2 - Ackward Moment

4 0 0
                                    

"WAH! Selain pandai melukis dan berjalan di runway walks, kira-kira apa lagi yang kau bisa, Mikay?" Dave menatap kuas di tangan Mikay yang bergerak di kanvas putih besar di hadapannya. "Look at you, now... Kamu terlihat berbeda sekali dari hari pertama kamu datang ke sini.."

"Apa itu artinya aku berhasil menjadikan diriku jadi lebih baik?"

Dave mengangguk. "Yang terpenting, kamu menyukainya. Karena kurasa alam tidak bisa mengubah seseorang jika tidak mendapat ijin. Tapi kamu nggak membenci karyawan-karyawan Dom, kan? Karena setelah pemotretan kamu langsung masuk ke ruangan ini..."

"Oh... Nggak, Dave. Aku hanya berpikir lukisanku masih perlu diselesaikan... dan aku sudah berpamitan," ujar Mikay sambil tersenyum dan kembali menatap lukisannya.

Dave terhenyak melihat raut wajah Mikay hari ini. "It's beautiful. Umm.. Maksudku, lukisan yang kamu kerjakan ini, Kay..."

Mikay hanya bisa kembali mengukir senyum dengan pipi semakin merona merah saat menanggapi pujiannya. Ia bisa melihat dari mata biru kalau Dave benar-benar terkagum-kagum melihat lukisannya. Goresan-goresan warna yang membentuk punggung seorang wanita berusia sekitar empat puluh lebih yang berdiri di tengah-tengah bukit-bukit bersalju ini memang sudah ada dalam benaknya sejak lama.

Dave menatap lukisan itu penasaran. Entah mengapa perihnya rasa saat memandang lukisan itu sungguh menyelimuti hatinya. Karena ia juga melihat seorang laki-laki dan anak kecil yang berdiri sambil menatap wanita itu di belakangnya. Keberadaan mereka seakan tak cukup untuk menahan kepergian wanita itu. Ia buru-buru beralih dari lukisan Mikay dan memandang wajahnya yang terlihat begitu menarik saat terkecup oleh sinar matahari sore dari balik tirai yang tersingkap di jendela kaca tinggi dan lebar dalam ruangan kreatifitasnya.

Dave tersenyum menatap gadis itu. Bulu matanya yang lentik natural dengan kelopak mata sedikit menyentil hatinya. Dengan alis seperti terlukis oleh tangan seorang make up artist ternama –yang bisa menyesuaikan dengan bentuk wajahnya yang oval dan berpipi tirus, ia tak bisa memalingkan pandangan dari setiap lekuk di raut mukanya. Apalagi saat gadis itu mulai mengatakan sesuatu, bibirnya yang sensual sungguh menjadi daya tarik terbesar dari sosok Mikay. Setelah gadis itu mempelajari tentang teknik dasar merias dan menonjolkan sisi indah wajahnya pagi ini, perlahan-lahan ia telah mengubah penampilannya yang biasa saja.

"Terima kasih atas apresiasinya, Dave. Aku memang menyukai hal-hal yang berbau seni sejak aku masih kecil. Waktu itu, aku sempat diajak main ke sebuah museum di mana ada beberapa lukisan tentang para pahlawan yang berjuang meraih kemerdekaan negeri kita ini. Aku hanya benar-benar berkhayal bisa melukis seindah lukisan-lukisan itu. Aku memang jauh berbeda dengan saudara-saudaraku yang usianya hanya masing-masing terpaut satu tahun. Aku tak menghina ataupun menyalahkan jalan hidup yang mereka pilih. Hubungan kami juga baik-baik saja sebelum kami berpisah. Namun, mereka lebih menyukai jadi seseorang yang mudah menyerah dan menunjukkan wajah memelas daripada bekerja keras. Lagipula, bukankah hidup ini hanyalah sebuah pilihan? Karena itu, aku menyetujui untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Aku tak punya pilihan lain selain memenuhi keinginan orangtuaku untuk hidup lebih baik bersama anak-anak yang kurang beruntung lainnya di sana. Aku masih menyayangi mereka walaupun aku tak bisa bertemu mereka lagi. Entah di mana keberadaan mereka. Apapun yang mereka kerjakan, aku hanya berharap mereka bisa hidup lebih baik."

"Ohh... Maaf. Aku tak bermaksud untuk menyinggung pekerjaan saudaramu yang lain." Dave tertunduk seraya menatap pulpen dan kertas kopian naskah hasil revisi yang harus diserahkan pada Dominico di papan kecil yang dipegang oleh jemari tangannya.

"Tak apa. Memang kenyataannya seperti itu. Aku tak akan bisa melupakan asal usulku, Dave. Satu bulan mengenal kalian sudah cukup membuatku sadar betapa jalan kehidupan kita jauh berbeda. Jadi, aku lebih tahu di mana aku harus menempatkan diriku dalam keluarga ini. Kalau saja orangtuaku tak meninggalkanku di panti asuhan hanya karena aku tak mau bekerja menjadi tukang meminta-minta, aku pasti tak akan bertemu kalian."

The Life of Mikay {ON GOING}Where stories live. Discover now