Mahesa: Tana

32 4 4
                                    

Sejak pertama kali menapaki kaki di Tana, aku tidak bisa melepas kekagumanku begitu saja meskipun aku tiba di tempat ini larut malam sekali. Pagi ini, Mahesa mengajakku menjelajahi seisi Tana dengan dia sebagai tour guide nya. Selepas memasuki gerbang putih yang cukup tua, mataku disambut dengan rupa-rupa bunga yang tidak aku ketahui persis namanya. Bunga-bunga dengan warna beragam itu mengisi di sepanjang kurang lebih seratus meter jalan yang tak seberapa besar yang hanya cukup untuk dilalui oleh satu kendaraan beroda empat saja. Di antara bunga-bunga itu ada kolam kecil dengan semacam bambu yang dibentuk seperti tempat untuk aliran air serta ikan-ikan di dalamnya yang tentunya mampu memperokokoh keasrian di Tana.

Bangunan utama dengan tembok yang seluruhnya berwarna putih tulang dengan pintu dan jendela yang aku tebak terbuat dari kayu jati serta satu buah meja bundar yang tidak terlalu besar dengan empat kursi yang melingkarinya jadi pemandangan pertama saat aku tiba di depan bangunan utama Tana. 

"Bangunan ini disebut Pandu." 

Begitu kata Mahesa kepadaku. Singkat dan padat. Aku tidak menanyakan filosofi dari nama bangunan ini kepadanya. Tidak ada alasan spesifik kenapa aku tidak menanyakan hal tersebut pada Mahesa, jelasnya, aku hanya sedang menunggu laki-laki ini menceritakan filosofi tersebut kepadaku.

Udara beraroma pinus dan laut perlahan-lahan jadi tamu dalam penciumanku. Mahesa bilang tepat di belakang bangunan yang aku lihat ini, beberapa ratus meter di belakang sana, ada pantai dengan warna biru lautnya yang menghangatkan serta deburan ombaknya yang mampu menciptakan irama lembut. 

Berikutnya, di sisi kiri dan kanan bangunan utama di Tana ada dua bangunan dengan bentuk yang sama persis dengan masing-masingnya memiliki jalan penghubung beratap yang menghubungkan bangunan utama atau disebut Pandu dengan bangunan di sisi kiri dan kanannya. Jalan penghubung ini tentunya memudahkan penghuni Tana untuk mengunjungi bangunan satu ke bangunan lainnya.

"Dua bangunan ini namanya Si Kembar."

"Nakula dan Sadewa?"

"Benar. Kenapa pacarku ini selalu pinter, ya?"

"Haha harus dikasih hadiah."

"Kamu mau apa?"

"Tiga permintaan!"

"Hanya tiga? Kenapa sedikit?"

"Nanti kalau banyak kamu malah pusing."

"Aku juga sehari-harinya musingin kamu, Nay."

"BOKIS!!!"

Setelah apa yang terjadi pada Mahesa malam itu, pada keeseokan harinya, sosok ini kembali menjadi Mahesa yang sama seperti di hari-hari sebelumnya. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa senang sekaligus khawatir berkepanjangan dalam diriku. 

Aku tidak pernah percaya pada senyum yang Mahesa bagi. Mahesa, kamu lagi-lagi membohongi seisi dunia!

Aku mendapat panggilan dari Ningsih; adik Mahesa. Bahwa katanya dia tengah di perjalanan menyusulku dan Mahesa ke Tana. Aku bertanya pada Ningsih dengan siapa dia akan kemari karena jelas saja dia tidak akan mengantongi izin dengan mudah dari Bunda untuk jauh-jauh datang kemari seorang diri sekalipun kedatangannya kemari untuk mengetahui keadaan kakak laki-lakinya ini.

"Aku sama seseorang!"

"Siapa orangnya?" tanya Mahesa.

"Pokoknya seseorang, Mas Esa. Nanti juga akan aku kenalin ke Mas Esa dan Mba Naya kok!"

"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya! Kalau seseorang itu laki-laki bilang ke dia Mas Esa minta tolong untuk membawa kamu ke sini dengan selamat dan hati-hati. Tapi kalau seseorang itu perempuan ya sudah sampaikan minta tolong Mas Esa sama Pak Satpam saja, ya!"

MAHESAWhere stories live. Discover now