Part 11

2.9K 376 14
                                    

"Pelan-pelan Na," Reno meringis kesakitan saat merasakan selembar handuk dingin menyentuh lukanya. Matanya terpejam sempurna. Sesekali dahinya berkerut dalam saat merasakan perih luar biasa. Kepalanya ia rebahkan ke kepala sofa.

"Ini udah pelan-pelan, Kak." Aruna membersihkan luka yang mulai mengering di dahi Reno. Kadang ia ikut meringis kecil saat melihat kerutan di dahi Reno. Seolah ia juga merasakan sakitnya.

"Lo gak apa kan, gue culik dulu kesini?"

"Ya mau gimana lagi Kak, gue belum bilang iya, tapi lo udah seret gue kesini aja." Kedua tangan Aruna bergerak menempelkan kassa dan plester di dahi Reno setelah lukanya ia bersihkan dengan handuk berlumur alkohol.

Reno terkekeh mendengar gerutuan Aruna. "Ya sorry, Na. Namanya juga khawatir."

"Udah tuh lukanya." Aruna memiringkan kepalanya. Memerhatikan luka Reno yang sudah terbalut. Di sekitar luka tersebut ada bulatan berwarna ungu. Pasti sakit, pikir Aruna.

"Thanks, Na," Gumam Reno, masih dengan kedua matanya yang terpejam. Denyutan kencang yang berpusat di dahi sebelah kirinya, masih terasa.

Diam-diam, Aruna memerhatikan garis wajah Reno. Hidungnya yang lancip, kulitnya yang putih, pipi yang menyembunyikan dua lubang kecil di sisi kanan-kirinya. Aruna tersenyum samar. Kalau sudah begini, tidak lagi terlihat kilatan jahil dari kedua mata Reno. Yang ia lihat, hanya sosok seorang Kakak yang akan berdiri di garis paling depan saat adiknya tersakiti.

"Pasti sakit ya, Kak?" Telunjuknya menyentuh pelan plester di dahi Reno.

Kedua sudut bibir Reno melengkung ke atas. "Bohong kalo gue bilang ini gak sakit." Ia merasakan jemari Aruna yang mengelus lukanya pelan-pelan. "Mau sakit kayak gimana pun, kalau endingnya begini sih gue rela, Na," batin Reno.

Aruna merebahkan kepalanya di samping Reno. Ia seolah mendengar irama menenangkan dari nafas Reno yang teratur. Dari posisinya saat ini, Aruna bisa mencium aroma mint bercampur lemon dari tubuh Reno. Aromanya segar. Ia menikmati aroma tersebut mengisi penuh rongga di paru-parunya.

"Lo inget pertemuan pertama kita, Na?"

Aruna mengerutkan dahinya, bingung sekaligus kaget. Ia kira Reno sedang tidur, mengingat dadanya yang bergerak naik-turun secara pelan dan teratur. Telunjuknya bergerak-gerak di udara, pertanda ia sedang berpikir. "waktu MOS?"

Perlahan, Reno membuka kedua matanya. Kepalanya berpaling ke samping kiri, menghadap ke arah Aruna. Ada rasa kecewa yang menelusup ke dadanya. "Gue tahu, lo gak bakal inget."

Garis-garis di dahi Aruna semakin terlihat jelas. Kenapa Reno memberikan tanggapan seolah jawaban yang diberikan Aruna, bukanlah jawaban yang benar.

Kedua mata Reno memandang Aruna dengan lekat. Masih ia ingat dengan jelas, senyuman yang pertama kali ia lihat, hingga bisa membuat darahnya berdesir.

"Cowok SMA, jongkok di halte, di bawah hujan, luka di tangan." Reno tersenyum tipis. Matanya menerawang menatap langit-langit rumahnya.

Aruna menoleh ke arah Reno. Samar-samar ia mengingat beberapa bulan lalu ia bertemu dengan seorang cowok berseragam SMA, dengan luka kering di buku-buku tangannya dan kedua mata yang merah sekaligus berkaca-kaca.

Dari ekor matanya, Reno memerhatikan Aruna yang sedang memandangnya, seolah memastikan sesuatu. Garis-garis kerutan di dahi Aruna bahkan sudah hilang.

"Cowok itu-"

Reno mengangguk pelan. "Yep. Itu gue." Reno memejamkan kedua matanya lagi merasakan perih di detakan jantungnya yang muncul kembali dengan perlahan. "Kejadiannya hampir sama kayak tadi, Na." Reno menarik nafas dalam-dalam. Aruna hanya terdiam. Berulang kali kerutan di dahinya muncul, kemudian hilang, kemudian muncul lagi. Terlalu banyak teka-teki yang diberikan Reno, dan terlalu banyak jawaban teka-teki tersebut yang membuatnya sukses terbengong-bengong.

TrustWhere stories live. Discover now