"Kenapa tiba-tiba ngomong seperti itu?" tanya Asyila heran.

Aku hanya terdiam sambil menatapi Asyila di depanku berjalan pelan membelakangiku.

"Kok diam?, jawab dong" ujar Asyila berhenti dan menoleh kebelakang melihatku.

"Yang jelas, kamu harus nurut apa yang barusan aku bilang, okey" ucapku.

"Kok egois sih, laki-laki itu nggak boleh egois sama cewek taukk" ujar Asyila.

"Kenapa rupanya, salahh" ucapku, sontak Asyila terdiam dan meneruskan perjalannanya.

Sudah hampir setengah jam kami berjalan namun tidak juga kunjung sampai. Tidak ada yang dapat aku lakukan kecuali melakukan suatu hal yang masih aku rahasiakan terhadap semua manusia yang ada di muka bumi ini. Kecuali manusia yang melahirkanku. Hanya dia yang mengetahui kekuatanku. (Bahkan penulis Novel ini juga tidak mengetahui kekuatan yang terpendam dalam diriku).

Aku memejamkan mataku perlahan dan berhenti. Seperti dugaanku ada yang tidak beres dengan perjalanan kami berdua. Makhluk yang mengerikan itu mencoba menyesatkan langkah kaki kami. "Perjalanan ini semakin mengerikan saja" ucapku dalam hati.

"Asyila tolong berikan aku air minummu sedikit"

"Nihh," Asyila menyosorkan sebotol air mineral kehadapanku.

Dengan semburan air ini semoga semua penghalang bisa terbuka.

"Wahai penguasa langit dan bumi, tidak ada daya dan upaya kecuali atas izinmu, BUKA..."

Akhirnya pintu gerbang gaib, itu terbuka. Kami telah berjalan sangat jauh dari tempat lokasi perkemahan. Mungkin kami telah jauh melewatinya.

"Kenapa Mas" ucap Asyila keheranan melihatku menyemburkan air ke permukaan tanah.

"Tidak apa-apa Asyila. Ayok jalan" ucapku.

Asyila masih belum sadar dengan keadaan yang menimpa perjalanan kami. Ia hanya tahu bahwa dia sangat kelelahan. Benang merah dan kain putih terjalin bersatu, menelusuri pepohonan besar di dalam hutan ini. Aku mulai sedikit mengerti. Mungkin benang merah dan kain putih itu adalah batas itu. Namun kenapa orang biasa tidak bisa melihatnya?. Jika begini berarti semua kelompok lagi dalam bahaya. Mereka tidak akan tahu apakah mereka melewati batas atau tidak.

"Asyila, coba hubungi Damar, Ana atau siapapun dari anggota kelompok" ujarku penuh dengan kekhawatiran.

Asyila mengambil ponselnya dan menelepon Ana, namun Ana tidak dapat dihubungi. Dan lanjut menelepon Damar. Alhasilnya sama juga. Semua anggota kelompok tidak ada yang dapat di hubungi. Keadaan semakin rumit.

"Sebelum malam kita harus sampai ke lokasi perkemahan. Jika tidak semua akan menjadi lebih rumit" jelasku.

Asyila masih saja belum paham dengan maksudku.

"Asyila, Gunung ini penuh dengan makhluk tak kasat mata. Kita harus segera berkumpul sebelum kawan-kawan kelompok melewati batas itu" jelasku.

"Maksudnya batas apa Mas?" tanya Asyila penasaran sekaligus timbul ketakutan dalam benaknya.

"Batas Lembah Uning La. Lembah itu benar-benar ada. Dan semua yang kita alami adalah sesuatu yang tidak biasa. Seharusnya kita sudah sampai di tempat perkemahan sebelum jam lima sore. Namun sampai saat ini, hari sudah mulai gelap, kita belum juga sampai" jelasku.

Sontak Asyila terdiam dan memegang tanganku.

"Kamu jangan takut selagi ada aku di sampingmu semua akan baik-baik saja" ucapku mencoba meredakan ketakutan Asyila.

Hutan sudah mulai menghitam. Tidak ada cara lain selain mendirikan tenda bersama dengan Asyila di tengah hutan berdua. Meneruskan perjalan akan sangat berbahaya di kala malam di Gunung Lauser. Aku tidak menyangka akan menjadi serumit ini kejadiannya. Aku mencoba membuat penangkal batas sebelum benar-benar gelap. Aku menaburi bubuk daun penyambung nyawa beserta membacakan mantra penangkal untuk membatasi mereka (makhlus halus) masuk ke lokasi kami.

"Tidak ada waktu lagi La, semoga mereka bisa menjaga diri masing-masing" ucapku.

Asyila hanya terdiam. Nafasnya desan-desus. Keringatnya bercucuran.

"Bantu aku mendirikan tenda disini" jelasku setelah siap menaburkan bubuk daun penyambung nyawa di sekitaran tempat yang ingin kami dirikan tenda untuk bermalam.

Sebelumnya aku berpikir bahwa batas itu dapat di lihat oleh manusia biasa. Namun pikiranku melenceng sepenuhnya. Perjalanan ini bisa jadi akan mejadi pintu gerbang kematian untuk kami semua. Ntah makhluk jenis apa yang ada dalam hutan ini. Namun pirasatku berkata makhluk itu kuat dan brandal. Aku tidak ingin mati disini, tapi kawan-kawanku, Damar, Ana, Jefri, Abdi dan semuanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada mereka.

BATAS KEMATIANWhere stories live. Discover now