Mahesa: Lepas

82 12 1
                                    

Mahesa hilang berhari-hari selepas perayaan ulang tahunku. Hari itu, aku cukup paham bahwa manusia seperti Mahesa barangkali butuh jeda juga rindu sepi sama seperti aku hari ini.

Aku menjatuhkan tubuhku di lantai kamar sembari membuka ponsel sebentar, melihat kembali pesan yang masih belum juga dibalas oleh Mahesa sejak semalam. 

Sudahlah, mungkin dia benar-benar butuh waktu sendiri, pikirku.

Selama puluhan bulan aku menatap tanpa bosan kedua manik hitam milik Mahesa, belum pernah sekalipun aku mendapati mata teduhnya terluka. Sekalipun, belum.

Kemudian hari ini aku diberi kesempatan untuk melihatnya. Mahesa diberi luka oleh dunia agar aku bisa melihat bahwa manusia ini hanya nyaris sempurna. Bukan benar-benar sempurna seperti yang orang-orang duga. 

Mahesa berdiri di depan pagar rumahku. Padahal, dia bisa saja masuk dan menungguku di dekat bangku di halaman rumah. Malam itu dia urung. 

Aku menyusulnya setelah Bi Euis memberitahukan kepadaku bahwa Mahesa sedang menungguku di depan rumah entah sejak kapan.

"Neng, ada si kasep."

"Mahesa, Bi?"

"Iya, lagi berantem ya?"

"Nggak kok. Mahesa nya di mana?"

"Itu di depan. Tadi si Bibi ke depan mau ambil go food-an punya si Aa terus ada si kasep lagi nunggu, disuruh masuk katanya nggak papa. Kirain lagi berantem..."

"Nggak berantem, Bi. Mahesa mah nggak suka berantem, suka nya aku."

"Bisa aja si Neng!"

"Hehe yaudah aku ke depan dulu ya kasian Mahesa nya sendirian nanti diculik warga."

Aku membiarkan langkah gontaiku menemaniku malam itu untuk menemui sosok Mahesa, manusia yang bahkan hingga hari ini masih belum bisa aku tebak isi kepalanya seperti apa.

Mahesa sadar bahwa aku akan datang menemuinya, dia membalikkan tubuhnya kala langkah kakiku terdengar beberapa meter dari tempat dia berdiri saat ini.

"Aku cuma mau berdiri di sini."

"Ngapain?"

"Hmm... bingung? Kaki aku tiba-tiba mengarahkan aku buat kesini, ke depan rumah kamu."

"Di dalam aja."

"Aku nggak lama."

"Lama atau nggak harusnya kamu di dalam aja."

Aku menarik pelan tangan Mahesa kemudian membawanya masuk ke dalam rumah.

Setelahnya, Mahesa dan aku hanya menghabiskan waktu untuk saling diam dan berisik dengan isi pikiran masing-masing namun enggan menyuarakannya. 

Jam dinding di ruang tamuku bahkan lebih berani dibanding Mahesa dan aku karena sejak tadi yang mengisi kosongnya ruang itu hanya detak dari detiknya saja. 

Kalau diam memberi jawaban, barangkali isi kepalaku saat ini tidak penuh dengan pertanyaan-pertanyaan 'kenapa' dan 'apa' yang terjadi pada Mahesa.

Kali ini, aku bahkan tak punya keberanian sedikitpun untuk menduga-duga apa yang Mahesa rasakan atau pikirkan saat dia duduk di hadapanku dengan kedua matanya yang masih menatap jemarinya yang saling bertautan satu sama lain.

Sorot matanya yang biasanya teduh perlahan meredup. Bahkan pertanyaan yang hanya sebatas 'kenapa' pun urung aku ucapkan. Aku jelas tahu, ada beberapa manusia yang merasa sulit untuk menjawab pertanyaan itu. 

Mahesa, sejak awal, adalah bagian dari beberapa manusia itu.

"Kamu pernah takut tidur?"

"Takut tidur?"

"Sejak kemarin aku takut tidur. Aku terus-terusan terjaga sepanjang malam karena takut menemui hari besok. Tapi ternyata hari besok nggak akan pernah berhenti datang hanya karena aku terjaga semalaman."

Aku bangkit dari tempatku kemudian beralih duduk di sebelah Mahesa. Satu tanganku mengelus punggung tangan Mahesa pelan. Dapat aku rasakan dingin dari tangan milik Mahesa berpindah ke tanganku.

"Di mata kamu apa aku seorang pemberani?"

Aku menggeleng.

"Lalu? Penakut?"

"Kamu penakut yang berani."

Sudut bibir Mahesa mengukir senyum. Dia menampakkan jejeran giginya yang rapih sambil mengelus puncak kepalaku. 

"Kalau penakut ya nggak berani!"

"Tapi menurut aku kamu itu penakut yang beda, kamu penakut yang berani."

"Kalau gitu... nanti aku cari tahu."

"Cari tahu apa?"

"Cari tahu kenapa aku ini dijuluki sebagai penakut yang pemberani."

"Lebih mudah kalau kamu langsung nanya sama aku, kan?"

Mahesa menggeleng pelan.

"Biar aku cari tahu sendiri aja. Kalau gitu aku pamit, ya."

"Sekarang?"

"Tahun depan memangnya boleh?"

"Mau pulang?"

"Mau tidur."

"Tidur di rumah, kan?"

"Iya, di rumah Bunda."

"Hati-hati."

Mahesa menganggukkan kepalanya. Satu tangannya lagi-lagi mengusap puncak kepalaku pelan. 

Aku mengantar Mahesa hingga ke depan pintu rumah.

"Nanti kalau sudah sampai di rumah aku telfon ya."

"Tumben..."

"Memangnya aku nggak pernah nelfon kamu?"

Aku mengulas senyum kecil setelah mendapati wajah kebingungan Mahesa menunggu jawaban dariku.

"Nanti aku akan sering-sering nelfon supaya kamu nggak bilang 'tumben' lagi."

"Dasar!"

Mahesa melangkahkan kakinya meninggalkan rumahku. Dia berjalan mundur dengan badan yang masih terus dia hadapkan ke arahku. 

Katanya, ini sudah jadi kebiasaan sejak dia dan aku saling kenal satu sama lain yang dalam artian kebiasaan ini sudah ada bahkan saat kita berdua belum berpacaran seperti hari ini.

Langkah Mahesa bahkan belum sampai puluhan meter dari pagar rumahku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti. Dia menatapku dengan sorot mata yang masih sulit aku tebak. 

"Naya, terima kasih, ya. Terima kasih karna kamu nggak nanya kenapa."

Aku menyusul Mahesa setelah dia selesai mengucapkan kalimatnya. 

Pertanyaan yang urung aku tanyakan hari ini rupanya jadi satu hal paling berarti untuk Mahesa juga diriku sendiri. Aku senang karena Mahesa pulang ke rumah dengan senyum tenang yang dia lukis di bibirnya. Entah memang karna dia sudah tenang atau hanya berusaha terlihat tenang.

Yang aku ucapkan sebelum Mahesa melanjutkan langkah untuk pulang ke rumah rupanya hanya beberapa kalimat tak terduga.

"Mahesa, aku bahkan nggak tahu apa yang terjadi pada kamu selepas perayaan ulang tahunku kemarin. Aku nggak tahu karena apa, siapa, dan kenapa kamu datang dengan tatapan penuh luka seperti hari ini. Aku juga bahkan nggak berani bertanya karena aku percaya pada kamu. Aku tahu, kamu akan mengatakan apa yang terjadi pada hari kemarin kepadaku cepat atau lambat. Aku percaya kamu, Mahesa."

Kalimat itu aku ucapkan di dalam hati ketika aku dengan penuh berani memeluk Mahesa dan menaruh percaya.

Aku dengan berani mengikis tiap bebatuan berisi keraguan di dalam diriku.

MAHESAWhere stories live. Discover now