11. Tabah

119 13 0
                                    

Waktu terasa begitu cepat berlalu bagi gadis yang tengah duduk dengan pandangan menerawang.

Masa lalu ada untuk dilupakan kecuali satu, yaitu pelajaran.

Tetapi, Laiba masih berpikir. Pelajaran apa yang bisa ia ambil dari masa lalunya bersama Arashya? Cinta dan sakit, apa hanya itu?

Laiba kembali termenung. Pernikahan Arashya dan Shafa sudah di depan mata. Hampir sebagian warga desa turut serta membantu mempersiapkan segalanya. Bu Fatma, merupakan orang yang dikenal ramah. Tentu saja, semua orang akan dengan suka rela membantu pernikahan putranya. Terlebih, mempelai wanitanya merupakan putri sang ustaz.

"Nduk, siap-siap!"

Laiba membenarkan tampilannya. Gamis hitam dan hijab segi empat motif membuatnya terlihat ayu dan elegan. Ia berjalan di belakang sang ibu menuju rumah Ustaz Akbar.

Hatinya masih gelap saja meski di langit bulan utuh itu bersinar terang.

Rumah besar bercat krem sudah dipasang tarub dan blekepete sebagai tanda bahwa di rumah tersebut tengah melangsungkan pernikahan.

Tarub yaitu gapura yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Kemudian, dipasangkan kerangka yang terbuat dari bambu, atau dikenal dengan sebutan blekepete. Pada bagian kiri dan kanan biasanya dipasang pohon pisang yang sedang berbuah. Pohon pisang tersebut disebut sebagai tuwuhan yang dipasang di pintu masuk rumah.

Bagi masyarakat Jawa, Tarub dan Blekepete memiliki makna perlindungan dari Tuhan untuk menolak godaan pada saat upacara pernikahan.

Setelah hari sebelumnya Laiba menyaksikan prosesi siraman Shafa dan Arashya. Malam ini, ia dipaksa untuk menyaksikan acara midodareni keduanya.

Kata midodareni sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu 'widodari' atau bidadari dalam bahasa Indonesia. Upacara ini dilangsungkan pada malam hari setelah prosesi siraman, yang dimaksudkan menjadikan sang mempelai perempuan secantik Dewi Widodari. Pada malam midodareni, keluarga calon mempelai pria berkunjung ke rumah calon mempelai perempuan untuk mempererat tali silaturahmi.

Gadis dengan kebaya merah marun tersenyum ke arah Laiba. Shafa begitu anggun dengan pakaian adat tersebut. Terlebih Arashya dengan busana pangeran; jas beskap, kalung karset, dan keris. Terlihat sangat tampan! Namun, sepanjang berjalannya acara, lelaki itu hanya memamerkan senyum tipis.

***

"Aduh, ya Allah aku deg-degan banget." Para perias tersenyum. Begitu pula dengan Laiba yang berada di belakang Shafa.

"Kamu juga akan merasakannya nanti." Shafa mengusap punggung tangan Laiba yang berada di pundak.

Shafa menyiasati pakaian adatnya dengan hijab hitam, kemudian ditumpuk oleh cunduk mentul. Selain pada kepalanya, Shafa juga mengenakan beludru dengan pola keemasan. Di lehernya yang jenjang, tersemat kalung sungsun dengan kain dodotnya yang menjuntai hingga kaki.

Shafa diantar menuju tempat di mana Arashya melangsungkan ijab. Dipisah oleh kain, Shafa menunggu di sana.

DEG!

Kata sah membuat hati Laiba seolah berhenti berdetak. Berbeda dengan Shafa yang menangis terharu di sebelah, gadis itu menangis sakit.

Arashya yang mengenakan kuluk mathak dengan sumping di telinga. Dengan atasan beludru dan ronce melati, disambung kain dodot dan selop keemasan. Keduanya bersanding di pelaminan menjalani pemotretan.

"Serasi sekali," ujar seseorang di belakang Laiba. Rumah besar Ustaz Akbar menampung sekitar seribu tamu yang diundang. Mulai dari para santri, teman-teman Shafa dan juga Arashya.

Farikha berbisik, "Sabar, ya."

"Ayo, Mbak!" ajak Shafa menarik Laiba menuju pelaminan untuk melakukan pemotretan. Masih dengan pakaian pengiring pengantin, Laiba berjalan menunduk.

Hijab putih dan tatanan makeup-nya paling memukau. Simpel dan cantik.

Tak memamerkan raut berlebih di depan kamera, Laiba hanya memandang lurus tanpa senyuman. Tangan Afidah-ibu Shafa yang merangkul pundaknya membuat ia merasakan sesuatu yang entah. Ia tak bisa menjabarkan dengan detail. Perasaannya begitu berkecamuk menyadari sikapnya yang mengantarkan diri menuju jurang luka.

Laiba pamit pulang untuk salat, resepsi akan dilanjut bakda Zuhur nanti hingga selesai.

Dalam sujud lamanya, Laiba berbisik ke bumi. "Kuatkan aku ...." Laiba memohon, berharap penguasa langit mendengar dan bersedia mengabulkan apa yang menjadi inginnya.

"Ikhlas itu sulit," bisiknya pada diri sendiri. "Cinta itu ketika kamu melepaskan orang yang dicinta bahagia dengan yang lain."

Mencoba menahan tangis, Laiba memukul-mukul dada pelan menghalau rasa sesak yang mengimpit. Tak ingin ketahuan menangis karena matanya yang sembab, perlahan gadis itu bangkit memenuhi panggilan sang ibu.

Endang memeluk sang putri erat. "Lepaskanlah! Ibu mengerti sedari kemarin kamu menahan tangis. Menangis bukan berarti lemah, tangis merupakan sebuah emosi yang perlu dilepas dalam keadaan tertentu."

"Bu ...."

Kata-katanya habis, giliran air mata yang berbicara. Kesakitan yang dirasakannya tidak akan mampu dirasa oleh orang lain, tak terkecuali Endang-ibunya.

Semua dimulai dari kisah manis saat masa kecil, kemudian dikecewakan. Laiba membenci, saat berusaha membuka hati, ia terlambat.

Ingin menghentikan waktu, menata ulang kejadian agar seperti inginnya.

Laiba tidak mungkin berharap menjadi istri kedua Arashya, bukan? Pernikahan itu sakral, dan Arashya pasti sudah memikirkannya matang-matang.

"Tabah, Nduk. Kamu bisa istirahat dan boleh tidak mengikuti resepsi."

Laiba menggeleng lemah. Mengusap mata dengan jari-jari yang lentik. Ia menghadap atas sembari berusaha menguatkan hati. Kemudian, satu tangannya meraih tangan Endang berusaha meyakinkan. "Ayo, Bu!"

Saat Laiba datang, rumah sudah ramai. Kedua pengantin dan orang tuanya telah duduk di pelaminan, ada sebuah hiburan berupa tarian berdurasi 10 menit. Dua atau tiga tarian tersebut seperti tari Gambyong dan tarian Karon Sih.

Barulah setelah selesai, Ustaz Akbar sebagai wakil keluarga memberikan sambutan. Mengucapkan terima kasih dan permohonan doa restu atas pernikahan putrinya.

Laiba memilih tempat paling pojok, bersama Farikha, gadis itu mulai menyantap makanan bersama-sama.

"Suapin, dong!" seru seseorang. Seluruh yang hadir bersorak-sorai sambil bertepuk tangan. Shafa tersenyum malu-malu dan Arashya menatap datar. Tanpa lama, lelaki itu menyuapkan nasi ke mulut sang istri.

Laiba menurunkan tangan. Nasi tidak jadi masuk. Ia hilang selera.

"Masih kuat?" bisik Farikha. Hingga selesai acara, gadis itu terus memperhatikan sahabatnya yang menatap penuh luka. Gadis itu tahu, tetapi mungkin hal itu yang nantinya menjadikan Laiba sadar dan mampu mengambil pelajaran.

"Kalau cinta katakan cinta, jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama!" pesan Farikha sembari berlalu.

***

"Jangan khawatir jika doamu ditolak. Khawatirlah jika kamu tidak bisa lagi berdoa."


Bersambung.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca :)

Salam Sayang
Author Amatir

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang