya, namun tak pernah diakui oleh ayahnya sendiri.

"Ma, Pa, Nara berhasil mencapai nilai UN tertinggi!" ucapnya dengan begitu girangnya. Namun, ayahnya yang saat itu tengah menikmati makan siangnya terlihat seperti tidak percaya.

"Wah, Ma Syaa Allah!" puji Anara yang terlihat begitu bahagia.

"Anak kita hebat ya, Pa?" lanjut Anara. Namun, Wino yang diajak bicara itupun terlihat seperti tidak acuh.

"Ma, Papa berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum!" pamitnya.

Dan di saat itulah hati Winara menjadi sangat terluka. Kenapa terlalu berbeda cara penyikapan ayahnya terhadap dirinya dan Della. Della selalu dia berikan pujian. Bahkan, ketika gagal dan berhasil Della selalu saja diberikan penyemangat. Namun, tidak untuk dirinya.

Tanpa sadar, ternyata Winara telah sampai di rumah sakit. Dia pun memarkirkan Scoopy-nya, lalu turun dari motornya itu. Melepaskan helm-nya dan menghapus bekas air mata yang masih ada. Dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Setelah selesai, Winara langsung saja masuk ke dalam rumah sakit dan berlalu ke arah ruangan rawat Haidar berada.

"Assalamu'alaikum!" salamnya memasuki ruangan itu. Dan saat ini, ruangan itu hanya dihuni oleh Haidar yang tengah sibuk dengan handphone-nya dalam posisi duduk di atas ranjangnya.

"Eh, Sya?" ucapnya.

"Jawab dulu salamnya," sindir Winara yang mulai menghampiri pria itu.

"Wa'alaikumussalam," jawab Haidar dengan cepat.

"Gimana kabarnya?" tanya Winara mulai duduk di kursi samping brankar Haidar.

"Em ... lumayan membaik. Dan tadi gue juga udah terapi jalan," jelasnya. Mendengar dan melihat Haidar yang tidak seperti biasanya, Winara pun hanya mampu tersenyum kecut dengan mata merahnya.

"Sya," panggil Haidar yang terlihat bingung.

"Hm, ya?"

"Lo habis nangis?" tanya Haidar seraya menunjuk matanya sendiri.

"Ha, eh enggak. Oh iya, tante Syifa mana?" tanyanya mengalihkan topik.

"Sya, jujur!"

"Enggak Haidar, ini hanya kelilipan aja" alibinya.

"Sya, lo lagi ada masalah?" tanyanya yang masih belum yakin.

Bukannya menjawab, namun gadis itu malah terkekeh tidak jelas. "Hahaha, enggak Haidar, gak usah sekhawatir itu," ucapnya yang diikuti kekehannya.

"Tapi, kalau lo ada masalah, lo cerita aja sama gue. Mungkin aja gue bisa bantuin lo, itung-itung sebagai balas budi gue ke elo yang udah bantuin gue baikan dengan mama," jelasnya dengan senyuman yang begitu tidak pernah Winara lihat.

"Kamu senyum?" terkejut Winara.

"Biasa aja, kali." Seketika dia pun langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Dan itu hanya mampu membuat Winara terkekeh kecil.

"Oh iya, Sya. Lo tau gak?" ucapnya kembali antusias.

"Ya, kenapa?"

"Tadi, Mama bawa Papa ke sini bersama adik gue," jelasnya terlihat begitu senang.

"Kamu serius?"

"Iya, Sya. Bahkan, untuk pertama kalinya gue bisa ngerasain kasih sayang seorang ayah. Walau dia bukan ayah kandung gue, tapi selama ini gue sangat berharap, jika papa bisa memberikan apa yang gue minta selama ini. Dan ternyata, dugaan gue selama ini salah. Bahkan, selama ini papalah yang diam-diam udah mencoba untuk membantu kerumitan yang pernah gue alami. Terutama di geng motor gue sendiri," jelasnya.

"Aku yakin, papa kamu adalah orang baik, sama seperti tante Syifa. Cara didik mereka mungkin memang beda, tapi mereka terlihat diam-diam untuk menyayangi kamu."

"Iya, Sya. Bahkan, yang udah bayarin biaya rawat gue pun adalah papa," timpalnya. Dan itu hanya mampu membuat Winara tersenyum kecut.

"Mulai sekarang kamu sudah yakin, kan. Jika tidak semuanya terlihat buruk untuk akhirnya," lanjut Winara.

"Iya, Sya. Lo benar, gue gak seharusnya nething terhadap apa yang terjadi."

"Terus, sekarang tante Syifa mana?" tanya Winara lagi.

"Mama udah pulang Sya, nanti mama balik lagi ke sini."

"Ooh ... berarti sedari tadi kamu sendirian aja?" tanyanya.

"Enggak, soalnya mama juga baru pergi, lima menit sebelum lo datang." Dan itu hanya membuat Winara menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.

Lalu, keheningan pun menghampiri mereka. Sampai akhirnya seseorang masuk ke dalam ruangan itu.

"Abang!" panggil seorang cewek yang terlihat seperti sebaya dengan Della.

"Hei, kamu gak jadi pulang?" terkejut Haidar.

"Enggak, tadi mama ngajak ke kantin dulu, habis itu aku bilang sama mama, kalau aku masih mau di sini" jelas gadis itu.

"Ooh ... terus papa?"

"Papa udah balik sama mama," timpalnya.

"Ooh ...."

"Eh, ini siapa, Bang? Ceweknya?" tanya gadis itu dengan asalnya.

"Hai, bukan. Saya Winara, temannya abang kamu," ucap Winara seraya mengulurkan tangannya ke arah gadis itu.

"Ooh ... bukan, Kayla kira iya, hehehe. Aku Kayla, kak" ucap gadis itu seraya membalas uluran tangan Winara pada akhirnya.

"Kakak udah lama?" tanya Kayla.

"Belum, kok."

"Ooh ... btw, kakak kenal bang Zidan di mana?" tanya Kayla lagi.

"Di sekolah," jawab Winara seadanya.

"Dia pasti nakal kan, Kak?" ucap Kayla dengan begitu tenangnya, sedangkan Haidar yang mendengarkan itu sudah terlihat datar.

"Hahaha ... iya, bandel banget malahan," timpal Winara seraya menatap Haidar sesekali.

"Dia kalau nakal di jewer aja telinganya Kak, biar tahu rasa," titah Kayla yang masih saja terlihat tenang. Sedangkan, Winara sudah terkekeh akan tingkah adiknya Haidar tersebut.

"Udah?" sinis Haidar. Dan bukannya berhenti mereka berdua malah sama-sama tertawa, menertawai Haidar yang terlihat tidak suka jika dikatai.

Pertama untuk Terakhir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang