Perihal hidup.

25 8 6
                                    


#Aksara Rasa

Dalam hidup, akan ada hari di mana semuanya terasa berat saat dijalani. Waktu seakan berhenti berputar dan hanya menatapku dengan sinis. Seakan berlomba menertawakan diriku yang tengah malang. Hari di mana aku merasa dunia begitu jahat, takdir itu tidak adil. Semesta membuatku ingin mengutuk! Aku pernah mengalaminya, beberapa kali. Saat aku mengalami hari berat itu, tak ada hal lain yang terlintas di kepalaku selain menyerah. Iya, selemah itu memang. Percayalah, saat kalian merasa sedang terpuruk, berada dalam masa paling sulit, namun tak ada seorangpun yang meyakinkan bahwa semua akan kembali baik-baik saja, pasti menyerah selalu menjadi hal yang ingin dilakukan.

Aku pernah ada di posisi itu. Bodohnya yang bisa kulakukan hanya menangis dan menangis hingga rasanya akan kehilangan nafas. Benar-benar berat. Bahkan kakiku seakan berkompromi dengan semesta. Kakiku tak mau diajak melangkah. Lunglai. Bagai tidak ada lagi nyawa yang bersemayam. Aku sering menertawai takdirku. Aku sering bertanya tentang nasib yang aku miliki. Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku seperti ini? Melihat tawa orang lain, melihat hidup orang lain dan waktu yang mereka miliki saat aku tengah terpuruk membuatku semakin membenci dunia—atau mungkin diriku sendiri.

Aku bertanya-tanya. Apa yang salah? Kenapa aku terlahir seperti ini!? Kenapa aku tak mampu untuk mengendalikan diriku sendiri dan menjadi hebat? Sepayah itukah aku?

Lalu saat malam menjelang, mataku menjadi tidak tahu diri. Saat raga dan jiwaku kelelahan menjalani satu hari yang terasa seperti satu abad, ia justru tak mau aku pejamkan. Benci tentu saja. Muak! Aku ingin tidur dan pergi ke alam mimpi. Beristirahat sejenak dan melupakan beban yang tengah aku sangga. Kenapa mataku tak mau melunak? Terus terbuka dan membuat mataku kembali berembun. Malam yang semakin dingin berhasil membuat air mataku meleleh. Aku menangis ... lagi. Segala ingatan pahit dan menyakitkan kembali muncul ke permukaan. Tangisku kian haru meski tanpa suara. Ada satu hal yang aku benci saat menangis karena ingatanku sendiri, dadaku akan sesak. Benar-benar sesak. Aku tidak tahu apakah ini normal. Tapi rasanya ini tak sesak seperti yang dulu aku alami.

Kau tahu? Dadaku sesak, seakan ada yang menghimpit dengan keras lalu terasa amat nyeri tapi aku tidak tahu apa yang membuat rasa nyerinya sangat nyata. Dahulu saat aku menangis, hanya ada suaraku yang sesenggukan, tanpa sesak apalagi nyeri. Hingga sering waktu aku tahu. Luka lamaku kembali menganga, dan saat air mata mengalir, seolah luka lamaku yang menganga itu kembali basah hingga menimbulkan rasa sakit.

Seseorang pernah bertanya kepadaku, "Apa yang membuatmu bertahan sampai saat ini?" Dengan hati tenang aku mampu menjawab dan membeberkan beberapa alasan—tak semuanya.

Tapi saat hidupku sedang terpuruk seperti yang tadi aku ceritakan, entah kenapa semua alasan yang selama ini aku genggam mendadak lenyap. Seolah tak ada harapan untuk hari esok. Lalu tak terasa saat aku melihat jam, sudah menunjukkan tengah malam. Hari akan berganti dan kini aku diselimuti ketakutan. Aku menjadi tidak ingin tidur. Aku rasanya tak mau tidur dan bangun kembali. Aku takut hari esok menjadi lebih menyeramkan dari hari ini. Namun, lagi-lagi aku hanya mampu berdoa. Sambil melihat jarum detik yang terus berjalan, aku katakan pada diriku sendiri, "Tenang, semoga besok lebih baik. Yakin bahwa kamu akan bahagia, percayalah."

Dengan satu mantra itu, aku berhasil terlelap ke dalam dunia mimpi. Dengan sejuta harapan yang aku genggam menuju hari yang lebih baik.

Dari sang pemuja langit

Aksara Rasa [ TAMAT ]Where stories live. Discover now