Dan lelaki bernama lengkap Nachandra Renjana ini adalah seorang anak dari seorang pengacara wanita yang namanya lumayan dikenal luas di kalangan petinggi negara.

Sedangkan Farhan adalah seorang direktur utama dalam sebuah perusahaan milik ayah dari anak asuhannya ini, setidaknya bukan seperti di cerita fiksi kebanyakan yang akan menampilkan peran utama sebagai CEO muda.

Dan lihatlah, benar dia hanya seorang pemuda biasa yang sedang sibuk dalam masa pemulihan serta menemukan jati diri.

"Gimana? Sehat?" Itu Dean, terlihat jelas senyumnya tampak sangat dipaksakan.

"Tengah-tengah, alhamdulillah nggak sampe gila hehe." Semuanya tertawa sedikit dibuat-buat kecuali, Farhan, sedangkan Naraya melirik jijik ke arah mereka. Tenangnya orang diam memang memperhatikan sedetail itu 

"Enakan di sini apa di sana?" tanya Farhan basa-basi. 

"Hmm di sini nggak ada monyet ya?"

"Dih, lagi serius juga, random amat lo!" protes Dean serius. 

Kali ini gelak tawa para orang dewasa itu sungguhan meledak dibuatnya oleh jawaban tidak masuk akal bocah SMA ini sampai-sampai Naraya yang tadinya santai menyeruput teh gelas hampir saja tersedak. 

Lumayan lah, tidak buruk juga.

"Ya bukannya kamu monyetnya, Chan. Hehehe, " canda Farhan menaik-turunkan alisnya, kalau dilihat-lihat mereka sangat akrab Naraya menggigit bibir bawahnya merasa iri.

"Bakat ngelawakmu lucu, tapi lebih bagus dipendem si," gumam Chandra pada Farhan.

Mereka kembali melepas tawa, jelas berbeda dari sebelumnya. Lelaki itu terlalu sering memerhatikan kebiasaan manusia saat tengah berinteraksi dengan sesama seperti halnya sekarang tawaan palsu sebagai topeng untuk menutupi sifat asli mereka.

Tidak bisakah orang-orang di sini berhenti memalsukan sesuatu? Dia benci mendapatkan atensi palsu dari orang asing.

Setelah berhasil berbincang-bincang sedikit memperlihatkan kemampuan berbicaranya bocah ini jadi lebih memilih banyak diam. Seseorang di ujung sana tengah memikirkan apa yang membuatnya tiba-tiba saja bersikap seperti orang linglung.

Aneh.

"Naya, ganti baju sana ke kamar udah sore," titah Tiara sedikit membuyarkan lamunan Nachandra hingga melirik ke arah anak gadis di di ujung sana, penampilannya tampak menyedihkan dengan seragam sekolah basah kuyup begitu.

"Naya? Apa itu Naraya?"

Rasanya tidak ada yang suka bangun pagi, mungkin hal ini tidak berlalu bagi mereka yang punya kehidupan serba senang, bahagia di mana-mana. Coba tebak bagaimana dengan dirinya?

Hidup saja tak mau, kenapa harus produktif?

Kadang terpikir sesekali sebenarnya dia ini memang malas atau memang dasarnya tidak punya gairah hidup?

Pagi sekali Naraya harus menyiapkan sarapan untuk Bunda Tiara, Kakak tirinya dan Dewa bocah kecil satu itu. Meskipun agak tidak ikhlas, dan terkesan terpaksa tetap dikerjakan juga.

Caci makian sering melontarkan bahkan pada bagian terburuk mengatakan gadis itu tidak bisa memasak walaupun dia adalah orang yang selalu menyiapkan sarapan di pagi hari.

Ya kasarnya mereka itu memang tidak tau diri. Tak peduli lah, Naraya hanya tak mau ambil pusing yang terpenting hari ini hari harus terus berjalan seperti hari-hari biasa.

"Naya harus kuat, di luar sana banyak orang-orang jahat. Naya gak boleh sakit, naya gak boleh sedih."

Disekanya cairan bening terjatuh di pelupuk matanya. Mengingat almarhum Ayah dia jadi merasa bersalah.

Bersalah karena dirinya menangis, bersalah ternyata tak sekuat yang dibayangkan, bersalah mengingat fakta bahwa Ayah meninggal oleh sebab ulahnya. 

"Gue satu ya."

Kaget bukan main refleks menoleh ke arah sumber suara Naraya tersentak melihat siapa yang telah berada di sampingnya.

Apa-apaan?

Heh, layaknya genre drama mendadak berubah komedi.

Tepatnya ia tak menyangka anak lelaki ini masih ada di rumahnya, tidur di rumah gue dia?

"Hah?!" Gadis itu menoleh."Apaan si?"

Alih-alih mengambil roti di piring Nachandra justru merampas roti milik si gadis menaikkan lengannya ke atas agar gadis bertubuh pendek ini semakin kesulitan meraih rotinya. Maka. terjadilah tarik-menarik di antara mereka.

Naraya berteriak frustrasi sangat kesal benar-benar tak rela hak kepemilikannya dirampas oleh anak asing tidak ia kenali.

Dilihat dari kejauhan seperti mereka sedang bermain kejar-kerjaran biasa bak anak remaja masa kecil kurang bahagia. Tak peduli sampai mana yang jelas salah satu di antara mereka tidak ada yang mau mengalah.

"Dikit."

"Enggak! Ambil yang lain kan bisa!"

"Dikit."

"Dih, maksa ya! Anjiii" 

"Dikit, please."

"KOK LO MAUNYA PUNYA GUA SIH?!"

"Gue nggak mood mesti balik ke sana buat ngambil." Chandra menatap ke arah meja makan, telah berjarak jauh di depan mata.

Memang dasar pemalas?

Rupanya dua anak adam dan hawa ini tengah bermain kucing-kucingan dari dapur hingga menuju ke ruang tamu tanpa disadari.

"Huftt."

Helaan napas kelelahan. "Memperibet hidup sendiri sih." Lalu menyilangkan kedua tangan ke depan. 

"Ya lo juga ribet amat mesti banget ya ngejar gua sampe sini?" balas Nachandra sinis.

Tunggu dulu, dia baru sadar anak ini mengenakan seragam sekolah yang persis dengannya. Alih-alih bertanya, ia justru mengunyah roti miliknya sambil melamun.

"Punya gua ... akhirnya lo yang makan juga kan? Percuma gua lari sampe sini," gerutunya sembari.menarik tasnya yang mulai merosot ke bawah.

Sementara lawan bicaranya masih tak menjawab.

Dia anak SMA?

"Fyi, gak usah heran gue tinggal di sini."

"Hah?! Eh anjing?

.

.

.

.

.
Jangan lupa vote, dan komen yaa makasihh

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Where stories live. Discover now