Rumah(?)

25 7 2
                                    

“Aku terjebak dalam labirin yang sudah diciptakan mereka.”

 
Semesta, 09 September 2021

•••

Aila terbangun kala merasakan usapan lembut di pipinya. Senyumnya mengembang kala menemukan presensi mama dari editornya yang kini tengah tersenyum kecil. Ia ingat, semalam wanita paruh baya itu menyanyikan lagu sebagai penghantar tidur untuknya pun menjadi sandaran, karena ia tidak bisa tidur terlentang di kasur.

“Sudah lebih baik?” tanya wanita itu dengan lembut.

Aila mengangguk pelan dengan binar yang meredup. Ada rasa rindu dan sesak yang menyeruak dalam hatinya. Apalagi, ia melupakan begitu banyak hal tentang keluarga kecilnya. Kadang, Aila selalu bertanya, bagaimana rasanya disuapi oleh mama? Apakah menyenangkan?

Aila juga sering sekali mencoba mengingat banyak hal. Tentang senyum ayah, ibu, atau pertengkaran kecilnya dengan Sang Kakak. Namun, sayangnya semua harus berakhir dengan ia yang masuk rumah sakit—karena nyeri di kepala yang mendera.

Nenek dan kakeknya bahkan pernah mengancam akan mogok makan, kalau-kalau Aila kembali mencoba mengingat kisah hidupnya. Paman dan bibinya juga membujuknya dengan menceritakan kehidupan gadis itu dulu.

Namun, entah kenapa. Aila merasa mereka seolah tengah mencoba menanamkan kebencian dalam hatinya untuk keluarganya yang telah tiada itu. Sayangnya, lambat laun semua mulai terungkap.

Orang tuanya tidak pernah membuang gadis itu atau menyiksanya dengan sedemikian rupa. Semua Aila ketahui dari salah seorang ART yang bekerja sedari lama. Bahkan, orang itu selalu menunjukkan foto-foto masa lampau yang tidak Aila ingat.

Dari wanita itu pula, Aila mengetahui siapa dirinya. Nama indah pemberian ayah dan ibu, atau foto-foto yang hampir pudar. Katanya, album itu dititipkan pada Mbok Ratih, oleh Sang Mama.

Aila memang tidak pernah kekurangan kasih sayang atau finansial. Tentu saja, gadis itu adalah cucu perempuan satu-satunya di keluarga Prawiro. Namun, jangan harap ia akan diperlakukan bak putri raja. Ia malah ditempa dengan begitu keras, agar menjadi kebanggaan mereka.

Aila bahkan hampir frustasi kala mengingat aturan-aturan sialan yang ia hafal di luar kepala. Tidak boleh pulang telat—sekali Aila pernah melanggar dan berakhir dikurung selama satu minggu penuh di kamar. Tanpa handphone, laptop, atau buku.

Salahkan saja dirinya yang malah datang dengan keadaan basah kuyup dan tubuh menggigil. Napasnya bahkan terlihat begitu sesak, membuat semua orang kalang kabut saking khawatirnya. Namun, bukan Aila namanya jika tidak pernah melanggar aturan.

Gadis itu bahkan pernah bolos bimbel selama dua minggu berturut-turut dan membuat nilai ujiannya kecil. Semua orang di rumah hampir saja mengeluarkan amarah, kalau saja mereka tidak ingat itu Aila. Permata yang mereka curi.

Maka, sejak hari itu Aila menghabiskan waktu dengan begitu banyak buku pelajaran serta les berbagai macam. Ia harus menguasai banyak hal. Jika tidak, ia harus merelakan satu-satunya mimpi yang tersisa—menjadi seorang penulis.

Aila hidup bak seorang boneka. Begitu lama ia berdiam diri, sampai kepergian Mbok Ratih—orang yang perlahan membuat ingatannya pulih, membuat gadis itu terluka hingga nyaris gila.

“Nak, kenapa?” Wanita paruh baya itu mengguncang pelan bahu Aila. Tampaknya, gadis itu tengah hanyut dalam memori kelam yang menenggelamkannya ke dasar jurang luka.

Perlahan, tubuh ringkih paruh baya itu mendekat dan mendekap erat tubuh Aila. Menyalurkan kehangatan serta kenyamanan yang semoga kiranya mampu membuat Aila merasa lebih baik.

Kala Hati T'lah BerlabuhOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz