🎨1. Prolog

99 9 10
                                    

Happy Reading!

Ost : Runtuh

...

Anin masuk ke dalam rumah. Dia melihat kedua orang tuanya sedang duduk dengan wajah datar. Seakan mereka berdua sedang menahan malu dan amarah.

"Wih, anak perawan sudah pulang," tegur Azrina Nayla Mecca yang merupakan mama dari Anin.

Langkah kaki Anin terhenti saat mendengar teguran yang dilayangkan untuknya.

Ghifarial Abichandra selaku papa dari Anin berdiri dan melangkah menghampiri anaknya.

"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Contoh kakak dan adik kamu, jam segini belajar, bukannya kelayapan kayak kamu!"

Anin menghela kasar. Dia sedang dalam kondisi yang kurang baik untuk menerima segala perkataan papa.

"Kalau ditanya tuh jawab! Bukannya malah diem," ujar papa Anin naik pitam.

Helaan napas lagi-lagi terdengar dari bibir Anin. Melirik pada mama dan papanya. Apakah mereka berdua tau apa yang sedang Anin rasakan saat ini? Haruskah Anin menjawab pertanyaan yang mereka sendiri tau jawabannya?

Mungkin karena pengaruh dari rasa penat selepas bekerja, papa Anin tak segan melayangkan tamparan pada pipi putrinya ketika dirinya tidak mendapatkan jawaban.

"Apa sekarang kamu mendadak bisu? Apa benar kamu menjual tubuhmu?!"

Anin memegangi pipinya yang berdenyut nyeri. Menoleh pada papanya dengan tatapan nanar. Dia tetap diam, tetapi air matanya perlahan mengalir mewakili perasaan kecewa dan terluka akibat perkataan papanya sendiri.

Muak dengan segalanya, Anin berbalik dan berlari ke luar dari rumah dengan perasaan amat kacau. Langkahnya membawa dia masuk ke dalam hutan yang terdapat danau asri di dalamnya.

"Argh!" pekik Anin yang sedari tadi menahan suaranya.

"Kenapa harus Anin yang merasakan hal ini? Anin juga pengen punya keluarga harmonis seperti keluarga Aru!"

Air mata Anin kian meluruh bersamaan dengan rasa sakit yang mendera akar rambutnya akibat tarikan tangan Anin. Meluapkan segalanya, berharap beban yang dia ampuh ikut meluruh bersama dengan air matanya.

Tubuh Anin terjatuh di atas rumput basah, malam yang sunyi tidak menyurutkan semangat Anin untuk meluapkan segalanya di danau terpencil dan jauh dari jangkauan manusia perusak lingkungan.

Danau yang masih terlihat asri dengan air hijau yang jernih ditambah kilauan cahaya bintang dan sinar rembulan semakin menambah suasana.

Tangisan Anin semakin nyaring seiring bertambahnya waktu. Dari detik ke menit dan dari menit ke jam. Semuanya seakan berjalan lambat, memberikan kesempatan untuk Anin menjatuhkan air matanya tanpa takut hari semakin larut.

Tanpa Anin sadari, seseorang melihat semuanya dari awal. Dia hanya diam dan membeku melihat betapa hancurnya Anin. Dia adalah Aru, seseorang yang baru saja mendapat gelar sebagai teman Anin. Dirinya tidak menyangka akan melihat hal ini. Aru pikir Anin adalah perempuan tangguh dan nyaris tidak pernah mengeluarkan bulir mutiaranya.

Namun, persepsi Aru salah besar. Anin juga manusia, sekuat dan setangguh apapun dirinya. Anin juga berhak menangis, bahagia dan merasakan emosi lainnya.

Perlahan, Aru melangkah mendekat pada Anin yang kini tubuhnya bergetar karena tangis. Tangisan menyayat hati terus saja terdengar lirih di malam yang sunyi.

Aru menghela napas pelan. Menguatkan dirinya untuk bisa menyentuh pundak Anin. "Sampai kapan?" tanya Aru menjadi penyebab terhentinya tangisan Anin.

Keaadan hening beberapa saat. Anin menghapus jejak-jejak air matanya. Menoleh ke belakang dengan senyum yang terulas di bibir mungilnya.

"Ngapain ke sini?" tanya Anin berusaha mengalihkan. Anin hanya tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata siapapun.

Aru tidak menjawab. Dia memilih duduk di samping Anin. Mengelus rambut Anin dengan kasih sayang. "Maaf, karena telah lancang melihatmu dalam keadaan terpuruk."

Mendengar suara lembut dari Aru, lantas membuat Anin kembali menjatuhkan air matanya. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang Aru. Anin lelah, dia benar-benar lelah dengan kehidupannya.

Sejak kecil Anin tidak pernah sekalipun diberikan kasih sayang dari orang tuanya. Setiap harinya mereka selalu saja sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan memilih untuk menyerahkan semua urusan tentang Anin pada pengasuh.

"Jangan nangis Anin. Aku tau Anin ingin mendapatkan keluarga sepertiku, tetapi apa Anin tau? Sebelum hari ini aku malah selalu berharap bisa menjadi seperti Anin. Percaya diri dan tangguh, dua sifat yang sangat ingin aku ingin miliki dan itu ada padamu."

Anin menjauh dari tubuh Aru. Kepalanya terangkat untuk melihat wajah temannya. "Tapi kenapa kamu ingin menjadi seperti Anin?" tanyanya tidak mengerti.

Aru menghapus air mata Anin. "Apa Anin lupa? Aku selalu menjadi bahan perundingan. Aku lelah Anin, aku juga ingin bersekolah seperti pria kebanyakan. Sejak duduk di sekolah dasar, mereka tidak pernah membiarkanku hidup tenang di sekolah. Aku ingin, tetapi aku tidak tahu cara mewujudkannya," jelas Aru menghela napas panjang.

Keduanya terdiam. Helaan napas berat terdengar saling bersahutan membentuk alunan melodi dalam keheningan malam. Tanpa mereka berdua sadari, malam semakin larut. Namun, tidak ada yang ingin beranjak dari duduk mereka.

Anin melempar batu yang dia temukan ke dalam danau. "Bagaimana jika kita saling menguatkan? Bukankah masalah kita sama?"

Aru menoleh, mengerutkan keningnya pertanda kebingungan. "Masalah yang sama?"

"Iya, masalah yang sama. Kita berdua sama-sama tidak bisa menerima takdir yang telah dituliskan untuk kita. Kita selama ini tidak pernah menerima takdir, terus saja berkabung dengan apa yang terjadi ... bagaimana jika kita mencoba untuk memulainya semuanya dari awal?"

"Caranya?"

Anin tersenyum mendengar pertanyaan yang dilayangkan Aru. Mungkin selama ini yang Anin butuhkan hanyalah seseorang yang mampu membuat bebannya perlahan terangkat ke atas dan menguap bersama udara malam.

Anin dan Aru memang tidak pernah bisa mengubah takdir, tetapi mereka lupa akan satu hal. Mereka bisa memperbaiki takdir yang telah dituliskan dengan menerima dan berdamai pada keadaan yang ada.

...

Haiii! Gimana dengan prolognya?

Jika kalian menyukai cerita ini, silahkan tinggalkan vote dan komen kalian^^

Oh iya, cerita ini hasil collab dari dua insan ya. Aku dan SyaianMaulana muehehehe. Jangan lupa mampir ke akunnya.

See you next chapter^^

RENJANA [END]Where stories live. Discover now