Amarah Tertahan Mutia Senja Paradi

5 1 0
                                    

“Aku lebih memilih menjadi orang bodoh, tetapi mengerti. Daripada cerdas, tapi tak memiliki empati.”
Semesta, 23 September 2021

•••

Mutia tersenyum kaku di samping Aditya. Di hadapannya, seorang wanita paruh baya dengan gaya glamor, tengah duduk sembari memandang remeh keduanya. Jelas, Mutia tahu siapa wanita itu.

Wanita paling menyebalkan yang pernah ia temui. Wanita yang katanya terlampau menyayangi Aila, hingga menjadikan gadis itu boneka dengan dalih untuk kebaikan gadis itu.

Mutia bahkan ingat, satu tahun yang lalu, kala wanita itu berkunjung ke kafe miliknya dan Aila. Ia datang dengan wajah pucat pasi dan telak membuat sahabatnya khawatir bukan kepalang.

Namun, sayangnya Mutia tidak sebodoh itu. Ia bahkan bisa melihat senyum menyeramkan yang terpatri di bibir wanita itu, kala melihat Aila yang kalang kabut mencari obat dan akhirnya harus pergi ke apotek.

Saat itu, Mutia disuruh untuk menjaga bu'de Sang Sahabat. Meski enggan, ia duduk menemani wanita paruh baya yang terbaring lemah di sofa. Hingga, suara lemah dan sedikit pilu, membuatnya mau tak mau mengalihkan atensi dari ponselnya kala itu.

“Lia itu permata kecil kami, kau tau? Kami semua bahkan mendapatkan jadwal sendiri jika mau tidur bersamanya, jalan-jalan, atau apalah itu.”

“Pasti Lia risih. Dia udah gede dan diperlakuin kayak anak kecil.” Mutia saat itu menjawab dengan ketus.

“Di mata kami, dia memang masih anak kecil. Kepergian Lia satu tahun yang lalu, telak membuat kami frustasi. Bahkan, rumah yang biasanya terasa hangat pun, jadi lebih mendingin. Jujur, kami menyesal.”

Mutia tersenyum datar, lalu memandang wanita itu dengan sendu. “Penyesalanmu, tidak bisa merubah apa-apa, Nyonya Alea. Lia sudah tumbuh menjadi pribadi yang sulit untuk didekati. Ia bahkan menjadi sosok egois dan tempramental.”

‘Jika belum kenal dan privasinya terancam.’ Mutia melanjutkan kalimat itu dalam hati.

Nyonya Alea terkekeh pelan, lalu memandang ruangan dengan remeh. “Itu bagus. Kami menginginkan itu sedari dulu.” Wanita itu berdecak pelan, setelah itu melanjutkan kalimatnya, “ia tidak akan mudah dikelabui dan dimanfaatkan. Kau tau, Nak? Menjadi baik di mata orang yang kejam, adalah sebuah kesalahan.”

Mutia mengernyit tak mengerti. “Maksudnya?”

Nyonya Alea tersenyum miring, telak mampu membuat Mutia merinding seketika. “Lia pernah hampir mati, karena memakan makanan yang diberi racun.”

Keheningan menjadi latar keduanya setelah Nyonya Alea berucap. Mutia benar-benar syok saat mengetahui hal itu. Mutia merasa, ia sama sekali tak berarti, sampai Aila tidak pernah menceritakan kisah hidupnya. Padahal, Mutia tak pernah absen menjabarkan hari-hari yang ia lalui, saat di rumah yang seperti penjara itu.

Hela napas kasar Nyonya Alea, membuat Mutia memandangnya penasaran. “Saya akan membawa Lia kembali. Sudah cukup lama ia pergi.”

Rasanya, Mutia ingin menghantam kepala wanita itu andai saja ia tidak ingat, kalau beliau sudah tua. Keluarga Aila, benar-benar aneh. Semua bersikap seolah Aila adalah berlian yang harus dijaga dan tak boleh disentuh oleh sembarang orang. Bahkan, gadis itu tidak dibiarkan untuk terbang bebas padahal semua pun akan tahu, kalau gadis itu menginginkan kebebasan dari kedua mata sehitam jelaganya.

“Maaf, nyonya. Bukankah, itu jahat? Lia sudah lebih baik sekarang. Ia mampu bersosialisasi cukup baik dan mampu membuat semua orang kagum dengan karya-karyanya.”

Nyonya Alea menggeleng tak setuju. Wajahnya yang sudah mulai mengeriput, nampak semakin sendu. “Itu tidak akan membuatnya dihormati. Lagipula, kami sekeluarga sudah sangat merindukannya.”

Kala Hati T'lah BerlabuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang