5. Tekanan Batin

15K 1.9K 112
                                    

Ayo, komennya kurang banyak ndan 😁

***

Belum ada sehari tapi Nindy sudah ingin lari. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat Raka meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Tidak ada peraturan atau wejangan khusus untuknya agar bisa menjadi asisten yang baik. Nindy bingung, dari mana dia harus memulai semuanya?

Tidak ingin membuat Raka kembali marah, akhirnya Nindy memilih untuk menemui Tomi. Sebagai mantan asisten Raka, pasti pria itu bisa membantunya. Bersyukur Nindy langsung melihat Tomi yang duduk di meja depan ruangan Raka. Nindy berjalan mendekat dan sesekali tersenyum pada karyawan yang menatapnya bingung. Mungkin mereka belum
mengenalnya. Ingin sekali Nindy mengakrabkan diri tapi keadaannya sangat terdesak saat ini. Dia harus segera menjalankan perintah Raka untuk membeli makanan. Apa memang seperti ini tugas dari asisten?

"Mas Tomi?" panggil Nindy pelan.

Tomi menatap Nindy bingung, "Ya, Nind?"

"Liat Pak Raka nggak?"

Alis Tomi terangkat sebelah, "Pak Bos tadi pergi sama Pak Ilham."

Mendengar itu, dengan cepat Nindy menarik kursi kosong di sampingnya agar bisa duduk berhadapan dengan Tomi. Dia mengantupkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Tomi memelas, "Bantuin aku, Mas. Jadi asistennya Pak Raka itu ngapain aja?"

Tomi terkekeh melihat ekspresi Nindy. Dia tahu apa yang gadis itu rasakan. Tomi juga sempat merasakannya dulu sebelum terbiasa. Sekrang dia bisa lega dan bebas saat Raka memintanya untuk menjadi asisten Ilham, wakil Raka di perusahaan.

"Jadi asistennya Pak Raka itu gampang, Nind." Tomi mendekatkan tubuhnya dan berbisik.

"Gimana?" Nindy ikut mendekatkan.

"Yang pertama kamu harus nurut, yang kedua itu sigap, dan yang ketiga itu yang paling utama..."

"Apa itu, Mas?" Nindy mendengarkan dengan serius.

"Sabar."

Nindy menghela napas kasar dan bersandar pada kursinya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan agar ekspresi menyedihkannya tidak dilihat oleh banyak orang.

"Kamu diapain Pak Bos?" tanya Tomi menahan senyumnya.

Nindy menatap Tomi pias, "Sebelumnya aku udah pernah ketemu Pak Raka, dua kali."

"Terus?"

Nindy menggeleng pelan, "Pertemuan yang nggak baik. Kayaknya Pak Raka mau balas dendam sekarang."

Tomi menatap Nindy prihatin, "Masih hari pertama udah gini. Turut berduka cita ya, Nind."

Nindy memilih pasrah dan berdiri, "Biasanya Pak Raka sarapan apa, Mas?"

Kening Tomi berkerut bingung, "Pak Raka nggak pernah sarapan."

Nindy memejamkan matanya mendengar itu. Ternyata benar dugaannya. Raka sengaja menyiksanya untuk balas dendam.

"Ya udah, Mas. Kalau gitu saya beli sarapan di kantin kantor aja. Makasih ya." Tanpa menunggu jawaban Tomi, Nindy berjalan lemas menuju lift. Raka tidak memberikan perintah khusus menganai menu makanan yang diinginkan. Ingin bertanya pun percuma karena pria itu mendadak menghilang.

***

Nindy membawa kotak makanan di tangannya ke ruangan Raka. Lagi-lagi dia hanya bisa tersenyum melihat beberapa karyawan yang menatapnya bingung. Bukan berniat tidak sopan, tapi Nindy akan berkenalan nanti jika waktunya sudah tepat dan dia memiliki sedikit waktu luang.

"Pak Raka udah dateng, Mas?" tanya Nindy pada Tomi.

"Udah, di dalem sama Pak Ilham."

Nindy mengangguk dan mulai mengetuk pintu ruangan Raka. Sahutan dari dalam membuat Nindy membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Di sana dia bisa melihat Raka yang duduk di kursi kerjanya dan pria yang Nindy yakini sebagai Ilham, wakil Raka yang duduk di sofa.

Okay, Boss! (SELESAI)Where stories live. Discover now