[Jangan lupa follow, vote dan comment ya biar makin semangat nulisnya 😉]
[Crime] [M] [Angst] [GAP]
Aku mencintaimu, meski kata-kata itu ku ucapkan dalam diam.
Jaehyun x Renjun
Start ; 18 Juni 2021
Revisi ; 10 September 2021
End ; 7 November...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Suasana malam terasa mencekam dari biasanya, kabut tebal menghiasi di setiap kawasan. Dan sialnya lampu di jalan menuju rumah Renjun pun mati total. Tak ada penerangan sedikitpun. Sedang ada pemadaman kah? Pikir Renjun yang lagi-lagi hanya bisa meruntuki dirinya karena pulang terlalu larut.
Lelaki mungil itu mempercepat langkah dengan waspada, jemarinya menggenggam erat ponsel yang ia nyalakan flashnya, guna memberi penerangan untuk perjalanan menuju rumah.
Hatinya semakin terasa gelisah saat pendengarannya menangkap suara langkah kaki lain dibelakang. Renjun kini berlari kencang, menembus kegelapan yang hampir membutakannya. Rasa kalut lantas menghantuinya, bahkan langkahnya pun terasa memberat. Ia kehilangan keseimbangan, dan tersandung dengan kakinya sendiri hingga tersungkur.
Ponsel ditangannya terbanting hancur, kini tak ada lagi penerangan yang membantunya melihat. Bahkan cahaya rembulan pun seakan enggan meneranginya.
Derap langkah itu semakin mendekat, ia bisa mendengar jelas suara pelatuk dari pistol yang siap di tembakan.
"Siapa disana?" teriaknya, dengan suara yang sedikit gemetar. Namun tak ada jawaban, Mungkin kah ini ajalnya? Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan? Mengapa Renjun selalu menjadi target pembunuhan mereka? Apa salahnya?
Semua pertanyaan itu hanya bisa mengalun dikepala Renjun, hingga suara desingan membuyarkan pikirannya. Sebuah peluru lantas tertancap dikepalanya.
"... Renjun!"
Suara itu sontak membangunkannya dari mimpi sial itu.
"hey, kau tak apa?" tanya Jisung yang kini menangkup pipi Renjun. Lelaki mungil itu menggerang dalam tidurnya, jelas membuat Jisung panik dan lantas membangunkannya.
Renjun terdiam meski peluhnya terus bercucuran. Mimpi itu benar-benar terasa nyata, bahkan bisikan terakhir yang sangat jelas ia dengar sebelum menarik kesadarannya.
"pembohong kecil...."
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ten terus mengulum senyum sambil mengelap gelas ditangannya. Teringat akan tadi siang, dimana Kun mengenalkan dirinya pada orang pria berkebangsaan Cina itu. Ia masih tak percaya bahwa Kun akan benar-benar mengajaknya pada hubungan yang lebih serius.
Ia harus bersyukur pada tuhan yang telah memberikannya pria sebaik Kun untuknya.
"apa sangat menyangkan, mengelapi gelas itu?"
Ten sontak melonjak saat mendengar suara dari sosok yang kini duduk dihadapannya. "Brandy." pesan pria tersebut, menghiraukan fakta sosok dihadapannya kini memucat pasi, bahkan hampir meneteskan air mata.
Ten masih mematung memandang pria tinggi yang kini ikut menatapnya lekat. Melihat tak ada respon, pria itu lantas menarik tengkuk Ten dan mengecup bibirnya. "kau tidak rindu dengan daddy mu?"
"bajingan!" cicit Ten, dengan buliran air mata yang jatuh dipipinya.
"terima kasih pujiannya." Johnny hanya tersenyum melihat reaksi yang diberikan Ten. Ia memajukan kembali tubuhnya dan berbisik tepat didepan wajah Ten. "pria yang bersamamu saat ini tak kalah bajingan."
Ten membulatkan mata, seolah ingin memukul pria yang ada dihadapannya saat ini. Bisa-bisanya pria monster itu mengatakan hal yang tidak-tidak. Melihat Ten yang masih terdiam dengan tatapan bengis penuh air mata, Johnny lantas beranjak dari minibar itu. Meninggalkan sebuket bunga mawar yang terdapat note kecil didalamnya.
Meski sedikit enggan, Ten meraih buket bunga itu dan berniat membuangnya. Namun rasa pesarannya pada isi note yang terdapat diselipan bunga tersebut, membuat Ten membukanya.
"Jangan dibuang lagi baby.
- Your daddy."
Baiklah, Ten menyesal dengan rasa penasarannya. Ia pun merobek-robek note tersebut dan membuangnya ketempat sampah berserta bunganya.
Tubuhnya gemetar, kejadian malam itu kembali terulang dalam memorinya. Bahkan membuat dadanya terasa sangat sesak, untuk apa orang itu datang? Untuk apa orang itu kembali dan mengusiknya lagi?
Rasa sakit yang masih tak bisa untuk ia lupakan. Bahkan terasa seperti luka yang teramat dalam, menggali lubang dihatinya.
"aku benci kau Johnny, aku sangat membencimu." rapalnya terus, sambil meremat dadanya yang terasa nyeri.
. . . .
"minumlah." Jisung menyodokan segelas air putih untuk Renjun. Selepas mimpi buruk yang mengusik tidurnya, Renjun bergeming ditempat tidur. Rasa takut itu justru menjadi sebuah teka teki untuknya. Ia masih belum yakin kejadian malam itu adalah sebuah kebetulan sosoknya yang menjadi target, atau memang sudah direncanakan. Lalu siapa yang menembak pembunuh itu?
"hei! Meski kau tak mau menerima cintaku, setidaknya terima gelas ini. Aku pegal memeganginya." ujar Jisung yang langsung mengalihkan atensi Renjun. Lelaki mungil itu pun memberikan lirikan sengit lalu meraih gelas itu. Jisung terkekeh kecil, ia pun mengambil posisi untuk duduk disebelah Renjun.
Renjun meletakan gelas setelah meminum airnya di atas nakas. Ia kembali terdiam sambil menatap kearah Jendela. Melihat sinar rembulan yang begitu terang dengan lingkaran penuh. Bahkan seolah tak perlu lagi penerangan lain dimalam yang pekat ini. Berbanding terbalik dengan mimpi yang ia alami. Ya, mungkin itu bunga tidur dan tak perlu ia pikirkan.
Renjun berjengit terkejut saat aktifitas memandang kearah bulannya diintrupsi. Sebuah tangan melingkar dipinggangnya, memeluknya dengan erat dari belakang.
"tidurlah lagi, akan ku temani. Jangan takut. Aku akan selalu ada disisimu." kata-kata yang dikeluarkan Jisung ditelinganya membuat dada Renjun berdenyut nyeri. Satu sisi ia merasa senang mendengar ucapan itu. Namun disisi lain, ucapan itu memberikan rasa takut yang salama ini ia rasakan. Dimana ia ditinggalkan seorang diri oleh orang-orang yang ia sayangi, yang entah kapan mereka akan kembali. Renjun tak ingin kembali berharap dengan kata-kata manis itu.
Ditinggalkan, adalah hal yang paling menyakitkan baginya. Rasa rindu yang tak pernah bisa terlampiaskan, kehampaan yang terasa mencekiknya secara perlahan. Ia benci hal itu. Ia benci menjadi sosok yang lemah dan ketergantungan dengan orang lain. Renjun hanya selalu dipandang cacat bukan? Sosok yang memiliki kebutuhan khusus.
Renjun meremat jemari Jisung yang melingkar dipinggangnya. Membalikan tubuh dan memeluk erat lelaki bermarga Park itu. Air matanya pecah seolah tak bisa ia bendung lagi. Andai ia bisa bicara, ia ingin sekali protes dengan semuanya. Mengungkapkan apa yang ia rasakan sesungguhnya dan langsung dipahami.
Hanya isakan tangis yang bisa mewakilinya saat ini. Mengisi ruang kamarnya yang terasa dingin dan kaku. Dan tanpa ia sadari, sosok lain memandanginya dari luar jendela. Menatap lekat dengan tatapan kosong pada sosok mungil yang kini berada dalam pelukan orang lain.