Part 4

4.3K 457 8
                                    

Drrt drrt drrt drrt

Aruna menggeliat di bawah selimut saat merasakan getaran berulang di kasurnya. Matanya bahkan masih enggan terbuka. Dibiarkannya getaran tersebut yang sudah dipastikan berasal dari ponselnya. Tak peduli sudah berapa lama ponselnya bergetar, ia makin bergelung di bawah selimut, karena ia yakin, bahwa saat ini matahari belum terbit. Belum ada cahaya yang menelusup dari jendela besar kamarnya.

Drrt drrt drrt drrt

Ponsel itu terus bergetar, seakan menyuruh Aruna untuk segera bangun dari tidur lelapnya.

"Yassalam. Siapa sih ah," gerutu Aruna.

Aruna mencari ponselnya dengan mata yang masih terpejam. Menggeser layarnya ke kanan, seolah dia sudah hapal dimana letak answer icon agar panggilan yang sudah sedaritadi menjerit itu bisa segera dijawabnya

"Halo." Aruna menempelkan ponsel di telinganya, dengan mata yang masih terpejam.

"Eh? Kok gelap sih?" Terdengar suara bass di ujung ponselnya. Menandakan bahwa yang berada di ujung panggilan sana adalah seorang lelaki.

Eh? Lho? Aruna menjauhkan ponsel dari telinganya. Kemudian memandang layar ponselnya dengan mata yang bahkan masih terbuka seperempat. Gadis itu baru menyadari, getaran yang sedari tadi ditimbulkan ponselnya itu berasal dari panggilan facetime.

"Aruna?" Suara dari ujung ponsel tersebut terdengar lagi. Mata Aruna seketika terbuka sempurna. Seketika lupa dengan rasa ngantuk yang sedari tadi menggelayuti matanya. Aruna sangat mengenali suara itu.

"ASTAGA ABANG! INI JAM BERAPA SIH, ABANG KURANG KERJAAN BANGET APA, DISINI BAHKAN MASIH JAM 5! ARUNA MASIH NGANTUK!" Aruna mengomel ke arah layar ponselnya, yang menampakkan wajah Dafian di seberang sana.

Dafian terkikik melihat muka bantal Aruna yang sedang marah-marah. "Itung-itung Abang bangunin kamu kan. Mukamu jelek banget sumpah. Banyak beleknya tuh."

"Bodo. Abang ini yang liat." Aruna merubah posisinya agar merasa nyaman. Menyandarkan punggung ke kepala ranjangnya yang berukuran cukup besar untuk ia tiduri sendirian.

"Minggu depan Abang  pulang, Aruna."

"SERIUS?!" Mata Aruna berbinar mendengar kabar kepulangan Dafian. "Emang program study exchangenya udah kelar Bang?"

"Udah, lah. Kalo belum kelar, Abang gak bakal bisa pulang."

"Oh iya." Aruna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa sudah melontarkan pertanyaan bodoh.

"Yaudah deh. Udahan dulu ya. Abang cuma mau ngabarin itu aja. Gih kamu mandi. Jangan lupa sarapan. Hati-hati ke sekolahnya. Belajar yang bener, jangan pacaran terus. Oke? Bye, little sister. I love you."

"Siap, Abang. I love you too." Aruna mengakhiri pembicaraan tersebut setelah melemparkan kecupan kiss bye ke arah layar ponselnya untuk Dafian.

Ia sangat senang akhirnya Dafian pulang juga, setelah berbulan-bulan ada di negeri orang. Ia seringkali bosan jika ditinggal sendirian di rumah saat Ayah-Bundanya harus mengurusi pekerjaan di luar kota. Dafian adalah kakak satu-satunya Aruna, yang sekarang sedang menjalani masa pertukaran mahasiswa di London. Meskipun sedang berjauhan, Dafian maupun Aruna sering facetime bergiliran untuk sekedar melepas rindu. Ya karena di keluarga Adijaya hanya memiliki dua anak, jadi otomatis Dafian dan Aruna sangat dekat. Bahkan mereka sangat saling menyayangi. Apalagi, mengingat faktanya bahwa Dafian kecil dulu sering merengek bahkan sampai menangis karena minta adik ke Ayah Bundanya. Jadi bisa dibayangkan sebesar apa rasa sayang Dafian pada Aruna.

*****

"Mbok Surti!!!!!" Aruna melangkah menuruni tangga seraya meneriakkan nama asisten satu-satunya yang sangat ia sayangi itu.

"MBOOOOK!!!!" Merasa tak mendapatkan jawaban, Aruna berteriak lebih keras lagi.

"Iya, Non." Wanita berkebaya yang sudah berumur 50 tahun itu balas berteriak dan melangkah tergesa dari paviliun belakang rumah, yang memang dikhususkan oleh majikannya untuk ia tinggali. Mbok Surti sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi pada keluarga Adijaya. Ia bahkan sudah membantu pekerjaan rumah tangga di rumah itu sebelum Dafian dan Aruna lahir.

"Lho, kok sudah siap, Non? Ini masih jam 6 kurang lho. Kan Non masuk sekolahnya jam 7 toh?" Mbok Surti terheran-heran melihat anak majikannya sudah duduk di ruang makan dengan berpakaian seragam lengkap.

Aruna merebahkan kepalanya di atas meja makan. Merasakan matanya masih terasa berat untuk diajak terbuka dengan sukarela. Karena biasanya, di jam ini dia baru saja masuk ke kamar mandi. Bukannya sudah siap di meja makan seperti ini.

"Ngantuk, Mbok." Aruna mencebikkan bibirnya. "Tadi pagi Abang telpon aku di pagi buta, Mbok. Padahal aku masih ngantuk. Katanya minggu depan dia pulang."

"Minggu depan, Non? Wah, akhirnya rumah rame lagi." Mata Mbok Surti berbinar senang. Akhirnya anak sulung majikannya pulang juga ke Indonesia.

"Diminum, Non." Mbok Surti meletakkan segelas air di hadapan majikannya. Ia sangat paham bahwa Aruna tak menyukai makanan atau minuman manis. Lagipula, air mineral di pagi hari sangat baik untuk kesehatan.

"Makasih, Mbok." Aruna mengangkat kepalanya. Kemudian meneguk segelas air tersebut. Aruna melanjutkan sarapan dengan hanya memakan roti yang sudah ia olesi selai.

Sebenarnya dia tidak begitu ingin sarapan pagi ini, karena ia benci sarapan seorang diri. Sesuai yang dibicarakan oleh Ayahnya semalam, bahwa orang tuanya berangkat tadi pagi di jam keberangkatan pertama ke Kalimantan, untuk mengurus pendirian rumah sakit baru. Ya, kedua orangtua Aruna adalah seorang dokter, dan sudah memiliki rumah sakit di beberapa tempat. Dan dari profesi itulah yang kemudian mempertemukan Ayah Bundanya, begitu yang sering diceritakan oleh orangtuanya dengan bangga.

Drrt drrt drrt drrt

Aruna merasakan ponsel di sakunya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk terpampang di layarnya.

Sender: Gilang AP                                                                                                           

Baby, mengingat sekolah kita yang jauh dan gue baru bangun, hari ini lo berangkat sendiri ya. Hati-hati. Jangan ngebut.

Aruna menghela napas panjang. Gilang tidak bisa menjemputnya hari ini. Untung tadi pagi Dafian membangunkannya lebih awal. Jadi dia bisa berangkat lebih awal untuk menghindari macet di jalanan.

Aruna mengarahkan pandangan ke arah jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kanannya. Pukul 6.15. Ia harus berangkat sekarang, sebelum jalanan mulai ramai dengan orang-orang yang memulai aktivitasnya. Aruna menyambar kunci mobilnya yang berada di ruang keluarga. Kemudian berjalan menuju garasi, menuju mobilnya yang terparkir di sana.

"Mbok, Aruna berangkat dulu ya." Aruna berteriak dari depan pintu rumahnya.

"Iya, Non. Hati-hati." Samar-samar ia mendengar sahutan dari arah dapur.

*****

"Jus alpukatnya, Mbak." Seorang lelaki yang berumur sekitar 20 ke atas, meletakkan segelas jus alpukat di meja Aruna. Lelaki itu tersenyum ramah setelah tugasnya mengantarkan pesanan untuk Aruna, terselesaikan dengan baik seperti biasa.

"Makasih ya, Mang." Aruna menyunggingkan senyum tipisnya seraya menganggukkan kepalanya. Gadis itu meminum jusnya sedikit. Kemudian kembali termenung, menekuri pesan yang sedaritadi terpampang di layar ponselnya.

Have a nice day, sayang ;)

Aruna menghela napas panjangnya, seolah ada beban yang sedaritadi menghimpitnya. Pesan itu dari Ilan, pacar Aruna semenjak 7 bulan lalu. Aruna hanya tersenyum kecut memandangi pesan itu. Tak berniat untuk membalas pesannya. Pandangan Aruna jauh menerawang, tangannya terus saja mengaduk segelas jus yang ada di hadapannya. Ia teringat sakit yang ia rasakan beberapa hari lalu. Sakit tepat di dadanya. Ia merasa seperti ada yang menyayat dadanya dengan sebilah pisau berkarat, meninggalkan bekas yang sulit sembuh.

Oh Tuhan, biarkan perasaan itu hilang. Harapan itu tak henti di rapal olehnya

*****

TrustWhere stories live. Discover now