Mahesa: Waktu

71 10 2
                                    

Jika bukan karena Mahesa, siapapun bisa menjamin bahwa aku tak akan sekalipun menyimpan bunga di dalam kamarku juga telaten merawatnya setiap hari. 

Jika bukan karena Mahesa, siapapun bisa menjamin bahwa aku tak akan rela menghabiskan waktu dalam hariku hanya untuk mengunjungi toko bunga kemudian berpindah dari satu toko ke toko lainnya. 

Jika bukan karena Mahesa, siapapun bisa menjamin bahwa aku tak akan menghabiskan mingguku hanya untuk mendengar celoteh panjang soal bunga yang sekalipun tak aku pahami namun kepalaku terus-terusan mengangguk seolah-olah mengerti.

"Jangan pura-pura ngerti."

"Biar kamu seneng."

"Aku lebih seneng kalau kamu nggak ngerti."

"Kenapa?"

"Karena dengan begitu aku bisa terus menceritakan dan menjelaskan semua hal yang aku pahami pada kamu."

"Aku jadi telinga kamu?"

"Aku juga bisa jadi telinga kamu, Naya." 

Mahesa berhasil membuat sudut bibirku mengukir sabit untuk yang kesekian kali dalam hari ini.

Lalu lalang kendaraan di pusat kota sore itu semakin padat. Weekend. Hal ini wajar terjadi.

Aku senang ada di sini. Ada di tempat ramai dengan suara riuh jalanan, teduh nya langit, jingga kesukaan Mahesa, sayup-sayup suara burung yang melintasi taman kecil ini, juga dengan Mahesa di sisiku.

"Kamu lihat antrean panjang itu?"

Mahesa menunjuk ke arah orang-orang yang mengantre di depan ice cream truck. Antrean itu diisi sekitar delapan belas orang. Cukup panjang dan cukup lama sebab sang pemilik ice cream truck hanya melayani pembelinya seorang diri bahkan satu orang pembeli ada yang memesan lebih dari dua ice cream.

"Kenapa?"

"Antrean panjang itu sama seperti kita. Jika ice cream truck itu diibaratkan sebagai tempat kita mengambil kebahagiaan maka orang-orang yang sedang mengantre adalah kita."

"..."

"Kamu lihat? Ada yang pergi meninggalkan antrean itu."

Salah satu anak laki-laki berusia sekitar dua belas tahun itu nampak meninggalkan antreannya dan memilih untuk membeli ice cream di salah satu tempat yang terlihat sepi pembeli.

"Kalau kita sabar, maka kita akan sampai di posisi terdepan antrean itu. Kita akan dapat sesuatu yang sebanding dengan lama nya waktu dan perjuangan kita untuk sampai di titik terdepan antrean itu. Tapi, kalau kita belum bisa sabar menunggu, maka kita akan sama seperti anak laki-laki tadi.

Kita akan pindah ke tempat yang antrean nya tak sepanjang di tempat lain. Ke tempat yang membuat kita bisa langsung berdiri di depan tanpa perlu mengantre. 

Tapi, Naya, pertanyaannya hanya satu, apakah tempat yang mudah kita datangi itu, apakah tempat yang dengan mudah menjadikan kita berada di antrean paling depan itu, apakah tempat yang membuat kita nggak perlu menunggu dalam waktu yang lama itu, apakah tempat itu akan memberikan kita sesuatu yang sesuai dengan harapan kita?"

"Kalau jawabannya tidak?"

"Kalau jawabannya tidak maka kita harus belajar menunggu. Semua hal di dalam hidup ini adalah soal waktu."


Bagaimana Mahesa tumbuh dengan baik juga caranya memandang dunia ini selalu berhasil membuatku jatuh pada lubang paling dalam dari wujud kekagumanku terhadap laki-laki ini.

Mahesa bahkan selalu punya cara terbaik untuk mengibaratkan bagaimana dunia ini bekerja.

Semua hal yang Mahesa ceritakan dan jelaskan amat sangat sederhana bagiku namun beberapa orang sulit memahaminya.

Aku lagi-lagi jadi manusia paling beruntung karena bisa bertemu dan mengenal Mahesa.

"Aku senang kenal sama kamu, Mahesa."

Laki-laki itu menarik senyumnya lebar. Deretan giginya yang rapih melengkapi teduh matanya sore itu. 

"Aku senang dan beruntung mengenal kamu, Naya. Kalau ada kontes manusia paling senang dan banyak beruntung maka aku yakin aku akan menang. Aku akan jadi juara satu," tuturnya dengan senyum yang tak kunjung hilang.

"Kamu? Bukan aku?"

Mahesa menganggukkan kepalanya.

"Karena aku amat sangat senang dan beruntung mengenal kamu. Semua hal yang ada kamu di dalamnya juga setiap waktu yang selalu aku habiskan dengan kamu selalu berhasil membuatku senang. Aku beruntung, Naya. Aku beruntung karena nggak terlambat bertemu kamu."

"Kalau begitu aku juara dua?"

"Hahaha"

Sore itu Mahesa dan aku habiskan dengan saling mendengar dan bercerita tentang apa-apa yang kami tahu juga tidak. 

Bagaimana masa lalu mengambil peran penting tentang Mahesa dan aku di masa kini juga bagaimana waktu yang terus melaju sekalipun manusia butuh jeda atau ingin berhenti. 

Ada banyak cerita yang sebenarnya tak bisa habis untuk diceritakan sore itu juga, maka sebagiannya kami putuskan untuk disimpan baik-baik saja.

Dengan vespa matic kesayangannya yang juga hadiah ulang tahun dari Bunda Mahesa berhasil mengantarku dengan selamat sesuai dengan pesan Rumi kepadanya.

"Helm nya..."

"Lupa he... he..."

Aku membiarkan Mahesa membantuku melepaskan kaitan pada helm yang aku kenakan. Tangan milik laki-laki itu bergerak memperbaiki rambutku yang sedikit berantakan dan sudah tak serapih waktu awal hari Mahesa dan aku pergi.

"Hati-hati, ya!" pesanku pada Mahesa.

Mahesa menganggukkan kepalanya. Mengiyakan sekaligus berjanji padaku bahwa dia akan pulang dengan hati-hati dan selamat hingga ke rumah Bunda.

"Aku pamit, ya."

"Bentar!" cegatku secepat mungkin tepat sebelum Mahesa melajukan vespa maticnya.

"Cupp..

Satu ciuman itu mendarat di pipi Mahesa yang berhasil membuat mukanya merah padam bak kepiting rebus. Begitu pula dengan aku.

"Kenapa muka kamu yang kaya kepiting rebus?" goda Mahesa padaku.

"Udah mah kamu pulang aja aku mau masuk!"

"Hahaha tadi apa?"

"Yang mana?"

"Barusan."

"Hadiah untuk kamu."

"Hadiah?"

Aku mengangguk, "Hadiah untuk kamu karna sudah menghabiskan minggu sama aku."

"Kalau gitu aku mau menghabiskan senin dan selasa sama kamu."

"Supaya apa?"

"Supaya dapet hadiah. Bukan di sini lagi, tapi di sini," tunjuk Hesa pada bibirnya yang berhasil membuat wajahku merah padam dan bergegas meninggalkannya tanpa sepatah katapun.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
MAHESAWhere stories live. Discover now