3 - Let's Roll

1 0 0
                                    

"MANA gadis lelet itu?"

"Jangan terlalu kasar, Dom. Bagaimana kalau dia mendengar dan ikut emosi hingga proses syuting kita berantakan hari ini? Baru juga hari pertama," Dave memperingatkan dengan sopan.

"Kau pikir aku akan keberatan kalau dia mendengar dan tahu isi hatiku tentang dia? Biar saja dia tahu aku tidak menyukainya," ketus Dominico.

"Dom... Ingatlah, kita membutuhkan mood baiknya..." Dom kembali mengingatkan.

"Aku tak peduli." Dominico masih terlihat acuh tak acuh dan menjelajahi Instagram-nya yang dipenuhi dengan gadis-gadis cantik, juga seksi. Jauh sekali dari penampilan Mikay yang tak pernah memakai pakaian-pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya.

Dave menggeleng melihat Dominico yang begitu tidak empati terhadap orang-orang di sekelilingnya. Yang dia inginkan, semua tugas sudah berjalan dengan baik. Penghalang yang tak begitu penting akan selalu bisa diselesaikan dengan keahlian negosiasinya. Sebagai anak dari eksekutif produser yang cukup terkenal baik di mata masyarakat, Dominico termasuk anak yang cepat menyerap pelajaran walau dia tak menginginkan perusahaan orangtuanya. Ia hanya tak ingin sikap dinginnya menghancurkan suasana syuting. Sayangnya, Dominico selalu tak berpikir panjang dan merasa semua masalah bisa diselesaikan dengan cara apa pun. Ya. Apa pun. Mengerikan. Ia tak ingin itu terjadi. "Apa kau benar-benar tidak menyukai gadis sederhana itu? Kau dan kru lainnya harus berada di sana tepat waktu. Semua peralatan sudah disewa dan dikirim ke lokasi. Mungkin sebaiknya kau berangkat lebih dulu. Biar aku yang akan menemani Mikay dan kru make up artis lain. Ya. Kau bisa berangkat lebih dulu."

"Aneh! Mengawali hari pertama yang sungguh tak bisa diterima! Terlambat! Terlambat aku bisa menyukai gadis itu." Dominico melengos dan menaruh tas ransel hitamnya ke bangku tengah mobil SUV-nya.

"Kalau kau tak bisa menyukainya. Paling tidak, kau menghormatinya sebagai makhluk ciptaan-Nya dan bersikap selayaknya klien yang harus kita perlakukan dengan baik, Dom..."

"Terserah! Pastikan kalian tidak terlambat! Aku sudah menyewa peralatan itu hari ini dengan uang yang tak sedikit! Kau pasti tahu berapa kerugian yang akan kita dapat kalau jadwal kita hari ini berantakan, bukan?!"

"Baik, Dominico. Bukankah selama ini aku yang selalu memastikan kru dan artis bekerja tepat waktu?"

Dominico mengernyit dengan sindiran itu. Lebih tepatnya tak bisa menyerang Dave lagi. Ia kalah. Tidak. Ia hanya tak ingin bersikeras lagi untuk meninggalkan Mikay dalam singgasananya dan membenarkan ucapan Dave. Sikapnya yang terlalu perfeksionis memang tak bisa diragukan lagi. Itu sungguh menyebalkan, baginya. Juga sekaligus menguntungkan untuk perusahaan ini. Ia tak ingin lagi berdebat dengan laki-laki itu.

Selama ini Dave memang tidak pernah menelantarkan tim dan para artisnya. Walau jauh sekalipun, ia sudah menghitung waktu perjalanan mereka setiap kali ada syuting di saat beberapa warga kota berpenduduk ratusan juta ini mungkin tengah terlelap. Karena itu, mereka sudah selesai bersiap-siap dari pukul dua dini hari ini.


«««


Beberapa bulan lalu, tidak, tepatnya sejak kecil, kecantikan Mikay telah dimanfaatkan oleh pengurus panti asuhannya. Ah, tidak. Dimanfaatkan terlalu kasar untuk orang sebaik Pak Cokro Bimantara sang pengurus panti asuhan yang sangat memedulikan perkembangan anak-anak asuhannya. Karena itu, Mikay telah memiliki beberapa penghargaan dari berbagai perlombaan model.

Tak jarang juga Mikay mengikuti syuting iklan walau hanya dijadikan figuran saja. Namun, uang yang ia dapatkan tak sepenuhnya dipakai untuk kebutuhan pribadinya. Ia rela ketika Pak Cokro meminta ijin untuk menggunakannya. Karena panti asuhan membutuhkan dana untuk kelangsungan hidup anak-anak kurang beruntung yang kapasitasnya sudah hampir melebihi batas setiap tahunnya. Dan dana dari Yayasan Anak Kasih Foundation tak cukup untuk menutupi kebutuhan mereka yang besar.

"Mikay... Apa sudah siap?" kepala Dave tersembul setelah ia mengetuk pintu kamarnya berkali-kali. "Sori... Apa aku mengganggu?" dilihatnya Mikay hanya terduduk di sofa sambil memegang koper hitam besarnya.

"Eh, maaf... Apa kita sudah akan berangkat? Sebenarnya aku sudah siap dari tadi, tapi..."

"Apa kau masih membayangkan masa lalu?" Dave bersandar di kusen pintu kayu bercat putih polos sambil menghela napas dan menatapnya lekat.

Mikay tertunduk dan seringai tipis terlukis di bibirnya yang berbentuk hati. Sejak menjadi sosok yang diinginkan keluarga ini, ia harus selalu memoleskan sedikit riasan di wajahnya. kini lipstik matte merah pastel, bedak dengan berbagai kandungan fondasi serta proteksi seperti vitamin E dan SPF 20, pensil alis, blush on, dan eyeliner selalu menyulap wajahnya yang dulu hanya terlihat cantik setiap kali ia bekerja paruh waktu. "Tidak. Ah, ya.... Sedikit..."

Mikay hanya tak menyangka bisa tinggal bersama keluarga barunya ini dan bisa merasakan tinggal di dalam sebuah bangunan yang biasa mereka 'orang awam' sebut sebagai rumah atau home sweet home. Di saat anak-anak yang sudah lebih dewasa dari dirinya sudah dipaksa untuk keluar dari panti asuhan dan mencari pekerjaan baru. Sementara ia benar-benar beruntung karena tak harus merasakan diusir oleh panti asuhan hanya karena usianya sudah cukup dan tak memiliki pekerjaan. Saat pihak panti asuhan telah menyekolahkannya hingga ia lulus SMA, ia telah mengambil pekerjaan sampingan sebagai house keeping di sebuah hotel yang ada di Jakarta selama ia mengambil sekolah tinggi pariwisata swasta di kota yang sama.

Takdirnya sungguh membuat Mikay merasa harus berterima kasih pada Sang Pencipta nyawanya. Karena sebulan lagi ia tinggal di panti dan tak memiliki pekerjaan, pastilah ia akan menjadi korban berikutnya yang harus merasakan pahitnya terbuang untuk hidup mandiri walau belum mendapat pekerjaan tetap. Ia sudah merasakannya delapan belas tahun yang lalu, dan bersumpah pada dirinya sendiri tak ingin kembali mengalaminya.

Dulu, orangtua Mikay memang telah membujuknya untuk tinggal di panti asuhan itu dan berjanji akan menjemputnya suatu hari nanti –tepat setelah keadaan mereka sudah tercukupi dan baik-baik saja. Namun, setelah bertahun-tahun kemudian tak ada satu pun yang menepati janji itu. Entah di mana keberadaan mereka sekarang. Yang melekat dalam benaknya, mereka selalu tinggal tak di satu tempat saja. Mereka tak pernah menetap untuk waktu yang lama. Karena itu, ia bingung bagaimana harus mengingat tempat tinggal mereka. Mereka benar-benar nomaden.

Dave terdiam sejenak saat ia kembali mengingat cerita Mikay sejak ia berusia enam tahun. Saat itu, ibunya tak mengharapkan anak perempuan yang terlahir dalam kondisi perekonomian yang sangat sulit. Sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara, dia tak akan terurus dan akan bernasib seperti orang-orang yang kurang beruntung. Seperti ketujuh saudara laki-lakinya yang bisa memberikan pendapatan ke ibunya yang single parent, walau tak seberapa. Ayahnya meninggalkan mereka karena sakit tipus dan tak cukup mendapatkan penanganan yang baik di rumah sakit hanya karena keterbatasan biaya yang mereka miliki. Sekarang ia telah meninggalkan pekerjaannya di hotel untuk mengenal keluarga Dominico dan menjadi bagian dari mereka saat Dave menemuinya pertama kali di restoran yang ada di lokasi ia bekerja. Seandainya...

"Apa kau tak ingin bertemu dengan keluargamu?"

Pertanyaan Dave kembali terlontar. Mikay tak menyalahkan dia bisa sedikit membaca suasana hatinya saat ini. Terkadang ada lebih banyak hal yang tak diketahui oleh orang-orang yang tak begitu peka terhadap situasi. Ia malah bersyukur ada seseorang yang bisa mengerti perasaannya saat ini. Karena teman-temannya di kampus tak benar-benar bisa menjadi temannya. Kebanyakan mereka memandangnya sedikit berbeda hanya karena ia tinggal di panti asuhan. Mungkin mereka menganggapnya aneh karena asal usul keluarganya yang tidak jelas. Menghabiskan waktu di kampusnya bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Karena itulah ia hanya menimba ilmu dan lebih fokus untuk mencari pekerjaan di sela-sela waktu senggangnya. Bahkan orang-orang yang bekerja di tempat kerjanya terasa lebih ramah dan penuh semangat yang bisa menumbuhkan kembali rasa juangnya untuk tetap hidup.

Dave menghela napas panjang dan berat. "Mikay... Kau tahu dengan menerima dirimu yang sekarang, mungkin salah satu dari mereka akan mengenalimu suatu hari nanti. Aku tak bisa menjanjikan hal itu terjadi. Karena kau pun tak memegang satu pun kenangan dari mereka. Namun, kita telah sepakat kalau kau masih bisa menggunakan waktu luangmu untuk mencari mereka jika kau ingat di mana tempat tinggal kalian dulu. Salah seorang informan dari perusahaan kami sudah berusaha membantumu sesuai dengan gambaran yang telah kau berikan minggu lalu. Jangan khawatir, Mikay... Kau tak akan menyesal menjadi bagian dari keluarga ini. Kau juga tak perlu bersedih lagi membayangkan semua itu... Yang kita butuhkan saat ini hanyalah dirimu berkembang menjadi lebih baik... Berusahalah..."

Mikay membalas tatapan lekat Dave, dan mengangguk sambil mengulas senyum tipis di wajahnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Life of Mikay {ON GOING}Where stories live. Discover now