Bagaskara dan kalimat menyakitkan

6.2K 700 41
                                    

"Mas Bagas?"

Melihat sosok pria berkemeja biru dongker di balik kemudinya saat Nura sedang menunggu taxol membuat wanita yang menjadi salah satu staff sebuah perusahaan elektronik ternama dari Jepang tersebut mengernyitkan dahinya heran.

Bukan hal wajar melihat Bagaskara Wiraatmaja yang merupakan seorang Polisi berada di lingkungan kantor jika bukan karena ada tindakan kriminal yang memerlukan penyelidikan.

Layaknya sebuah adegan di sinetron, pria yang sudah Nura kenal sedari dia masih mengenakan rok merah SD ini membuka kacamatanya, wajahnya yang selalu cemberut tampak tidak suka melihat Nura yang justru seperti kebingungan melihat hadirnya di depannya.

"Sampai kapan kamu mau memintaku untuk menunggu di sini dan membuat kemacetan, Ra?"

Ucapan ketus dari Bagas membuat Nura tersentak, pemikiran awalnya tentang Bagas yang hanya menyapanya selintas pandang ternyata keliru, pria yang merupakan putra sulung keluarga Wiraatmaja ini memang datang untuknya dan sengaja menjemputnya. Sembari menggeleng pelan menepis banyak hal yang mungkin saja menjadi alasan Bagas menemuinya, Nura masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Bagas yang secara status merupakan majikannya.

Tidak ada ucapan apapun dari Bagas saat Nura masuk, Bagas hanya sekilas melihat ke arah anak tunggal mantan pembantu di rumahnya tanpa tertarik sama sekali dan segera melajukan kembali kendaraannya menembus jalanan yang padat di jam pulang kantor.

Lama mereka berdua terjebak dalam keheningan di dalam mobil, bukan hal yang mengherankan untuk Nura mendapati Bagas yang diam, pria ini memang sedari dulu jarang berbicara, sangat berbeda dengan adiknya, Aditya, yang lebih supel dan sedikit akrab terhadap anak pembantu sepertinya.

Mungkin alasan status yang mencolok itulah yang membuat Bagas tidak banyak berbicara dengan Nura, karena saat Bagas berbicara dengan Helena, wanita yang Bagas nikahi tiga tahun lalu, pria itu bisa berubah menjadi sosok menyenangkan yang berbeda 180° dengan yang ada di samping Nura sekarang.

Bagas, dia hanya menjadi terbuka saat bersama dengan wanita yang di cintanya tersebut. Hingga Nura bisa mandiri dan keluar dari rumah Wiraatmaja, sikap Bagas ini ternyata tidak berubah, dan juga kepercayaan diri Nura pun tidak tumbuh walau Nura juga sudah bukan menjadi pembantu di rumah Wiraatmaja.

Rasa segan dan hutang budi yang teramat besar terhadap anggota keluarga di mana Ibunya nyaris seumur hidupnya mengabdikan diri sebagai pembantu rumah tangga tetap melekat di diri Nura.

Jika bukan karena keluarga Wiraatmaja, mungkin Nura tidak akan pernah mengenyam pendidikan Sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang layak seperti sekarang, mungkin saja selamanya Nura tetap akan menjadi pembantu seperti Ibunya, keluarga Wiraatmaja terlalu banyak berjasa untuk Nura dan Ibunya, mungkin seumur hidup Nura tidak bisa membalas semua hutang budi tersebut.

Kini tepat setahun Ibu Nura sudah tiada, di hari bahagia Nura saat dia seharusnya bisa melihat senyum bangga Ibunya melihatnya memakai toga wisuda, Ibunya justru menyerah dengan rasa sakitnya, memilih untuk menyerah dari rasa sakit yang mendera selama bertahun-tahun meninggalkan Nura seorang diri di dunia.

"Kita mau kemana ya, Mas?" Sedikit takut Nura memberanikan diri bertanya pada Bagas, pria dingin yang membuat bulu kuduk lawan bicaranya berdiri ini membuat Nura begitu segan.

"Mau ke rumah, Papa bilang dia sudah lama tidak pernah melihatmu datang ke rumah. Beliau ingin melihat bagaimana keadaanmu sekarang."

Penjelasan padat, singkat, khas seorang Bagaskara yang irit berbicara. Tidak ingin bertanya lagi Nura memutuskan untuk diam, memilih untuk tidak mengusik Bagas walau setiap kali melihat pria ini Nura tidak bisa menahan diri untuk tidak curi-curi pandang terhadap Bagas.

Bukan karena Nura menyukai Bagas, Nura sadar diri Bagas Wiraatmaja tidak akan pernah meliriknya, pria ini sedari dulu begitu acuh bahkan mungkin tidak pernah menganggap kehadiran Nura itu ada.

Kepribadian Bagas sangat jauh berbeda dengan adiknya Aditya, pria yang sebenarnya ingin Nura tanyakan kabarnya terhadap Bagas, sayangnya Nura tidak mempunyai cukup keberanian dan kepercayaan diri untuk menanyakan tentang Aditya.

Sosok cinta pertama Nura.

Setiap kali melihat Bagas dan Aditya yang usianya hanya berbeda satu tahun, berlatih olahraga untuk memasuki Akpol, Nura sudah menaruh hati pada Aditya, bukan hanya karena wajah putra Wiraatmaja yang tampan, bukan juga karena terpesona tubuh keduanya yang bagus, tapi karena kegigihan kedua pria itu mengejar cita-citanya yang melenceng jauh dari keluarga Wiraatmaja yang bergelut di Baja dan Stainless kota Spirit of Java ini.

Diam-diam Nura memperhatikan Aditya dan Bagas yang berlatih, dan saat akhirnya hanya Bagas berhasil menempuh pendidikan di Akpol Semarang, Nura turut merasakan hancurnya hati Aditya saat mimpinya untuk menjadi seorang Polisi harus dia kubur-kubur dalam-dalam. Gugurnya Aditya dalam seleksi Akpol membuat pria itu memilih berkuliah jauh dan sangat jarang pulang ke rumah, membuat Nura menjadi jarang melihat sosok Aditya lagi.

Rasa yang sebenarnya tidak pantas Nura miliki mengingat status mereka yang berbeda. Walaupun Aditya memperlakukannya layaknya teman karena mereka tumbuh besar bersama, tetap saja hal itu tidak akan mengubah fakta jika Nura adalah anak pembantu dan Aditya adalah seorang pewaris Wiraatmaja.

Sadar diri, sadar posisi. Itulah yang berulangkali Nura tanamkan di dalam benaknya untuk tidak memupuk perasaannya terhadap Aditya. Dia hanya di izinkan untuk jatuh hati, bukan memperjuangkan hatinya untuk bisa memiliki.

Mengingat hal ini membuat Nura yang menatap keluar jendela mobil sembari berdecak pelan, melihat Bagas kembali setelah Nuraa memutuskan untuk keluar rumah Wiraatmaja pasca Ibunya meninggal membuat perasaan yang tidak bisa di hilangkan Nura terhadap Aditya sepenuhnya dari hatinya kembali bergejolak.

Sebanyak apapun pria mendekatinya, tertarik pada paras cantik dan juga kepintarannya, tanpa sadar Nura akan membandingkan pria tersebut dengan cinta pertamanya tersebut. Seorang yang sebenarnya haram walaupun hanya untuk di pandang karena dia adalah seorang bawahan sementara yang di cintainya adalah Pangeran.

"Kenapa berdecak, apa kamu keberatan untuk pergi ke rumah?"

Suara ketus dari Bagas membuat Nura menoleh, bahkan Nura tidak sadar jika dia telah berdecak seperti yang di ucapkan pria itu.

"Saya sama sekali nggak keberatan, Mas Bagas. Malah saya merasa nggak enak Mas Bagas harus nyamperin saya ke kantor."

Nura menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa sedikit tidak nyaman dengan keketusan Bagas yang sedikit menusuk hatinya. Perlakuan yang sudah Nura dapatkan dari dulu, tapi tidak pernah membuat Nura terbiasa.

"Kalau merasa nggak enak, jangan sampai di minta, seharusnya tahu untuk datang."

Nura mengangguk kaku, memang benar Nura jarang mengunjungi rumah Wiraatmaja, Nura tahu diri sudah merepotkan begitu banyak keluarga tersebut, datang tanpa ada maksud yang jelas tentu saja Nura berpikir hal itu akan mengganggu. Tapi tidak datang karena pemikirannya tersebut, ternyata tetap hal yang salah juga.

Gerutuan Bagas tidak berhenti hanya cukup sampai di situ, kalimat yang terucap dengan nada ringan tanpa beban darinya kembali menyakiti Nura tanpa pria itu sadari.

"Begitu keluar dari rumah nggak pernah balik sama sekali, kayak orang nggak tahu terimakasih. Kurang baik apa kami sama kamu dan almarhum Ibumu, Ra? Sampai untuk hal seperti ini saja Papaku yang harus memintamu. Heran kenapa Papa sama Aditya bisa sepeduli ini terhadap orang tidak tahu diri sepertimu."

Nura, Baby For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang