"A-aku h-harus panggil kalian ... a-apa?"
"Kakak aja." -Alderion
"Abang." -Alzero
"..." -Alvaro
"Sayang juga boleh." -Alvano
. . .
Ini hanya tentang Rembulan, yang ingin mengubah hidupnya yang selalu dilanda kepahitan menjadi penuh dengan rasa mani...
''Siapa bilang hanya hubungan cinta saja yang paling menyulitkan?''
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seperti hari kemarin, begitu pulang sekolah Rembulan akan menemui Laila yang sedang mengurus Alvano di kamarnya. Wanita paruh baya itu sudah selesai menyuapi Alvano, dan juga memberikannya obat sesuai takarannya. Laila menoleh saat Rembulan masuk membawa sepiring buah-buahan yang sudah dipotong dadu.
"Buahnya udah Bulan siapin, Ma." Rembulan berucap, matanya melirik Alvano yang bersandar di tempat tidur. Wajahnya pucat sekali, tatapan matanya yang bersinar terasa kosong dan mulutnya yang biasa berceloteh kini bungkam.
"Bulan suapin Vano, ya. Mama mau beresin ini ke dapur. Vano juga bilang dia mau sama kamu," ucap Laila sambil berdiri. Ia tersenyum lembut pada Rembulan sebelum akhirnya meninggalkan kamar Alvano.
"Bulan?" Alvano tersenyum lebar, sebelah tangannya bergerak agak cepat megintruksi Rembulan mendekat. "Bulan, gue kangen tahu! Bulan dari mana, sih?! Nggak nengok-nengok abangnya yang sakit."
Kekehan Rembulan mengalun pelan, walaupun masih terlihat lemas, antusias Alvano tidak bisa diragukan lagi. Dengan begitu Rembulan memutuskan untuk duduk di tempat tidur, tepat di samping Alvano yang langsung menyandarkan kepalanya pada pundak Rembulan.
"Maafin Bulan, Bang. Bulan banyak tugas dari sekolah," bohongnya. Rembulan hanya menghindari Alvano dua hari ini karena masih teringat dengan panggilan Alvano pada Laila. Lantas, bagaimana jika Alvano memanggil Rembulan dengan nama Aurora? Namun nyatanya, itu semua tidak terjadi. Rembulan lega. "Abang makan buah dulu, Bulan suapin. Biar abang ada tenaga."
Kepala Alvano mengangguk semangat. "Mau, mau! Kalau sama Bulan pasti mauu!"
Rembulan tersenyum, menjauh sedikit dari Alvano namun lelaki itu langsung memeluk pinggangnya, enggan membiarkan Rembulan berjarak. Jadinya Rembulan pasrah saja, mulai menyuapi Alvano dengan sabar diselingi obrolan kecil.
Alvano sendiri sangat bahagia dengan ini. Sudah lama Alvano tinggal di luar negeri dan hidup sendiri-sendiri walaupun satu atap dengan dua saudaranya. Alvano merasa kesepian, tepat setelah kematian Bunda dan adiknya. Hidup Alvano terasa kosong. Biasa dimanja oleh Bundanya dan bermain dengan adik perempuannya, kini semua itu direnggut membuatnya ketakutan. Menjadikan sebuah trauma besar di mana ia kehilangan sosok yang berharga baginya. Sosok yang akan selalu ada untuknya dan menemaninya.
Alvano tak terlalu ingat bagaimana ia bisa menghadapi semua itu, yang pasti ia mulai kembali menjalani hidupnya di luar negeri dengan normal, hanya saja tanpa sebuah kehangatan keluarga yang bisa ia terima. Semuanya sepi, dan dingin. Hingga akhirnya ia mendapatkan kabar mengenai pernikahan papanya yang akan dilaksanakan. Pernikahan keduanya yang saat itu entah bagaimana Alvano mengabaikannya. Ia mengatakan setuju dengan pernikahan itu karena mereka akan berkumpul bersama di Indonesia, di rumahnya yang dulu. Alvano menyetujui pernikahan karena alasan itu.