Chapter 7-Pake Nanya

465 74 22
                                    

~Happy Reading~

Terhitung ribuan kali Yoshi membujuk Junghwan agar mau diajak berjalan-jalan di taman istana, tapi si empu enggan. Junghwan mengaku bahwasanya tidak ingin merepotkan sang ayah angkat untuk mendorong kursi rodanya. Pasalnya jarak kamar dan taman bisa terbilang jauh.

Meskipun ada ratusan dayang yang mengabdi di sini, tetap saja Junghwan menolak. Junghwan belum terbiasa dengan kehidupan para bangsawan, sama seperti Yoshi yang terkadang dibuat bingung dengan sikap mereka yang manja.

Berakhir Yoshi berjalan seorang diri di taman. Yoshi menatap langit, cuaca pagi ini sangat cerah disertai silir-semilirnya angin. Tiba-tiba saja dia merindukan tubuhnya di Jakarta.

"Woi, Yosh. Keadaan lo di sana gimana? Lo ngapain aja? Apa lo makan Indomie lagi? Lo masih nganggur?" Tidak mempedulikan beberapa mata yang meliriknya.

Yoshi bertanya-tanya. Bagaimana tubuhnya di sana? Jiwanya ada di novel ini, lalu apakah jiwa Jaden berada di tahun 2023?

"Masa iya kita tukeran sih?" Yoshi menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin." Apakah karakter dalam sebuah novel memiliki jiwa? Walau mereka seringkali berhasil membuat kita berperasaan.

Sipitnya bergerak menangkap sosok Jihoon yang berjalan seorang diri. Jarak mereka tidaklah jauh, tapi tidak ada tegur sapa.

Sesuai hubungan Jihoon dan Jaden di novel Help Me. Keduanya merupakan kakak beradik yang terasa seperti orang asing semenjak perpindahan tahta. Bila persyaratan tahta tanpa ada pertarungan antara saudara, mahkota itu sudah pasti jatuh ke kepala Jihoon saat ini. Singkatnya, Jihoon kalah melawan Jaden dalam kompetisi Kenjutsu.

Yoshi tersenyum jahil melihat Jihoon. "Buat hubungan kakak adik ini lebih akrab nggak apa-apa, kan?"

"Kiw, cowok~" Sapaan itu tentu takkan berhasil mencuri atensi Jihoon, apabila Yoshi tidak menepuk bahu kokoh tersebut. "Sendirian aja, Bang?"

Jihoon tersenyum kikuk. Senyumannya semakin canggung ketika bahunya dirangkul. "Y-ya, saya sendirian."

Yoshi menghentikan langkahnya, otomatis Jihoon ikut berhenti. "Mengingat hubungan kita yang kaku. Mari jangan terlalu kaku denganku."

"Maaf?" Jihoon ingin meminta pertolongan agar dijauhkan dari makhluk freak di sampingnya.

"Jangan bicara formal. Kau kakak ku, kan? Bisakah kita hidup seperti kakak dan adik?" Yoshi ingin bilang 'Anjay, keren banget gue.'

Dengan kening yang berkerut, Jihoon ingin mencoba cara bercakap santai dengan adiknya sendiri. Meski terasa sangat aneh. "A-ada apa denganmu?" Pertanyaan Jihoon malah menghadirkan tawa.

"Jangan cemaskan aku." Yoshi memberikan pukulan kecil dipunggung pangeran itu. "Sekarang, kau ingin ke mana?"

Jihoon menunjuk suatu tempat yang memerlukan lima belas langkah dari tempatnya berdiri. "Ke istal."

'Sudah, kau harus diam, Jihoon. Ini tidak sopan.'

"Istal?" Yoshi menyipitkan matanya ke arah tempat yang ditunjuk. Ada banyak kuda di dalam sana. "Oh, lo mau ke kandang kuda."

Jihoon menolehkan kepalanya setelah kakinya memasuki bagian dalam istal, bertatapan dengan Yoshi yang seperti anak polos mengekorinya. "K-kau ingin berkuda?" Jihoon bertanya. Padahal sedetik yang lalu ia tekankan untuk berhenti berbicara.

Yoshi berpikir sejenak. Sejak orok, dia belum pernah mencoba berkuda. Persetan, ini bukan tentang berkuda, ini tentang harga diri seorang pria.
"Tentu." Balasnya tanpa ragu.

Keduanya berpencar memilih kuda yang nantinya ditunggangi. Ia melirik ke arah Jihoon, pangeran itu mengeluarkan kuda putihnya seorang diri. Sementara dirinya dibantu oleh pengurus istal untuk mengiring kuda ke hipodrom.

Mampus, jadi Raja✓Where stories live. Discover now