2. Deskripsi Perasaan

249 17 0
                                    

Gemercik air sungai mampu membuat Laiba tersenyum. Laiba berhasil melewati sungai kecil yang menjadi jalannya menuju sawah sang ustaz.

Melewati petakan sawah berukuran 25 sentimeter membuatnya harus berhati-hati karena licin. Meleset sedikit saja. Maka, jatuhlah dia ke lahan yang ditanami padi.

Laiba menurunkan gendongan. Menata lauk-pauk untuk para petani yang sedang menanam padi di sawah sang ustaz. Gadis itu menoleh, terkikik geli melihat Arashya kesusahan melewati galangan karena menggendong nasi dalam wadah yang besar.

“Lemah. Baru segitu saja sudah ngos-ngosan.”

Arashya melebarkan mata. Gadis yang berjalan ke arah lahan untuk memberitahu makanan sudah siap itu tidak tahu perjuangannya menggendong nasi yang masih mengepul. Punggungnya kepanasan. Jalan dari rumah ke sawah tidaklah dekat.

“Omong-omong, Mbak Laiba sama Kang Rashya ini cocok, loh, Bu Fatma.”

Bu Fatma tak memberikan respons. Hanya melirik putranya yang sudah berjalan menjauh dari gubuk untuk mencarikan rumput bagi puluhan kambing milik sang ustaz. Tak hanya Arashya, ada beberapa santri yang juga turut menyumbangkan tenaga untuk membantu. Mulai dari membuat galangan, mencari rumput untuk makan kambing, mencangkul agar menghasilkan lahan yang baru, dan ... hal itu dilakukan hampir setiap hari.

“Tawuran kemarin disebabkan dendam antar pemuda dari desa sebelah. Sebalnya, mereka melakukannya di desa kita.”

“Lah mending, Bu. Jenengan rumahnya enggak kena. Saya ini loh, rugi. Kaca jendela pecah.”

Kerusuhan akibat kejadian tawuran kemarin malam rupanya tidak membuat warga berhenti melakukan aktivitas.

Ratusan pelaku aksi tidak terpuji itu sudah ditangani oleh pihak berwenang. Ada beberapa yang ditahan di balik jeruji besi, ada yang masuk rumah sakit, dan ada beberapa di antaranya yang meninggal dunia.

***

Arashya baru saja selesai melaksanakan salat Zuhur di sawah, dengan beralaskan batu dan juga satu sarung bersih yang dipakai sampai batas dada.

Sambil melangkah, Arashya tersenyum jail. Berjalan mengendap-endap sembari mengedarkan pandang. Ketika dirasa suasana cukup aman, ia bergerak lebih cepat mendekati gadis yang duduk membelakanginya di sebuah batu besar.

Laiba mendekap lutut, gadis itu terlihat tak berkutik. Dari belakang, Arashya mendorong bahunya dan berteriak, “Woi!”

***

“Loh, ini Mbak Laiba kotor kenapa?”

Laiba menunjuk Arashya dengan satu tangan yang bebas dari sandal. Matanya memerah. Lengan yang terkena lumpur itu beberapa kali mencoba mengusap wajahnya.

“Dia usil banget, si, Bu. Orang Laiba lagi tidur, kok, didorong sampai jatuh ke lahan kosong itu!”

Laiba menangis. Segera melangkah ke gubuk dan mengambil peralatan makan untuk dibawanya pulang.

“Kang Rashya terus saja begitu, dari dulu suka jailin aku. Dikira aku ini mainan apa! Bener-bener enggak punya perasaan!”

Laiba terus mendumel sepanjang jalan. Tak disadari, Arashya berjalan cepat agar bisa menyeimbangi langkahnya.

“Kamu belum salat, tadi maksudnya biar kamu enggak melam—“

“Saya tidur, Kang, bukan melamun! Saya sedang haid, enggak salat. Paham, enggak, sih?!”

Laiba berteriak kencang. Muda-mudi itu menjadi sorotan orang-orang yang rumahnya di pinggir jalan. Persis seperti pasangan yang tengah bertengkar, Arashya terus saja mengejar Laiba yang berjalan sembari mengerucutkan bibir.

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang