Ego

13 2 0
                                    

Semua berhak memilih. Mau pergi atau menetap, itu haknya sendiri. Jangan memaksa seseorang untuk satu atap, jika menatapmu saja, ia enggan.”
Semesta, 20 September 2021

••••

“Padahal, Kamu nggak perlu takut, Tia. Aku gak bakal rebut Nugraha dari kamu.” Aila tersenyum kecil, meski tak bisa menghilangkan raut lelah di wajahnya.

Ya, Aila Maharani Prawiro, tidak akan pernah merebut Nugraha, karena faktanya ... Nugraha sudah dipatenkan untuk bersanding dengannya. Meski sekarang ia lebih memilih untuk berhenti dari embel-embel perjodohan itu.

Aila juga bukan gadis menyedihkan yang akan mengemis-ngemis cinta, pada orang yang tak memiliki rasa serupa. Tidak! Itu bukan gayanya sama sekali.  Kendati ia tahu, Nugraha menjadikannya poros semesta. Namun, ia tidak peduli! Perasaannya sudah layu dan akan sirna sebentar lagi.

Toh, Nugraha kini sudah memiliki Mutia, 'kan? Maka, tinggal dirinya saja yang harus terbang dan mendapatkan tempat yang baru. Tempat yang hanya dirinya seorang diri tempati. Meski Aila sangat terlampau tahu, kalau semua ini tidak akan menjadi mudah, karena ego Nugraha sendiri.

Namun, mari mencari kemungkinan-kemungkinan yang tertinggal di hari lalu. Atau bisa jadi kepingan-kepingan harapan yang tertimbun duka di detik dulu. Semoga, satu di antara keduanya mampu membawa senyum bahagia tersungging di bibir Aila. Ya, si pemilik jiwa bebas yang harus dikurung dalam sangkar emas.

Mutia yang mendengar penuturan Aila, sontak terdiam. Hela napasnya terdengar begitu gusar. Ia kira, Aila mengerti bahwa rasa curiga tidak bisa diajak berkompromi. Salahkan saja sikap Aila yang sekarang mendadak welcome pada Nugraha.

Mana bisa Mutia tidak merasa curiga, saat Aila terlihat biasa saja kala di dekat Nugraha. Padahal, Mutia terlampau tahu, kalau Aila tidak sehangat itu. Ia adalah gadis judes dengan dipadukan galak, yang akan siap menyalak jika seseorang berani mendekat.

Namun, sepertinya Mutia lagi dan lagi lupa. Nugraha dan Aila sudah mengenal sejak lama. Maka, Mutia memilih memfokuskan pandangannya pada Aila yang kini tengah membolak-balikan buku—mencari jawaban atas pertanyaan dalam kepalanya.

“Aku cuma takut, Lia. Kalian udah kenal lama, nggak menutup kemungkinan kalo salah satu dari kalian, ada rasa.”

Aila menutup buku cukup kasar, perkataan Mutia telak menghantam hatinya. Benar, itu tidak mungkin. Akan tetapi, rasa yang dikatakan Mutia pasti ada itu, sudah hilang.

“Kalo pun emang ada, itu pasti udah ilang, Tia.”

Mutia benar, 'kan? Pasti dulu ada sesuatu di antara mereka. “Terus, kalo masih ada, gimana?”

Aila menoleh, lalu tersenyum samar. “Nggak mungkin, Tia. Nugraha udah sama kamu. Kalo aku, kamu pun tau siapa yang aku suka, 'kan?”

Mutia menghela napas pelan, masih ada yang mengganjal rasanya. “Tapi hati seseorang gak ada yang tau, 'kan?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

Aila terkekeh geli, lalu berkata, “Kamu terlalu larut dalam ketakutan-ketakutan yang kamu ciptakan sendiri, Tia. Bangun! Aku gak bakal rebut Nugraha dari kamu, tapi ... jika Tuhan yang sudah berkehendak, aku atau kamu enggak bisa nolak, 'kan?”

Mutia mendongak, menatap Aila yang kini sudah berdiri sembari menenteng tas berisi laptopnya. “Maksudnya?” tanyanya.

Namun, Aila hanya diam membisu, sembari menatap Mutia dengan hangat. “Takdir gak ada yang tau. Ah, iya. Soal yang kemarin ... aku juga minta maaf. Duh! Aku harus pergi, masih banyak tugas. Bye!

Kala Hati T'lah BerlabuhWhere stories live. Discover now