Perkenalan Tokoh

109 28 17
                                    

Pada dasarnya, tidak semua orang akan menyukai sipat setiap insan. Pasti, ada saja hal menjengkelkan yang membuat kepala serasa mengepul, amarah meluap, dan hati menggeram kesal.

Sama seperti Aila. Gadis itu, tidak suka dengan baju-baju kekurangan bahan, menurutnya ... itu seperti memperdagangkan lekuk tubuh. Ia juga tidak suka baju yang mencetak tubuh, toh untuk apa memakai baju dan celana panjang, tetapi lekuk badan masih terlihat dengan jelas? Bukankah, itu sia-sia?

Mata Aila, seperti tersengat bara api. Begitu panas, hingga ia ingin terus menangis dan berteriak kesakitan. Lebai, memang. Namun, itulah faktanya. Meski di zaman sekarang itu hal biasa, tetap saja. Itu, terlihat menjengkelkan.

Aila bukan gadis dengan gamis hitam panjang menjuntai hingga menyapu lantai, atau kerudung sampai ke mata kaki. Aila juga bukan gadis bercadar, yang hanya menampilkan kedua matanya saja.

Aila hanya gadis biasa. Ia juga mengikuti trend berpakaian masa-masa sekarang. Namun, tentunya dengan batasan-batasan tertentu. Ilmu agamanya, tidak banyak. Namun, memakai hijab adalah hal wajib. Intinya, fashionable itu perlu, tetapi jangan ke luar dari aturan muslimah yang berlaku.

Sama seperti sekarang. Aila tengah duduk di atas motor dengan pashmina hitam yang menutupi dada, tak lupa kacamata berbentuk kotak, agar matanya terlindung dari debu. Ayolah, polusi udara di kota metropolitan itu, benar-benar parah. Kemeja birunya, dipadukan dengan celana kulot hitam dan sepatu putih.

“Udah nyampe, Neng.” Lamunannya buyar seketika. Aila tersenyum kecil, lalu turun dari motor. Setelah itu, menyerahkan helm dan memberikan uang. Tak lupa mengucapkan terima kasih yang dibalas senyuman oleh si bapak tukang ojek.

Senyuman gadis itu kian melebar, saat memasuki perpustakaan kota. Matanya yang sehitam jelaga, tampak berbinar saat melihat rak-rak yang berisi buku berjajar. Aila berjalan perlahan dengan tangan yang menyentuh satu persatu buku di sampingnya. Seolah, hanya dengan menyentuh, ia akan tahu buku apa yang tengah ia cari.

“Hey! Apa kabar?”

Aila menoleh ke belakang, lalu dengan langkah lebar ia berlari ke arah pria yang tadi bertanya. Warna kemerahan, tampak samar di kedua belah pipi gembilnya. Aila tersenyum lebar, hingga menampilkan giginya.

“Baik!” serunya antusias. Pria di hadapannya terkekeh geli, lalu mengangguk mengerti. Setelah itu, mengajak Aila ke deretan buku-buku lama.

“Ngapain ke sini, Bang?” tanya Aila lesu. Ayolah, ia datang jauh-jauh ke sini, bukan untuk melihat buku-buku kuno, yang bahkan sampulnya seolah sudah dimakan oleh rayap.

Andai saja Aila berani, mungkin ia sudah protes ke penjaga perpustakaan, untuk menumpas semua buku-buku itu. Meski, letaknya paling ujung dan hanya terdiri dari dua rak, tetap saja. Aila risih!

Toh, ini hal aneh juga. Untuk apa coba memajang buku, yang bahkan sudah berdebu dan ceritanya pun telah begitu banyak dibicarakan orang? Bukankah, itu tidak berguna?

“La, buku-buku ini mengandung sejarah, lho. Masa kamu ngga suka?” Pria itu tersenyum geli, lalu matanya kembali awas pada deretan buku yang berjajar rapi.

“Terlalu kuno, Bang!” ketusnya jengkel. Namun, meski begitu, Aila tetap mengikuti langkah pria yang dipanggilnya abang.

“Wah, bukannya kamu bilang suka buku yang abang kasih?”

Aila menghentikan langkahnya, lalu berseru pelan. “Ih, Bang Adit!”

Pria yang dipanggil Adit itu terkekeh pelan. Setelah itu, mengajak Aila kembali ke deretan buku-buku yang Aila sukai. “Lah, emang kamu gak tau, gitu? Buku Halaman Terakhir karya Herry Wibowo itu buku zaman dulu, lho.”

Aila menghentikan langkahnya saat mencari buku yang ia inginkan. Matanya membulat sempurna, hingga tampak menggemaskan. “Hah, masa?!”

Adit mengangguk dengan raut mengejek. Membuat Aila mengerang frustasi. “Yah! Kok gak ngasih tau, sih!” ketusnya dengan pipi yang menggembung.

Aditya mendekat dengan satu buku yang ia pegang. “Kamu kan gak nanya,” ujarnya dengan nada meledek. Membuat Aila melotot dan merampas buku yang Adit pegang, lalu memukul pelan bahu Adit menggunakan buku itu.

Adit mengaduh disertai tawa, seolah tak peduli dengan peringatan dari penjaga perpustakaan  agar tidak berisik. Lelahnya sudah hilang sekarang, saat sudah membuat adiknya merasa kesal.

Katakan saja Adit jahat, toh itu memang kenyataannya. Bagi seorang kakak melihat adik kesal dengan tingkah yang menggemaskan itu, seperti mendapat energi dan semangat baru.

“Duh, La! Kamu tau? Di deket tempat kerj abang, ada kedai es krim baru. Mau coba, gak?” Adit memandang Aila dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Aila jika sedang marah, tak ubahnya seperti monster yang tengah kelaparan. Seram!

Namun meski begitu, sepertinya bujuk rayu Adit, masih berlaku untuk Aila Maharani. Buktinya, sekarang Aila sudah menghentikan aksi memukuli Adit dengan buku. Maka, setelah mendapat persetujuan dari Aila, Adit mengajak gadis itu untuk menuju kedai yang ia bicarakan. Tentunya, setelah berhasil menemukan buku-buku yang menjadi incaran mereka berdua.

“Bagus, ya. Katanya Cuma sejam, eh malah dua jam lebih.”

Aila menyengir, lalu berjalan cepat ke arah sahabatnya yang tengah merajuk itu. “Maaf, tadi aku jalan dulu sama Bang Adit.”

“Lah? Kok, aku ngga tau?”

Aila mengendikkan bahunya. Setelah itu, memandang Mutia—sahabatnya yang mendengkus kesal. “Resign aja aku jadi adeknya, lah!” serunya dramatis.

Aila yang mendengar itu, tentu saja terbahak keras. Melihat Mutia yang kesal, adalah hal paling menyenangkan menurutnya. Apalagi, ini karena Aditya—abangnya Mutia, yang seolah lupa adiknya itu siapa.

“Gak usah drama! Abang udah ngasih tau dari semalem, 'kan?”

Mutia menyengir, sipat jailnya tengah kambuh sekarang. Terbukti dari raut wajah Aila yang mendatar, sama seperti jalanan aspal ibu kota. Sungguh, menjengkelkan sekali.

Mutia tersenyum kecil, lalu merampas kresek putih yang Aditya pegang. Mengambil dua bungkus es krim berbeda rasa dan berlalu pergi dari pintu kafe. Tentu saja, meski ia bosnya di sini, ia harus tetap bekerja! Kafenya masih terbilang kecil. Maka, ia harus bekerja dengan baik.

Mutia itu, definisi dari pejuang. Ia akan terus bekerja—jika belum tumbang. Ambisinya benar-benar patut diacungi jempol. Berbeda dengan Aila yang hanya pelayan tanpa gaji di sini—ya dia hanya akan datang karena gabut dan sedang kebingungan mencari referensi.

Sayangnya, setiap hari, Aila merasakan itu. Jadi, ya ... mau tidak mau, ia akan ke sini setiap hari. Namun, jangan salah! Kafe ini, juga miliknya, kok! Kan, dia juga memberi modal di sini. Ya, seperti investasi ala Aila, saja. Makanya ia tidak mendapat gaji, kan dapatnya penghasilan.

Mutia sangat suka dengan kebebasan, setiap tiga bulan sekali, ia akan mendaki dengan teman-teman pencinta gunungnya. Ah, iya. Mutia sangat suka pakaian berwarna. Jika ditanya kenapa, maka Mutia akan menjawab, “Karena aku bukan Aila.”

Ah, iya. Abang Mutia sangat dekat dengan Aila—sahabatnya. Lantas, apa ia cemburu? Tentu saja tidak. Karena, semua orang pun bisa melihat. Ada binar cinta, di kedua mata abangnya untuk Aila.

Kala Hati T'lah BerlabuhWhere stories live. Discover now