Amarah Tertahan Mutia Senja Paradi

Mulai dari awal
                                    

Mutia menatap Nyonya Alea tidak percaya. Keluarganya, memang bejat, tapi tidak segila ini juga. Ah, ia sekarang mengerti; kenapa Aila memilih pergi dan menepi. Mereka gila hormat. Menyedihkan!

Mutia menghela napas pelan, menatap jam di tangannya, sembari menebak kapan Aila akan sampai. Takut, jika pembahasan ini terdengar oleh gadis itu dan membuatnya kembali terluka.

“Kalo kalian rindu, temuin aja, kan bisa? Bang Sabiru juga sekarang sering mampir ke kafe buat nengok Lia.”

Nyonya Alea mendelik tak suka. “Sabiru itu tidak menyukai Lia. Dia ngga kayak Awan atau Telaga yang bakal ngelakuin apa pun buat bawa Lia kembali.”

Ah, benarkah? Kenapa Mutia merasa ucapan Nyonya Alea adalah sebuah kebohongan? Ia bahkan bisa melihat pancaran kasih begitu tulus saat Sabiru datang berkunjung. Tangannya pun tak pernah kosong, ia selalu membawa makanan atau buku-buku yang Aila diam-diam inginkan. Seolah; Sabiru bisa mengetahui segala hal, tanpa perlu dijabarkan oleh Aila.

Tentang Awan dan Telaga, apa itu pria-pria yang beberapa bulan lalu datang sembari membawa orang-orang dengan seragam serupa? Mutia bahkan langsung jijik sendiri, saat melihat keduanya kala itu.

Mereka datang dengan wajah begitu datar dan langsung menarik Aila yang kala itu tengah melayani pengunjung. Ada perdebatan sengit waktu itu, hingga membuat Mutia teramat terpaksa, untuk menyuruh Aila membawa kedua pria menyebalkan itu ke ruangan pribadi mereka.

Selang beberapa jam, keduanya ke luar dengan wajah begitu panik. Di tangan salah satu dari keduanya, Aila tengah di gendong dengan darah yang mengucur dari pelipis, serta telapak tangannya.

Dua hari setelah Aila dirawat di rumah sakit, ia pulang dengan senyuman begitu lebar. Saat ditanya di maan keberadaan kedua abangnya, Aila menjawab dengan antusias. “Mereka pergi, tentu saja! Kalo aja dari dulu aku tau cara ampuh ngencem mereka tuh dengan nyakitin diri sendiri, udah aku lakuin! Aduh, senangnya. Huhu!”

Maka, Mutia menatap Nyonya Alea yang kini tengah duduk tumpang kaki. ”Kenapa Anda bisa menyimpulkan begitu?”

“Sabiru terlalu acuh.”

Mutia menggeleng tak mengerti dengan cara berpikir wanita tua itu. Lantas, dengan senyum teramat paksa, ia kembali bersuara. “Saran saya, jangan paksa Lia buat ikut Nyonya pulang. Lia udah nemuin kebahagiaannya sendiri.”

“Jakarta tidak cocok untuk Lia, Nak. Kota ini terlalu keras buat Lia yang bahkan tidak pernah diperlakukan dengan kasar.”

Mutia merasa, kehadiran wanita paruh baya yang menjabat sebagai bu'de sahabatnya ini, untuk menguji kesabarannya. “Anda tidak terlihat sakit, Nyonya.”

Benar. Itu adalah kalimat yang sangat ingin Mutia utarakan sedari tadi. Meski, baru sekarang ia ungkapkan setelah perdebatan begitu panjang.

“Lia itu bodoh. Ia akan dengan mudah dikelabui. Makanya, aku harus membawanya kembali. Dunia terlalu kejam untuk anak sebodoh dia.”

Baru saja Mutia ingin menyalak, suara dari ambang pintu, telak membuatnya membisu. Di sana, Aila berdiri dengan tatapan begitu datar, tangannya bahkan masih menggenggam keresek putih berisi obat-obatan.

“Kalau begitu, biarkan anak bodoh ini tetap di Jakarta. Jangan memaksanya untuk kembali ke Surabaya. Biarkan ia tumbuh menjadi begitu tangguh, hingga mampu membuatmu tersenyum bahagia.”

Mengingat kejadian satu tahun yang lalu, telak membuat Mutia waswas sendiri. Aila bahkan langsung berubah menjadi begitu disiplin dan memang lebih baik. Ia tidak pernah lagi murung atau bersedih, senyumnya tak pernah luntur meski semesta menentangnya.

Namun, hal yang membuat Mutia khawatir adalah; ia takut. Takut Aila kembali terperosok dalam luka yang diciptakan oleh keluarganya sendiri. Satu tahun yang lalu, Mutia bahkan hampir kehilangan Aila untuk selamanya.

Gadis itu frustasi dan meminum setengah botol obat tidur. Untung saja kala itu, Mutia yang belum benar-benar tidur, bisa membawa Aila ke rumah sakit terdekat.

“Lia belum pulang? Ini udah malem. Jakarta, emang ngga pantes buat Lia ternyata. Nyesel saya ngga bawa dia pergi setahun yang lalu.”

 ***

Btw, kalo kalian jadi Mutia yang denger semua omongan Nyonya Alea, kalian bakal sabar enggak, sih? Kalo kak Ail mah, udah banting aja tuh, wanita tua! Nyebelin!
Apalagi kalo jadi Aila, beuh ... alamat bundir dari dulu, lah!
Idup dalam kekangan itu engga enak, Bosque!

Huhu. Setelah sekian lama enggak up, akhirnya kak Ail up juga. Eh, lama enggak, sih? Enggak, ah. Wong cuma telat bentar doang, 'kan? Jadwal up tuh, dua hari sekali. Ahaha. Baik banget jadi kak Ail :-D.

Tembus dua ratus pembaca, kak Ail up lagi, deh.


















Becanda! Tapi, moga aja tembus. Sampe 1M, lebih gud itu mah.

Jangan salah, ya. Mimpi kak Ail tuh, tinggiiii banget! Ah, terima kasih sudah membaca❤️. Btw, kalian hebat, kalo baca part ini sampe akhir.

See you❤️.

Kala Hati T'lah BerlabuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang