Bagian 22 : Kangen Katanya

5K 581 20
                                    

Nasha pamit ke toilet setelah selesai USG dan juga konsultasi dengan Dokter Kandungan. Sedangkan Bara menunggu di kursi tunggu. Bara datang menjemputnya tadi, menggunakan taksi dan menemaninya ke klinik tersebut.

Usai dari toilet, ia menghampiri Bara. Langkahnya berhenti saat melihat pria itu yang tersenyum seraya mengamati hasil USG tadi.

Jenis kelamin anak mereka nanti perempuan.

Tatapan Nasha beralih pada tangan Bara yang terdapat beberapa plester luka, juga ada luka yang kering. Kulit Bara yang memang sawo matang semakin kecokelatan. Mungkin terlalu lama terkena sinar matahari.

Menghela nafas pelan, ia tidak tau Bara bekerja apa dalam beberapa hari terakhir ini, tapi pria itu yang membayar biaya konsultasi tadi, juga taksi.

Menghampiri Bara, pria itu mendongak lalu berdiri. "Udah selesai?"

Nasha mengangguk pelan lalu melangkah lebih dulu, Bara mengekor di belakang.

"Kamu gak mau makan?" tanya Bara sebelum memesan taksi. Menatap Nasha yang tatapannya lurus ke depan.

"Boleh," jawab Nasha tanpa menatap Bara.

"Mau makan apa?"

"Terserah."

"Mau iga sapi bakar?" Nasha mengangguk pelan. Bara pun mengetikkan tujuan pada aplikasi ke salah satu tempat makan yang menjual iga sapi bakar.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di tempat makan tersebut. Menikmati iga sapi bakar yang membuat Nasha lahap makan. Memasuki bulan keempat kehamilannya, Nasha tidak lagi merasakan yang namanya mual jika mencium aroma yang menyengat, juga tidak lagi pilih-pilih makanan. Bahkan tidak lagi merasa mual saat berdekatan dengan Bara.

Nasha kira hanya dia yang lahap makan, ternyata Bara juga lahap makan. Ia berhenti mengunyah saat menatap pria itu begitu lahap makan seakan tidak pernah makan seharian.

Memanggil pelayan, ia memesan satu porsi lagi. Menyadari tatapan Bara, tapi ia tidak mengacuhkan.

Setelah satu porsi iga sapi bakar tersebut tiba di meja, Nasha hanya mencicipi sedikit lalu memberikan semuanya pada Bara.

"Kenapa gak dihabisin?" tanya Bara heran.

"Udah gak pengen," jawab Nasha pendek lalu meneguk air.

Bara pun menghabiskannya. Lagi, makan dengan lahap.

"Ah pesenin buat orang rumah juga." Nasha hanya diam tidak menanggapi perkataan Bara. Pria itu memanggil pelayan, memesan untuk orang rumah.

Saat akan membayar, Nasha hendak mengeluarkan uang, tapi Bara mencegah. Bara yang membayar semuanya.

"Lo dapet duit dari mana?" tanya Nasha. Dari tadi penasaran, di mana Bara bekerja.

"Aku kerja jadi supirnya Pak Salim. Anterin dagangannya ke pasar seminggu tiga kali. Kalau pagi, anterin juga bantu angkat ke lapaknya. Abis itu aku tinggal di pasar, ada lapak yang kubantuin motong-motong daging ayam. Lumayan duitnya buat aku tabung."

"Lo belum dapet kerja di kantoran?"

Bara terdiam, menatapnya lamat membuatnya membuang pandangan hingga keluar jendela.

Mereka pun tiba di rumah. Langkah Nasha berhenti saat tidak mendengar langkah Bara yang mengekorinya. Pria itu berdiri di tempatnya. Agak jauh darinya.

"Kenapa lo gak jalan?" tanya Nasha. Berusaha bersikap tak acuh.

"Aku anterin kamu sampai di sini aja..."

Nasha mendengus pelan. "Lo biarin gue angkat nih makanan sendirian?"

Bara pun mendekat, meraih bungkus makanan dari tangan Nasha lalu mengajak Nasha menelusuri gang kecil tersebut. Menuju ke rumah Nasha.

"Kemarin-kemarin lo tinggal di mana?"

"Di rumah Om Hasan."

"Lo tahan tinggal di sana? Istrinya kan bawel banget."

"Tahan kok. Udah biasa dari kecil dengerin sindirannya." Nasha bungkam. Perasaan bersalah itu kembali menghantamnya.

Mereka kembali diam, hingga tiba di teras rumah Nasha. Bara menyerahkan bungkusan makanan tersebut yang diterima Nasha.

Nasha hendak masuk ke dalam rumah. Pikiran serta hatinya kini berperang. Apakah harus menurunkan gengsi atau tidak perlu? Melarang Bara pergi, menyuruh Bara tinggal di sini saja. Menemaninya.

"Sha," langkah Nasha berhenti, ia menoleh menatap Bara yang masih berdiri di tempatnya.

"Em... apa?"

"Soal waktu itu... aku beneran gak selingkuh. Aku ketemu Tamara cuma mau minta tolong ke dia buat ngasih aku pekerjaan..."

Diingatkan hal tersebut membuat Nasha menjadi emosi. Apalagi Bara menyinggung janda gatal tersebut.

"Lo kan punya banyak temen, Bar. Lo juga bisa minta tolong ke temen-temen gue, kenapa lo..."

"Sha, temenku, gak kayak temen kamu yang walaupun kamu gak punya apapun, mereka masih peduli sama kamu. Dan temen-temen kamu benci sama aku Sha, setelah apa yang aku perbuat ke kamu. Tamara ngasih tau aku, kalau aku butuh sesuatu, aku boleh hubungin dia. Waktu itu aku bener-bener frustasi banget, harusnya aku yang lolos tes wawancara, tapi karena salah satu calon karyawan ada yang punya orang dalem, bikin aku gugur walaupun aku lulusan S2 dan punya pengalaman kerja."

Nasha bungkam mendengar penjelasan Bara. Ia menghela nafas pelan.

"Biar gue yang ngasih tau temen-temen..."

"Aku bisa berusaha sendiri, Sha. Gak usah," sela Bara.

"Ya udah. Terserah lo," ujar Nasha sedikit kesal. Ia kembali memutar tubuhnya. Telah membuka pintu rumah, lalu menoleh menatap Bara. "Lo ngapain masih ada di situ? Gak mau masuk?!" ujarnya ketus.

"A-aku..."

"Anak lo kangen sama lo. Bikin gue tersiksa karena gak bisa tidur. Pengen lihat lo terus..." Nasha terdiam sejenak, ia menghela nafas pelan, "Anak lo ya yang pengen! Bukan gue!"

Setelah itu Nasha masuk ke dalam rumah. Agak tergesa-gesa. Berdoa agar Bara pulang saja ke rumah Om Hasan. Tidak perlu ikut masuk.

Sementara itu Bara masih diam berdiri, mencerna apa yang dikatakan Nasha. Agak bingung.

***

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
16/09/21

Bittersweet PromiseWhere stories live. Discover now