V: Tale of the Forgotten God

45 12 0
                                    

Dibawah cahaya bintang-bintang yang bersinar terang di atas langit, seorang pria memandang lurus meja kosong di depannya.

Pelataran taman luar yang biasanya di penuhi oleh para petinggi kerajaan kini terasa begitu sepi dan hampa. Bukan karena mereka sedang memiliki kepentingan lain namun karena jiwa mereka yang memang tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Peperangan dengan kekalahan yang begitu telak terus saja menghantam kerajaan miliknya, sebagai seorang putra mahkota tentu saja prestasi tersebut adalah sebuah kehancuran. Andai saja ia tidak pernah menerima posisi tersebut mungkin rasa bersalahnya terhadap seluruh rakyatnya tidak akan sebesar ini.

"Yang mulia." ujar seseorang baru saja menghampirinya, "kita memiliki berita dari Conhard." serunya setengah berbisik.

"Katakan."  pria berambut hitam dan pemilik warna mata biru laut tampak tidak tertarik sedikitpun dengan apa yang hendak tangan kanannya sampaikan.

"Sepertinya tujuan negosiasi kita sudah lebih dulu terendus karena kekaisaranlah yang justru menawarkan perjanjian damai dengan kita."

Xaviero tertawa, "Damai? kau percaya?"

"Mereka memang tidak bisa dipercaya namun kita tidak memiliki pilihan lain selain menerimanya, rakyat akan semakin menderita jika kita tidak mau menurunkan ego."

Ego? jika bisa diartikan kalimat itu sama saja seperti menurunkan harga diri.

Dulu ketika pangeran Zavier masihmenjadi seorang putra mahkota dan Xaviero masih merupakan pangeran kedua, kerajaan Raxvus begitu damai dan tentram bahkan ayahnyapun adalah seorang raja yang begitu disegani berkat keadilan serta kebijaksanaanya. Tidak sekalipun keduanya menyinggung mengenai harga diri karena mereka tau itu adalah sesuatu yang patut di jaga.

Jika pemimpin mereka tidak dapat menjaga harga diri bagaimana rakyat akan mempercayainya?

Fikiran itulah yang membuat Xaviero hampir gila, ketika kakaknya terbunuh dan ayahnya masih tertidur dalam koma kemudian meninggalkan dirinya seorang untuk memimpin. Kini kerajaanya memang benar-benar dalam ambang kehancuran.

"Conhard telah menyetujui segala syaratnya atas nama anda yang mulia." Nyx seorang pria berpenampilan cukup nyentrik itu menyerahkan selembaran kertas yang sudah terdapat cap tangan dari kaisar Ilythia, "jika anda berkenan membacanya."

Xaviero menerima kertas tersebut dan membacanya seksama, meski baru baris kalimat pertama rasa amarahnya langsung saja memuncak. "Ini gila." geramnya rendah, "aku lebih baik mati daripada tunduk pada mereka."

"Kalau saja mati semudah itu mungkin saya juga akan melakukanya." timpal Nyx menghela nafas, "namun jika anda melakukanya bagaiamana dengan rakyat kita? jangan biarkan kematian pangeran Zavier menjadi sia-sia hanya karena anda sudah merasa tidak sanggup lagi."

Kedua mata Xaviero terpejam, berusaha mengontrol emosinya sebisa mungkin.

Ia harus tetap bertahan, demi masa depan bangsanya.

Xavieropun kembali melanjutkan membaca perjanjian tersebut hingga matanya sampai pada sebuah kalimat akhir sebelum penutup yang membuat wajah datarnya terkejut, "Pertunangan? dengan putri Ilythia?"

Nyx mengangguk, "Anda harus bertunangan dengan putri Ilyhtia sebagai simbol utama perjanjian perdamaian ini." namun melihat ekspresi sang putra mahkota yang semakin menggelap ia memundurkan jaraknya beberapa langkah, "apa anda masih mengingatnya? sudah sangat lama sekali sejak pertemuan terakhir kalian, hmm kudengar ia diasingkan ke sebuah kastil semenjak permaisuri meninggal."

Bagaimana mungkin Xaviero melupakan gadis kecil nan periang itu, seorang malaikat kecil yang dulu sekali di perkenalkan kepada dirinya bersama dengan mantan tunangannya. Ketiganya  adalah teman yang sangat akrab sebelum tragedi penghianatan itu terjadi.

The Fallen KingWhere stories live. Discover now