🌙ㅣ34. Si Kembar, Memperebutkan

Start from the beginning
                                    

Tidak ada yang membayangkan jika Alvaro yang biasanya cuek dengan keadaan sekitar bisa ikut terlibat dalam hal seperti ini, jadinya semakin banyak yang menonton.

Alvaro memutar bola matanya malas saat suasana jadi hening dan ia tak mendapat balasan, ia mendorong pundak Alzero. “Lanjut ke kantin.”

“Lo duluan, sama yang lain. Gue mau ngurusin ini sama dia,” sahut Alzero.

Alvaro menghela napas, berbalik melihat teman-teman Rembulan lantas ia mengajaknya untuk melanjutkan tanpa menanggapi tatapan Syaila. Semuanya pergi meninggalkan Alzero dan Syaila di lorong.

“Hero?” Syaila menatap penuh ketidakpercayaannya pada Alzero seolah-olah Alzero sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. “Sebenernya mereka itu apa di mata lo?”

“Bukan apa, tapi siapa.” Alzero menekankan suaranya, tatapannya berubah. “Gue masih bisa anggap lo temen gue saat lo nurut buat gak gangguin Bulan. Tapi lo masih keterlaluan, La.”

Kening Syaila mengernyit bingung. “Hero, harusnya lo bela gue! Bukan cewek culun itu! Lo sahabat gue dari kecil harusnya lo ngertiin gue bukan mereka, harusnya lo tahu—”

“Gue tahu lo udah berubah.” Alzero memotong, tak membiarkan Syaila untuk bersuara lagi. “Udah cukup segini aja, gue gak mau bikin ribut. Intinya, gue gak mau lo sok berkuasa di sini dan bully orang-orang gak mampu. Ini sekolah, harusnya gak ada diskriminasi kayak gini. Lo sekolah nyari ilmu, La, bukan nyari kekuasaan.”

Bibir Syaila terkatup rapat. Dulu, Alzero selalu berada di pihaknya dan mendukungnya dengan senang hati. Alzero akan memberikan apapun pada Syaila dan membuat Syaila senang. Namun sekarang semuanya berubah. Tangan Syaila kembali menahan lengan Alzero saat lelaki itu hendak pergi.

“Dia siapa lo, Hero?” Syaila bertanya penuh penekanan. “Seberarti apa dia buat lo sampai lo harus jauh dari gue?”

“Gue gak jauh dari lo.” Alzero berkata datar, kepalanya menoleh ke arah lain sejenak. Ia ingin sekali menjawab bahwasannya Rembulan adalah adiknya, tapi Alzero harus menghargai pilihan Rembulan untuk tidak mengatakannya pada siapapun saat ini. “La, dia berarti buat gue. Buat keluarga gue. Jangan ganggu dia, jangan bikin dia sakit lagi kayak dulu, udah cukup dia bertahan di sini, La.”

Setelah mengatakan itu semua, Alzero segera melangkahkan kakinya untuk menyusul ke kantin, meninggalkan Syaila dan dua sahabatnya yang memperhatikan sedari tadi.

“Si Culun itu cewek murahan, siapa tahu kan dia ngegoda Zero.” Theara mengedikkan pundak, kemudian menoleh pada Ghea. “Iya, kan?”

Ghea mengangguk. “Bisa aja. Kita cuman tahu dia culun di sini. Mungkin di luar dia penggoda bapak-bapak.”

Kedua tangan Syaila mengepal erat, menatap lurus ke depan dengan sumpah serapah terus keluar dari bibirnya. Hingga akhirnya ia pergi dari sana. “Tunggu aja pembalasan gue, dasar culun!”

- 4B -

Tebakan Rembulan benar adanya saat ia dan teman-temannya yang lain berada di kantin. Hampir seluruh murid yang ada di sana memperhatikan dengan tatapan yang bermacam-macam. Rembulan dan teman-temannya memang tak pernah menikmati suasana kantin seperti ini, mereka hanya akan ke sana jika diperintahkan untuk membeli sesuatu. Sekarang, mereka menetap di sana dan langsung dijadikan bahan tontonan.

Tak sadar Rembulan melamun, membuat Alvaro yang berada di sampingnya untuk mengantre itu mengangkat sebelah alis.

“Bulan.” Alvaro memanggil pelan namun tak ada sahutan. “Bulan,” panggilnya lagi lebih keras dan kali ini berhasil. Rembulan mengerjap dan segera mengangkat pandangan supaya mereka bertatapan.

“Kenapa, Kak?”

Alvaro menghela napas. “Kenapa masih sembunyi? Lo udah dikata-katain sama cewek tadi.”

Rembulan langsung mengerti ke mana arah pembicaraan Alvaro. Jika dijelaskan lebih detail, Alvaro tampak bingung mengapa Rembulan tidak mau mengakui bahwa dirinya sudah menjadi bagian dari keluarga Zanava yang statusnya tentu saja tinggi. Seharusnya Rembulan memanfaatkan kesempatan itu untuk membalas semua perbuatan keji yang ia terima di SMA Pelita, membalas mereka semua yang sudah seenaknya. Tapi, Rembulan tidak begitu.

Gadis itu tersenyum pada Alvaro. “Bulan masih takut ada hal buruk yang bakalan terjadi kalau mereka tahu,” jawabnya.

“Cepat atau lambat semua bakalan tahu.” Alvaro menarik kursi yang ada di dekatnya kemudian duduk di sana. Kini posisinya lebih rendah dari Rembulan supaya gadis itu tidak terus menengadah menatapnya.

Kepala Rembulan menoleh pada antrean di hadapannya sebentar, lantas ia kembali menghadap pada Alvaro yang sudah melipat tangan di depan dada. “Bulan nunggu waktunya tiba aja. Bulan gak mau maksain Bulan sendiri yang sebarin ini. Biar waktu yang jawab kalau Bulan bagian dari kalian,” ucapnya tulus.

Selain alasan itu, tentu saja Rembulan belum mau bertindak gegabah mengenai hal ini. Anggara belum mempublikasikannya dengan resmi, maka Rembulan tidak mau mendahului. Ia takut jika ada kabar-kabar buruk yang menimpa, apalagi pada Laila. Rembulan sudah mengenai sekolah ini, murid di sini bagaimana, mereka sudah pasti akan menyebar gosip tak jelas mengenai Rembulan dan Laila jika mereka mendengar pengakuan Rembulan sebelum pengakuan Anggara keluar.

“Hmm.” Alvaro mengedikkan pundaknya saja, mengikuti apa yang Rembulan inginkan.Tangannya terulur membawa beberapa helai rambut panjang Rembulan ke hadapan dan mengusapnya. “Gue gak ngerti jalan pikiran lo. Gak bisa gue duga,” ucapnya pelan.

Rembulan membeku sesaat, memperhatikan Alvaro yang memainkan rambutnya agak sedikit aneh. Rembulan putuskan untuk menoleh ke arah lain, wajahnya kian memanas saat sadar beberapa orang berbisik karena ulah Alvaro padanya.

Di tengah semua itu, tiba-tiba saja bunyi nyaring pukulan pada tangan Alvaro terdengar. Alvano yang menjadi pelaku, berkacak pinggang dengan wajah garang. “Enak aja lo nyentuh rambut Bulan! Ini udah disalon, mahal!”

Alvaro berdecih, padahal yang selalu membawa Rembulan ke salon itu Alderion, kenapa Alvano yang ribut? Alvaro juga tidak ada niatan merusak rambut gadis itu, ia hanya menyentuhnya karena penasaran.

“Terus, ya! Di mana-mana tuh cewek yang harusnya duduk, bukan lo!” Alvano menarik lengan Alvaro agar bangkit dari kursi dan menarik Rembulan supaya duduk di sana. “Var, gue tahu lo gak pernah deket sama cewek atau pacaran. Tapi peka dikitlah, lo ini cowok lho!”

Omelan Alvano sungguh membuat telinganya pengang, Alvaro hanya memutar bola matanya malas tak mau menanggapi apa-apa.

“Bulan pegel? Mau gue yang antre aja? Sebutin bumbu baksonya apa, jadi Bulan tinggal nunggu di tempat kumpul kita sama bang Nol,” ucap Alvano dengan binaran mata, tak lupa kedua tangannya yang terus mencubit-cubit pipi Rembulan.

“Bulan gak pa—”

“Nurut aja, yaa!” Alvano memotong, tangannya terus berada di kedua pipi Rembulan membuat Alvaro yang melihat itu menepisnya.

“Nanti pipinya infeksi,” ketus Alvaro membalas perbuatan Alvano tadi.

“APAA?!”

Terjadilah omelan panjang Alvano. Murid-murid jadi disuguhkan kembali dengan pemandangan saudara kembar yang seperti sedang memperebutkan satu orang gadis di sana.

HAI HAI! Gimana sama chapter ini? Jangan lupa, komentar yaaa♡

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

HAI HAI! Gimana sama chapter ini? Jangan lupa, komentar yaaa♡

Nanti aku lanjut lagiii, terima kasih sudah datang!💜

4 Brother'z | TERBITWhere stories live. Discover now