Mahesa: Rubanah

30 5 6
                                    

Mahesa, hari ini aku menemui Bunda. Aku menanyakan keberadaanmu setelah berhari-hari kamu tak kunjung menampakkan dirimu di hadapanku. Aku khawatir. Tapi aku menyembunyikannya di hadapan Bunda sebab aku jelas tahu bahwa Bunda jauh lebih khawatir dengan keadaanmu. Bunda menyambutku dengan seutas senyum dan getar di ujungnya. Aku memeluk Bunda erat. Niatku ingin menguatkannya tapi apa daya aku hanya manusia biasa yang bisa merasakan luka hanya dari berbagi pelukan saja.

"Mahesa ada di Tana," ucap Bunda sebelum aku menanyakan di mana keberadaanmu. 

Bunda bahkan tak tahu apakah Mahesa datang ke Tana hanya untuk sekedar berkunjung atau untuk pulang. 

Begitu pula aku.

"Tana itu Panti Asuhan. Tempatku tumbuh sebelum bertemu Bunda."

"Temui dia ya... temui Mahesa." Bunda menggenggam kedua tanganku erat seolah memohon memintaku untuk lekas menemui Mahesa dan mengetahui keadaannya. Lagi, aku memeluk Bunda erat. Pelukanku bahkan bisa diibaratkan sebagai janjiku pada Bunda bahwa aku akan menemui Mahesa dan memastikan bahwa dia baik-baik saja walau nyatanya tidak.

Sore itu, aku berangkat ke Tana dengan kereta dan menempuh perjalanan kurang lebih delapan jam.

Aku pernah bilang pada Mahesa bahwa dia adalah penakut yang berani. Mahesa bingung ketika aku mengatakan itu padanya. Katanya, dia tak akan menanyakan jawabannya padaku sebab dia akan menemukan jawabannya sendiri.

Maka, Mahesa, jika kamu membaca tulisan ini, aku dengan penuh harap berdoa agar kamu menemukannyajawaban yang kamu cari.

Setibanya di Tana, aku mendapati Mahesa duduk di dekat ayunan yang menghadap ke arah taman dengan kolam ikan berukuran sedang yang letaknya tak jauh dari tempat yang dia duduki saat ini.

Bahkan, setelah ratusan hari yang aku lalui bersama Mahesa, di mataku dia masih sama. Dia adalah Mahesa yang isi kepalanya tak pernah bisa aku tebak. Dia adalah Mahesa laki-laki yang tumbuh baik dengan balutan luka. Dia adalah Mahesa yang luka-lukanya tak akan pernah bisa aku obati. Dia adalah Mahesa yang hidup dalam dunia yang tak pernah bisa aku bayangkan.

"Kamu pernah kecewa?" tanya Mahesa tanpa sekalipun menoleh terlebih dahulu ke arahku.

Mahesa bahkan tahu benar bahwa aku akan menemukannya kemanapun dia pergi. Bahwa aku akan menghampirinya sejauh apapun dia lari.

"Apakah kecewa hanya dirasakan oleh manusia?"

"Kalau tidak?"

"Kalau tidak... aku ingin jadi angin."

"Tapi angin juga pernah kecewa."

"Pada siapa?"

"Pada dirinya sendiri, Mahesa. Kadang-kadang aku berpikir bahwa angin nggak pernah ingin jadi angin. Sekalipun daun yang jatuh nggak pernah membenci angin, akan tetapi, angin seringkali kecewa pada dirinya sendiri sebab dia adalah karena dari mengapa daun-daun itu jatuh."

Malam itu, tak ada yang lebih berani daripada dinginnya hembusan angin juga cahaya rembulan setengah utuh serta bintang-bintang yang memilih malu untuk menampakkan cahayanya. Tak ada yang lebih berani daripada kedua kakiku yang melangkah jauh hingga ke Tana untuk menemui Mahesa. Tak ada yang lebih berani dari diriku yang dengan penuh keyakinan membawa Mahesa ke dalam pelukanku kala aku mendapati luka dalam sorot matanya. Juga, tak ada yang lebih berani daripada Mahesa; manusia nyaris sempurna yang tumbuh dengan balutan luka namun menyembunyikan kecewa bak jelaga yang menutupi buku-buku lamanya.

"Aku bertemu Anna."

Anna. Perempuan yang membawa Mahesa hadir ke dalam dunia ini. Perempuan yang menunjukkan pada Mahesa bahwa dalam dunia ini, manusia bisa jadi lebih kejam daripada apa-apa yang mereka pikirkan di dalam kepala. Perempuan yang mengatakan pada Mahesa bahwa di dunia ini, manusia tak seharusnya berjanji sebab mereka tak akan pernah bisa menepati.

MAHESAWhere stories live. Discover now