Prolog

261 18 2
                                    

"Tuan putri adalah yang utama-" Bisik sir Culthen, penasihat sang kaisar pada seorang prajurit secara samar.

Tidak lama kemudian setelah perintah itu, dua orang berzirah besi lengkap dengan pedang dipinggangnya menghampiri Ailsa dan berjaga di kedua sisinya membuat perasaan gadis itu menjadi khawatir karena tidak seharusnya para pelindung kaisar hadir ketika ayahnya tidak ada.

"Sir Culthen?" Panggilnya membuat pria tua itu menoleh, "apa terjadi sesuatu?" tanyanya yang sudah tidak dapat lagi menutupi rasa kekhawatirannya, ditambah beberapa saat lagi pasukan kerajaan milik Raxvus akan segerta tiba di gerbang utama kastil Auberica.

Pria tua yang kemudian sudah ia anggap seperti paman sendiri itupun tersenyum hangat, "Tidak ada yang perlu di khawatirkan yang mulia, semua sudah dalam kendali."

"Raxvus tidak mungkin akan menyerang kita di hari perdamaian ini, untuk apa menempatkan pelindung kaisar? bagaimana dengan ayah sendiri?"

Lagi-lagi sir Culthen tersenyum, senyuman yang mengandung banyak arti. "Baginda tentu dalam perlindungan penuh meski tanpa pelindung raja sekalipun, lagipula putri bukankah berjaga-jaga lebih baik? kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya."

Mendengar jawaban dari sir Culthen entah mengapa perasaan Ailsa semakin tidak enak, ia tidak ingin berfikir buruk namun berbagai macam kemungkinan sudah terfikirkan di dalam benaknya. Dengan raut wajahnya yang terus menyorotkan kekhawatiran Ailsa berusaha menenangkan dirinya, membiarkan angin menerpa wajah serta gaun gaun kebangsawanannya yang berwarna putih polos dengan renda klasik yang melekat sempurna di tubuh indah mengingat di hari ini ia akan disahkan menjadi tunangan sang putra mahkota kerajaan Raxvus, xaviero kaz Raxvus.

"Putri." Ujar sir Culthan kembali, "apa anda gugup?"

"Terlihat sekali ya." Jawab Ailsa yang tengah berdiri di atas altar dengan memandang lurus pemandangan di hadapannya. "sudah sangat lama sejak terakhir kali aku dan Xaverio bertemu, aku merasa sangat canggung."

"10 tahun benar? Kalau tidak salah." Ailsa mengangguk mengingat masa-masa ketika dua kerajaan belum berpeang satu sama lain, "menyenangkan sekali ketika mengingat dulu anda dapat cepat berteman dengan sang pangeran meski baru kali pertama bertemu, seakan itu terjadi begitu saja dan sangat natural. Mungkin takdir memang mempertemukan kalian untuk suatu alasan besar."

"Mungkin saja." Jawab Ailsa dengan tersenyum, "lagi pula masa lalu akan tetap berada di masa lalu, bukankah lebih baik untuk melupakannya dan hanya berfokus terhadap masa?"

"Masa lalu memang dapat terlupakan namun apa akibat dari masa lalu itu tidak akan pernah hilang maupun terlupakan."

Mendengar ucapan sir Culthan Ailsa mengernyitkan dahinya, "Memang benar tapi kenapa kau berkata demikian paman?"

"Suatu saat nanti pasti anda akan mengerti."

"Mengerti apa?"

"Jika seseorang yang telah berkhianat maka kedepannya ia akan terus berkhianat, Raxvus dan Ilythia ikatan keduanya terlalu rapuh."

"Paman apa maksutmu?" Ailsa memundurkan langkahnya.

"Maafkan saya putri Ailsa, untuk segalanya."

DUMBBHHH!

Tiba-tiba terdengar ledakan yang begitu keras hingga berhembus angin yang begitu kencang membuat seluruh dekorasi yang telah tertata rapi kini berhamburan. Tubuh Ailsa yang tidak dalam posisi siaganyapun jatuh tersungkur hingga mengotori gaun putihnya.

Crack!

"TUAN PUTRI!" Secara gesit sir Culthan memapah tubuh Ailsa dan segera membantunnya untuk menjauh ketika batu penyangga Altar yang retak hampir menjatuhinya, "Bawa tuan putri ke tempat yang aman!" Teriaknya di susul oleh belasan prajurit yang segera melingkar melindungi sang putri. Para pelindung kaisar juga terkena imbas reruntuhan akibat melindungi sang putri kini mulai bangkit lagi meski sambil teratih.

"Uhukk uhukk apa yang terjadi?!" Suara Ailsa bergetar, wajahnya memancarkan ketakutan yang begitu nyata.

"Putri anda harus kembali ke ilythia." Seru sir Culthen. "demi keselamatan anda, para prajurit istana telah menunggu anda di jalan rahasia bersama dengan pangeran Cassio."

"Cassio? Jalan rahasia ?Aku tidak mengerti maksutmu paman lalu bagaimana dengan pertunangannya?"

Sir culthan menggeleng, "Maafkan saya putri namun keselamatan anda adalah yang utama, tolong tetaplah hidup dan berhati-hatilah."

"Mari tuan putri." Seret salah satu pengawal secara paksa sedangkan Ailsa yang masih diliputi kebingungan berusaha memberontak sekuat tenaga dan menggapai penasihat ayahnya tersebut.

"HENTIKAN!! APA YANG SEBENARNYA TERJADI!!!!" teriaknya begitu kencang, seharusnya bukan seperti ini yang ia harapkan di hari perdamaian antar dua kerajaan terlebih di hari pertunangannya. Berbagai macam pikiranpun seketika berkecamuk di dalam benaknya tanpa terkecuali pikiranya akan Raxvus yang benar-benar menghianati kerajaannya.

Langkah mereka yang cepatpun kini telah membawa Ailsa ke halaman depan kastil Auberica yang sudah terlihat sangat kacau.

Tinggal beberapa langkah lagi sebelum dirinya di seret menuju ke sebuah lorong rahasia, pada akhirnya Ailsa mengerti apa yang sedang terjadi.

Pemandangan di hadapannya telah mengatakan segalanya.

Tidak ada seorangpun prajurit milik kerajaanya yang tumbang tergeletak di halaman, simbol-simbol yang berjatuhan itu bukanlah milik kerajaanya...

melainkan puluhan prajurit dari kerajaan milik Raxvus lah yang jatuh berguguran dengan darah mereka yang saling menggenangi.

Alat-alat beratpun tampak dikerahkan dengan simbol milik kerajaan Ilythia yang terlihat agung. Seluruhnya alat tersebut menghancurkan pertahanan para prajurit Raxvus.

Tidak ada penghormatan ataupun kemanusiaan sekalipun, Ini bukan perdamaian seperti yang telah dijanjikan

ini adalah pembantaian.

Nafas Ailsa terasa begitu berat memperhatikan sekelilingnya, seharusnya ia tau ayahnya tidak akan pernah sebaik itu membiarkan dirinya bersama dengan Xaviero. Pria tua itu tidak akan pernah membiarkan dirinya bahagia, jika saja Ailsa mengerti bahwa semua ini adalah jebakan maka Xaviero pria itu-

DEG!

Tanpa sengaja pandangan mata Ailsa bersitatap dengan iris biru laut yang begiru menyegarkan. Iris biru laut yang sama ketika ia terakhir kali melihatnya 10 tahun yang lalu. Rambut kehitamnya yang tampak kotor dan kusut dengan setelan kerajaanyapun tampak lusuh ditambah darah segar yang mengalir di pelipisnya.

Xaviero, pria itu kini berada di hadapannya.

"Xaviero."Gumam Ailsa yang langsung saja mengenalinnya, "XAVIERR!!" Ailsa berteriak lebih lantang sambil mengulurkan tangan berusah menggapai pria tersebut.

"XAVIERR KAU HARUS PERGI!!! KAU HARUS TETAP HIDUP!" Teriak Ailsa di sisa tenaga trakhir miliknya, "KAU HARUS HIDUPP!!!" Tatapan mata biru itupun menatapnya dengan begitu intens dan tajam. Mulutnya berkatup rapat namun suaranya tersalurkan.

Hanya melalui tatapan, Ailsa tau kini calon tunangan yang seharusnya menatapnya penuh kasih justru membencinya. Sangat amat.

Satu hal lagi sebelum kegelapan menenggelamkan segalanya, Ailsa tau jika setelah ini kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.




Dengan kasih seorang wanita
hati yang beku dapat tercairkan
namun dengan dendam seorang pria segalanya hanya akan saling menghancurkan

-sang penyair, buku ke 2 halaman terlarang





•••

Haloo guys apakabar? udh lama banget ga update wkwk btw aku republish ceritanya ini karena kayanya sebelumnya error deh, dijamin kalian bakal  syuka sama cerita ini gakalah sama yg cerita aku lainnya hahaha

jangan lupa bantu vote ya dan saran di comment, kritik boleh tp yang sopan, budayakan pake kata-kata yang baik. thank you and happy reading all -grtx

The Fallen KingWhere stories live. Discover now