Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 15.16

"Jadi, udah berapa kotak tisu lo habisin  buat nangisin Tuan Raden Heraldo Koeswoyo?" hina Marcell seraya menyeringai.

Tanpa seceruk belas kasihan pun, kuhantamkan stik golf yang sedang kupegang ke Chanel Calfskin Sneakers yang tengah memproteksi kakinya.

"BUSET! Lo masih temperamen aja ya!" Marcell meringis seraya mengelus ujung kakinya. Entah karena kesakitan atau karena sedih--sepatu ribuan dollar-nya kuperlakukan semena-mena.

Aku membenarkan bandana biru tua yang melekat padat di kepala. Tanganku menggenggam stik besi itu dengan overlapping grip--  jari kelingking kananku diletakkan antara jari telunjuk dan jari tengah bagian kiri. Kuayunkan stik ke arah belakang tubuh hingga melampaui tinggi kepala, kemudian dengan kutarik balik pukulan itu supaya mengenai sisi bola.

Apakah kena? Tentu tidak. Barusan, aku cuma banyak gaya. Si Marcell tertawa seperti iblis yang baru berhasil menjerumuskan seorang pemuka agama ke neraka.

"Banyak gaya lo," komentar Marcell. Ia tertawa sampai wajahnya merah. Tangannya memegangi perut--lebay sekali, memangnya lambung dia bakal kabur kalau tidak dipegangi begitu?

"Daripada lo, banyak dosa," timpalku kesal. 

Bola golf tolol. Bisa-bisanya dia tetap diam di tempat setelah aku bermanuver sungguh-sungguh. This fucking stupid golf ball is actually a paid actor, bitch.

"Tapi, gue gak pernah ya nangisin lawan jenis sampai semingguan kayak lo. Liat dong, muka lo gede banget gitu, kayak disengat tawon berjamaah. Hahahahaha," tawa Marcell, puas meledek wajahku yang membengkak.

Aku geram. Kuamati jam tangan Patek Philippe 1939 Platinum World Time yang melingkar di tangan kirinya. Jika aku berhasil merampok itu dan menjualnya, niscaya aku bisa ongkang-ongkang kaki sampai kiamat tiba.

"Jadi, lo udah fix suka sama Edo nih, ya? Akhirnya."

"Tau deh." Aku membuang muka, menyembunyikan air mata yang pecah dari celah-celah.

"Utuk utuk utuk ... " Marcell ragu-ragu mengusap punggungku yang dilapisi  kaus polo warna biru navy--serasi dengan bandanaku.

***

"Iya deh, nangis aja terusin, gak papa." Marcell akhirnya menyerah, menghempaskan tubuhnya di rumput halus sebelahku. "Lo cinta banget sama Edo ya, Dy?"

Gak tahu. Aku tidak tahu apakah aku benar mencintai Edo, atau aku hanya kecewa akibat ramalan itu tidak tepat--yang itu berarti, aku harus kembali giat mencari.

Segala sesuatu akan lebih mudah andai ramalan Kios Spoiler Masa Depan akurat tepat sasaran. Edo jadi kekasihku, dan aku tidak perlu repot-repot patah hati sesenggukan.

"Gimana tadi kata lo? Edo udah punya calon istri?" singgung pria berusia terpaut satu tahun lebih tua dariku itu.

Tangisku kian menggelegar. Marcell ini tolol atau kurang ajar? Aku mengangkat golf stick head milikku tepat ke dekat arlojinya, mengancam akan menghancurkan benda penunjuk waktu seharga puluhan milyar rupiah yang bertengger gagah di pergelangan tangannya.

Closing Closure ✔️ | ODYSSEY vol. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang