Part 12

2.7K 382 7
                                    

Kriing kriing kriing kriing

Aruna terduduk kaget dari tidurnya. Ia mengusap-usap mukanya, frustasi. Tidurnya benar-benar tak nyenyak. Sisa-sisa kemarahan, kecewa, sekaligus sedih masih ada di benaknya. Ia melirik ke arah ponsel yang berada tepat di samping bantalnya. Ia mendengus kasar. Kemudian menggeram pelan. Jengkel, ia menyambar jam weker yang sedaritadi berbunyi tanpa ada keinginan untuk ia matikan. Dengan penuh kekuatan, Aruna melemparkan jam yang ada di genggamannya itu ke arah pintu.

Duagh!

"Argh!" Aruna berteriak frustasi. "Brengsek Ilan sialan!" Sepagi ini, gadis itu kembali menangis meraung-raung seperti semalam.

*****

Satu menit

Dua menit

Lima menit

Aruna makin gelisah memandangi layar ponselnya yang tak kunjung menyala. Ia menunggu ada notifikasi pesan muncul di sana. Kedua matanya menghujam dalam ke arah ponsel yang ia letakkan lurus dengan kakinya yang bersila di atas tempat tidur. Jika saja kedua mata Aruna adalah sebilah pisau, bisa dipastikan ponselnya akan terbelah menjadi beberapa bagian.

Sepuluh menit

Tujuh belas me-

Kedua mata Aruna membulat saat melihat ponselnya menyala.

Nit.

Cepat-cepat, ia membuka fitur pesan yang saat ini menyatakan ada notifikasi baru.

Sender: 082167357xxx

Kita ngobrol via Line aja.

Belum sempat Aruna membalasnya, notifikasi pesan baru muncul lagi di layarnya, kali ini dari aplikasi Line. Aruna bukannya mau cari mati karena memancing langsung di sumber sakit hatinya. Ia hanya ingin menyudahi kegelisahan yang belum benar-benar terselesaikan. Feelingnya sih mengatakan kalau ia harus bicara langsung. Aruna hanya tak mau mendengar penjelasan dari sisi Ilan saja. Tapi kalau harus bertemu, Aruna juga malas jika nantinya malah berdebat. Jadi ya, ia memutuskan untuk menyelesaikan dengan Dara via ponsel saja.

*****

Empat angka di ponsel Aruna menunjukkan pukul 2 tepat. Hari sudah berganti, tapi airmatanya masih saja tak berhenti. Ia menatap layar ponselnya yang standby menunjukkan ada chatnya dengan Dara disana. Aruna menggigit ujung bantalnya. Menahan teriakan yang sebenarnya sudah ada di pangkal tenggorokan. Kesal. Ia kesal sekali. Perlahan-lahan, Aruna kembali membaca chatnya sekali lagi.

Dara Aprilia: ada apa?

Aruna Calantha: gue cuma penasaran aja, gue sempet baca chat lo sama Ilan. Lo masih inget "kenapa akhir-akhir ini kamu gak ada kabar? Sebenernya kamu anggap aku apa sih?"

Dara Aprilia: lo masih ada hubungan sama Ilan?

Aruna Calantha: menurut lo aja

DaraAprilia: Ilan bilang, dua bulan lalu lo udah minta putus.

Aruna menggeram pelan. Brengsek Ilan. Dua bulan dia bilang? Aruna mendengus kasar.

Aruna Calantha: Ilan ngomong apa aja sama lo?

DaraAprilia: bentar deh, kita harus lurusin ini dulu. Lo masih pacaran sama Ilan?

Aruna Calantha: iya, Nona cantik. Gue. Masih. Pacarnya. Ya meskipun akhir-akhir ini kita berantem gara-gara lo sih.

Dara Aprilia: sorry, Na. Gue gak maksud. Kalopun gue tau kalian masih pacaran, mana mungkin gue mau dideketin Ilan.

Picture received.

Aruna memandang nanar beberapa screen capture yang dikirimkan Dara kepadanya. Sakit di dadanya semakin menjadi. Kiriman gambar itu menunjukkan chat Ilan dengan Dara sekitar sebulan lalu. Ilan berusaha meyakinkan Dara bahwa ia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Aruna. Sudah cukup. Aruna tidak mau lagi berurusan dengan Ilan maupun Dara. Tanpa pikir panjang, Aruna mem-forward pic yang dikirimkan Dara kepada Ilan.

Kita putus!

Dua kata penuh kekesalan yang ia bubuhkan sebagai pesan untuk Ilan.

Kesal, Aruna melayangkan kepalan tinjunya berkali-kali ke arah bantal. Tak lama kemudian, ia jatuh tertidur karena kelelahan.

*****

Mendengar suara ribut dari dalam kamar seberang, Dafian yang baru selesai mandi segera bergegas keluar menuju kamar adiknya. Tergesa-gesa, ia membuka pintu kamar Aruna. Begitu pintu terbuka, ia mendengus kasar saat melihat Aruna menangis meraung-raung dengan wajahnya yang terbenam bantal.

"Na...." Dafian menyentuh pelan bahu adiknya.

Aruna menoleh perlahan, mengusap cairan yang keluar dari hidungnya dengan punggung tangan.

"Abang...." Aruna merajuk di tengah isakannya. Memeluk tubuh Dafian dengan erat.

Dafian hanya tersenyum tipis. Lembut, ia mengelus rambut hitam Aruna yang sedikit kusut. "Kenapa, Princess?"

Kedua bibir Aruna tertarik sedikit. Ia selalu suka jika Dafian memanggilnya dengan sebutan itu. Sebagai jawaban, Aruna hanya menggeleng perlahan. Ia tak mau bercerita kepada Dafian sebelum ia tenang.

Dafian menghela napas panjang. Diam-diam, ia membuka lock ponsel Aruna yang tergeletak di atas tempat tidur. Ibu jari Dafian bergerak perlahan di atas layar ponsel adiknya yang masih menampilkan barisan chat semalam. Ia mendengus kasar saat mengetahui penyebab adiknya membuat keributan sepagi ini.

Saat meletakkan ponsel Aruna di posisi semula, kedua mata Dafian menangkap buku diary Aruna yang masih terbuka, menunjukkan barisan tulisannya yang rapi ada di sana. Mata Dafian bergerak cepat membaca tiap baris yang tertulis.

Yang sudah biar sudah

Kita dua yang menjadi satu

Tidakkah cukup?

Jangan datangkan satu di antara dua

Yang menjadikannya tiga

Atau haruskah aku pergi

Untuk menjadikan tiga sebagai dua

Meski aku harus tersakiti?

Dua, yang tanpa ada aku lagi

-Aruna, pada dini hari yang perih-

Pelan, Dafian melepas pelukannya. Aruna menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak mau Dafian melihat keadaan mukanya yang berantakan.

"Jadi ini, yang bikin kamu tiap hari kirim email yang isinya minta Abang pulang, hm?" Dafian menyentuh dagu Aruna perlahan. Meminta Aruna untuk memandangnya. Kedua ibu jari Dafian bergerak menghapus jejak-jejak air mata yang membekas di kedua pipi Aruna.

Takut-takut, Aruna menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dafian tersenyum lembut. Telapak tangannya yang besar, ia rebahkan di puncak kepala Aruna.

"Kamu tau, bahwa jatuh cinta itu sepaket sama patah hati. Tapi ngeliat adik Abang nangis sampai mukanya beler begini, Abang jadi tahu kalo patah hati kamu kali ini pasti parah banget."

Lagi, Aruna hanya menjawabnya dengan anggukan. Ia memegangi dada sebelah kirinya yang berdetak ngilu dengan mencebikkan bibirnya lucu.

Dafian terkikik geli. Dengan lembut, Dafian mengecup kedua kelopak mata Aruna yang sedikit membengkak. "Jangan nangis lagi."

*****

TrustWhere stories live. Discover now