Ditulis Oleh Mahesa

22 1 0
                                    

Untuk membuka bagian yang aku tulis sendiri ini, akan aku beritahu darimana namaku berasal. Nama yang sangat tidak asing sejak kalian mulai membaca awal cerita ini hingga bagian yang aku tulis sendiri. Mahesa. Bunda bilang namaku ini sudah diberikan kepadaku sejak kali pertama Bunda bertemu denganku di Tana. Bukan Andan yang memberikan nama itu kepadaku, melainkan Anna. Sekalipun aku belum pernah mendengar Anna mengucapkan namaku di hadapanku— akan tetapi, mengetahui bahwa Anna adalah yang sepenuhnya menamaiku dengan nama penuh doa-doa baik ini sudah lebih dari cukup. Andan bilang, di dalam namaku ini ada ribuan doa baik yang Ibuku lantunkan kepada Tuhan. Lalu, aku tumbuh sebagaimana harapnya di dalam doa-doa itu.

Aku bertemu Bunda ketika usiaku delapan tahun. Sebelumnya, Bunda seringkali mengunjungi Tana dalam beberapa bulan sekali. Bunda adalah donatur tetap di Tana. Tak jarang aku sangat sering bertemu dengannya ketika ada acara-acara besar atau perayaan ulang tahun. Aku senang tiap kali mendapati Bunda berkunjung ke Tana dengan hadiah-hadiah kecil seperti buku, mainan dan makanan yang tak pernah absen sekalipun. Mata milik Bunda yang serupa mutiara hitam itu selalu memancarkan sorot teduh pada segala yang ada di muka bumi ini.

Ketika itu, Naratama, sahabatku sekaligus sosok yang sudah aku anggap sebagai kakak laki-lakiku harus pindah dari Tana. Tama akhirnya memiliki orang tua lengkap persis sebagaimana doanya pada perayaan ulang tahunnya yang kelima. Saat itu, aku pernah berjanji kepada Tama, jika pada usia lima belas tahun nanti dia dan aku masih menetap di Tana, maka sekalipun aku diberikan kesempatan untuk bisa pindah dari Tana aku akan memutuskan untuk tetap tinggal di Tana atau di manapun asalkan ada Tama.

Pada usia yang masih terbilang cukup kecil itu, aku sangat bergantung dengan Tama. Aku senang dengan teman-temanku yang lain— entah itu di Sekolah atau di Tana—tapi, Naratama adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang sekalipun tidak pernah aku bayangkan bagaimana jika harus berpisah dengannya. Naratama persis seperti sosok kakak laki-laki bagiku.

Hari itu aku menangis dan mengurung diri selama seharian penuh selepas Tama meninggalkan Tana. Meskipun Andan mengatakan aku bisa sesekali mengunjungi Tama—begitu pula sebaliknya— rasa sedih itu tidak bisa tiba-tiba menghilang begitu saja. Keesokan harinya, aku mendengar suara ketukan pintu kamarku yang aku tahu persis itu bukanlah Andan maupun Tama. 

Aku membuka pintu kamarku lalu mempersilahkan Bunda untuk masuk. Bunda duduk di atas kasur Tama yang sejak semalam aku tatap tanpa henti sambil berharap semoga keesokan hari Naratama, sahabatku, kakak laki-lakiku, kembali ke Tana lagi.

"Kamar ini seperti kehilangan suaranya."

"Karena Naratama nggak ada di sini lagi."

"Kamu sangat sedih waktu Naratama pergi."

"Kalau aku bilang aku sangat sedih apakah itu boleh? Padahal, seharusnya, aku turut senang saat keinginan Tama dikabulkan oleh Tuhan."

"Hmm... Mahesa, kamu tahu bukan kalau kesedihan itu adalah hal yang wajar dirasakan oleh manusia?"

"Ya... tapi, sedih di saat seharusnya merasa senang mungkin bukan hal yang baik?"

"Kamu menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama Naratama. Saat Naratama nggak ada di sini, kamu merasa sudah kehilangan sosok kakak sekaligus sahabat yang baik dan itu adalah hal yang wajar selama kamu tidak berlarut-larut dalam kesedihan."

Hari itu aku tersentuh akan ucapan Bunda kepadaku. Rasanya seperti seorang Ibu yang sedang membujuk anak laki-lakinya yang sedih karena teman bermain sekaligus tetangganya harus pindah ke luar kota. Aku merasakan kehangatan itu dari sosok Bunda.

"Mahesa, maafkan Bunda karena terlambat. Kalau saja Bunda sedikit lebih cepat maka kamu, Naratama, Bunda dan Ningsih bisa tinggal bersama-sama. Akan menyenangkan, bukan?"

MAHESAWhere stories live. Discover now