Patah Hati

3.1K 599 40
                                    

Dengan langkah lunglai aku keluar dari ruangan kerja Bu Widya, meninggalkan sosok yang seperti monster dalam wujud wanita terhormat yang merupakan majikanku tersebut.

Sekarang menangis pun rasanya aku sudah tidak sanggup lagi, mengadu pada takdir pun terasa sia-sia karena tidak pernah sekejap pun takdir mendengarkan harapanku, bukan harapan sederhanaku yang di wujudkan, tapi justru masalah dan ujian yang bertubi-tubi Takdir berikan.

Di minta menikah siri, melahirkan seorang anak, dan saat anak yang aku kandung di lahirkan aku tidak mempunyai hak atas anak tersebut, aku di minta menjauh, pergi dari anak tersebut melupakan jika aku pernah melahirkannya. Aku belum menjalaninya, tapi aku sudah merasakan sakitnya perintah yang sangat tidak manusiawi tersebut. .

Entah apa aku sanggup untuk melakukannya atau tidak, yang penting sekarang aku mengiyakan lebih dahulu dari pada terus menerus mendengar kalimat menyakitkan Bu Widya.

Bagaimana bisa kita di minta untuk melupakan bagian dari diri kita, yang kita kandung selama 9 bulan, dan makan serta minum dari apa yang kita minum, aku rasa orang gila pun tidak akan sanggup melaksanakan perintah dari Nyonyaku tersebut.

Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku hanyalah butiran debu di rumah Wiraatmaja yang megah ini, demi hutang budi, demi makam Ibu agar tidak terusik, aku merelakan hati dan harga diriku untuk membalas semua kebaikan keluarga yang di sebut Ibu baiknya melebihi malaikat.

Dan saat aku menuruni tangga aku melihat sekilas Mas Bagas dan Mbak Helena, tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku melihat Mbak Helena yang memeluk Mas Bagas dari belakang seperti sedang membujuk pria yang aku tahu berdinas di Polda tersebut.

Kembali untuk kesekian kalinya aku menarik nafas panjang, ternyata orang kaya mempunyai masalah yang rumit, mungkin mereka memang tidak pusing memikirkan besok mau makan apa dan bagaimana membayar uang kost seperti kaum mending-mending sepertiku. Tapi masalah tidak punya keturunan membuat mereka menjadi gila dalam arti yang sebenarnya.

Yah, Mbak Helena yang sempurna, cantik, berpendidikan, putri seorang yang berpengaruh, mempunyai suami yang mencintainya, tapi ternyata dia harus merelakan suaminya memadunya. Mau tidak mau, dia tidak punya pilihan. Hal itu yang bisa aku simpulkan dari ucapan Bu Widya.

Nyonya Wiraatmaja kejam bukan hanya terhadapku, tapi terhadap menantunya juga.

Dan dalam beberapa hari kedepan pria yang selalu berkata ketus dan berwajah masam tersebut akan menjadi suamiku, Mbak Helena pun akan menjadi Maduku, tapi percayalah, aku sudah tidak peduli dengan mereka, jika hidupku harus hancur karena mereka lekaslah hancur saja, toh tidak ada lagi yang berharga dalam hidupku semenjak aku menandatangani surat perjanjian dengan Bu Widya.

Sekarang untuk terakhir kalinya aku ingin melihat cinta pertamaku, Aditya Wiraatmaja, seorang yang bertahun-tahun dalam diamku aku kagumi, yang membuatku tersenyum hanya karena dia menyapaku, sebelum hari burukku tiba dan tidak mengizinkanku menatapnya dengan perasaan suka yang selama ini aku simpan rapat-rapat.

Tapi seolah takdir memang ingin menunjukkan padaku jika aku tidak berhak bahagia di dunia yang tidak adil ini, aku hendak mencari Mas Aditya di luar saat aku melihat sosoknya sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah.

Mas Aditya tidak sendirian, di sebelahnya dengan tangan yang tergenggam erat, Mas Aditya tersenyum lebar pada seorang wanita cantik dengan rambut panjang hitamnya, semenjak Mas Aditya gagal memasuki Akpol bersama Mas Bagas, baru kali ini aku melihat Mas Aditya sebahagia ini, dan kebahagiaan itu karena wanita cantik yang bersamanya.

Hatiku yang sudah di hancurkan karena di injak habis oleh Bu Widya kini terbang hilang tertiup angin. Senyuman miris tidak bisa aku bendung dari bibirku, sudut hatiku yang selama ini mengingatkan diriku siapa aku dan posisiku.

"Nggak usah ngerasa patah hati, Ra. Seorang Bagaskara saja istrinya seorang Putri Gubenur Akpol, kamu pikir Aditya yang merupakan Bos mau mencari wanita biasa-biasa saja. Dia baik padamu karena kasihan pada anak pembantu sepertimu, jangan GR. Lihatlah wanita yang di genggamnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya bermerk. Parfumnya saja seharga dua bulan gajimu. Jadi sadar diri, sadar posisi."

Tidak perlu usaha keras mencari tahu siapa wanita yang di gandeng oleh Mas Aditya, dan hubungan apa di antara mereka hingga Mas Aditya mau menggandengnya, karena suara penuh kebahagiaan dari Bu Widya di belakangku menjawab semua tanyaku.

"Shitta.... Calon Mantu Mama. Kenapa nggak bilang kalau mau datang, Nak?"

Langkahku terhenti seketika.
Duniaku benar-benar runtuh untuk kesekian kalinya.
Calon Mantu Bu Widya, ingat baik-baik hal itu, Nura.
Wanita seperti itulah yang di izinkan dan di berikan wajah tulus seorang Nyonya Wiraatmaja. Bukan dirimu yang hanya debu di rumah mewah ini.
Kamu tadi ingin melihat cinta pertamamu, bukan?
Maka lihatlah dia yang datang bersama dengan cintanya dengan baik-baik.
Buang semua omong kosong tentang perasaan dan sekarang kuatkan hati untuk membayar hutangmu pada keluarga ini.

Aku kembali melangkah, ingin menjauh dan segera pergi dari rumah ini, tapi sayangnya Bu Widya seperti ingin semakin menyiksaku, memperlihatkan padaku betapa berbedanya aku dengan mereka yang ada di rumah ini.

"Nura, minta tolong buatkan minum untuk Shitta." See, lihat bukan. Tanpa membantah perintah tersebut aku mengangguk walau aku mendengar jika Mas Aditya berkata tidak seharusnya Mamanya menyuruhku karena aku sudah bukan pembantu di sini.

"Kalau itu bukan Mbak di sini, lalu dia siapa?"

Samar-samar aku mendengar pertanyaan dari wanita cantik bernama Shitta tersebut usai mendengar protes Mas Aditya terhadap Mamanya yang menyuruhku.

"Kata siapa bukan Mbak di sini, dia anak dari pembantu di sini, Shitta. Walaupun dia sudah tidak tinggal di sini dan bekerja mandiri di luar sana. Memangnya statusnya akan berubah menjadi apa? Tetap saja dia anak pembantu, tidak berubah menjadi teman Aditya atau tamu."

Aku berdecih sinis, lebih tepatnya kepada diriku sendiri dan ucapan dari Mas Aditya dan juga Pak Toni saat aku datang tadi jika aku tamu rumah ini. Di sini, walaupun aku sudah tidak tinggal di sini, walaupun aku sudah sekolah tetap saja di mata orang-orang ini aku adalah anak dari pembantu yang mengunjungi rumah majikannya.

Dunia, apa salahku di masa lalu hingga semuanya begitu tidak adil terhadapku?
Aku memang tidak pantas mempunyai perasaan terhadap Mas Aditya, tapi haruskah Engkau memperlihatkannya dengan cara sekejam ini?

Berulang kali aku menarik nafas saat aku membawa nampan minuman serta camilan untuk pacar Mas Aditya, menyiapkan senyumku dan menguatkan hatiku yang sudah tidak berbentuk untuk berhadapan dengan wanita cantik yang sudah berhasil meluluhkan hati pujaan hatiku.

"Minumannya, Mbak."

Senyuman ramah juga tersungging di wajahnya menyambut ucapanku. Aura wanita ningrat terlihat di wajahnya sama seperti Mbak Helena.

"Nura, kamu mau jadi pagar ayu di acara nikahan kami nanti?"

Selesai sudah. Sempurna semuanya kehancuranku dengan berita pernikahan  yang baru saja terucap.

Nura, Baby For YouWhere stories live. Discover now