17. Feeda : Dilema

4 1 0
                                    

Memilihmu mungkin keputusan paling mengerikan yang hendak aku buat. Sulit sedikit. Karena pada nyatanya hatiku masih milik cerita yang lalu.
-Feeda

🌻🌻🌻🌻🌻

Feeda memeluk lututnya. Mengunyah cokelat pemberian Faraz. Tidak terasa sudah hampir lima bungkus. Ia menitikan banyak air mata, seirama dengan bunyi hujan diluar sana.

Jatuh cinta memang kadang rumit. Kita diharuskan membuat keputusan yang mungkin berat dan sulit. Terlebih saat kita jatuh cinta pada seseorang baru yang sama sekali tidak kita kenal, atau jatuh cinta pada tokoh di bab yang baru tapi hati masih tertinggal dilembaran bab sebelumnya.

"Tunggu memangnya aku sudah jatuh cinta sama Faraz?"  Tanya Feeda didepan cermin kamarnya.

Feeda mengulang kembali memorinya bagaimana bahagianya ia mendapat kado ulang tahun pertamanya dari seseorang yang bukan Aki dan Nini. Setelah enam bulan berlalu Feeda seperti menemukan jawaban atas penantiannya. Feeda dengan ekspresi bahagia membuka kado dari pak Pos berseragam oranye.

Kado itu dilapis lima. Sama seperti tanggal lahirnya. Isinya sudah bisa Feeda duga. Buku. Soreka suka sekali menulis. Jadi tentu saja ia akan membuatkan hadiah buku yang ia tulis sendiri untuk Feeda. Baru membaca judulnya saja Feeda sudah senyam-senyum tak keruan. Buku notes kecil itu bertajuk, "Feeda si Gadis Kecilku"

Isi buku itu adalah foto-foto Feeda yang Soreka ambil diam-diam. Seperti mabuk kepayang, Feeda tidak ada henti-hentinya tersenyum membaca lembaran demi lembaran yang soreka tuliskan. Banyak kalimat manis tertulis disana. Tapi yang membuat hatinya patah berkeping-keling adalah paragraf penutup dihalaman terakhir buku itu :

"Gadis Kecil, Jika memilikimu seperti mendaki gunung. Tunggu saja aku dipuncak ya. Aku akan menyusulmu dari belakang. Tapi, jikalau kamu memenemukan seseorang yang mungkin lebih pantas untukmu ketimbang aku. Tolong jangan pernah hiraukan aku lagi. Aku menyayangimu dengan cara melepasmu, karena aku tahu dengan begitu kamu akan punya petualangan baru yang jauh lebih menyenangkan ketimbang menunggu aku yang mungkin tidak akan pernah kembali."

Dada Feeda remuk detik itu juga. Ia memeluk dadanya sendiri. Meredakan perasaan sakit didalam hatinya. Kini luka itu kembali ia rasakan. Sejak tadi melihat Soreka dengan gaya busana, gaya bicara, bahkan wangi parfumnya yang ternyata belum berubah sama sekali.

"Tuhan kenapa harus Soreka?"

"Seharusnya tidak pernah ada Soreka dalam hidupku... hiks...." Feeda menangis sesegukan ditepi jendela, masih belum beringsut sedikitpun.

Feeda berniat mencuci wajahnya diwestafel karena matanya terasa bengkak dan pandangan semakin buram. Ia berjalan gontai menuju kamar mandi. membasuh wajahnya dan tiba-tiba darah segar mengalir dari hidungnya yang dari tadi sesengukan.

Setelah itu gelap. Feeda tidak melihat apapun lagi.

🌻

Faraz memarkirkan mobilnya diparkiran salah satu rumah sakit besar daerah Dramaga. Ia berjalan menuju meja resepsionis. Dengan tenang bertanya kamar pasien atas nama Feeda Irtiza.

"Tuhan kalau memang ini salah saya. Beri saya kesempatan untuk tetap menjaga dan merawat Feeda." lirik Faraz dalam hati, ia merasa kalau alergi Feeda kambuh itu adalah salahnya.

"Faraz," nenek berdiri menyambut Faraz.

"Nenek. Feeda gimana?"

"Tadi sempat di ICU. Darah rendahnya kumat. Feeda kalau terlalu capek dan banyak pikiran memang sering begitu."

"Alerginya kambuh?"

"Ya, terlalu banyak makan cokelat kayaknya dia."

"Maaf yah nek, cokelat itu dari saya." akhirnya Faraz mengaku. Melihat Feeda diinfus rasanya Faraz seperti menyakiti dirinya sendiri.

"Tidak apa-apa. Dia bisa begitu memang. Kadang kalau lagi banyak fikiran bisa makan ice cream atau beli boba ice yang banyak."

"Jadi ...."

"Dokter disini sudah Hafal. Kalau Feeda memang seperti itu. Tapi sekarang keadaanya sudah stabil. Nini sama Aki mau pulang sebentar ya. Ambil baju salin buat Feeda. Bisa tolong titip Feeda sebentar?"

"Iya siap Nini."

🌻

"Lo ngapain disini?" ucap Feeda saat melihat Faraz disampingnya

"Feeda kamu udah bangun?"

"Gue mau sendirian." Feeda kembali bersikap seperti nol lagi pada Faraz. Bersikap dingin dan acuh tak acuh.

"Kamu marah sama saya?"

Sebenarnya dibilang marah ya tidak juga. Feeda hanya malu terlihat lemah dihadapan Faraz. Dirinya tidak ingin dikasihani oleh seseorang seperti Faraz. Tapi tidak mungkin Feeda jawab yang sesungguhnya. Jadi Feeda memilih diam dan memalingkan wajah.

"Nenek dan Aki minta saya disini sampai mereka kembali bawa baju salinan buat kamu."

Feeda tetap bungkam sejuta bahasa.

"Baik kalau kamu ingin sendiri. Saya pergi."

Feeda mulai melirik kearah Faraz, "Yaudah gapapa lo disini aja."

"Baik tuan putri." Faraz berbalik sambil mengangkat bibir sumringah.

"Gue tau pasti lo illfeel liat gue lemah dirawat gini,"

"Siapa bilang?" Tanya Faraz tersenyum sambil duduk dikursi samping infusan.

Feeda hanya mengangkat bahu.

"Kan sudah dibilang, cokelatnya jangan dimakan. Kenapa tetap dimakan?"

"Gue butuh yang manis, buat pahitnya kenyataan," ucap Feeda sinis. Pandangannya sendu kearah jendela.

"Loh kenapa kamu gak bilang ke saya kalau kamu butuh yang manis."

Feeda mengangkat sebelah alisnya, seolah mengatakan, 'Maksudnya apa?'

"Ya kalau kamu bilang, saya kan bisa buru-buru datang ke Bogor. Secara saya kan manis." Faraz bergaya sok manis didepan Feeda dan membuat Feeda tersenyum namun ditahannya.

"Kalau mau tersenyum gapapa Tuan Putri. Jangan ditahan."

"Baru liat, dokter tapi konyol."

"Demi kamu Feeda. Semua pasti bisa saya lakukan."

"Itu letak kesalahan terbesarnya. Kamu berjuang untuk aku yang sama sekali gak suka diperjuangkan."

"Itu bukan kesalahan, Feeda. Itu sudah menjadi pilihanku. Dalam hal menyayangimu akan aku tanggung semua resiko terberatnya."

🌻

Faraz duduk membenahi letak bunga agar letaknya bersusunan. sembari sesekali menatap Feeda yang terlelap dengan ponsel yang masih menyala digenggaman tangan kirinya.

Ponsel itu bertuliskan beberapa pesan dari nomor tidak dikenal. Faraz tidak berniat membacanya karena ia merasa itu bukanlah haknya. Tapi sedetik kemudian panggilan masuk dari nomor itu, buru-buru Faraz mengangkatnya dan membawa ponsel itu dari dekat Feeda. Khawatir tidurnya yang lelap itu terganggu oleh suara ponsel.

Faraz menggeser tombol hijau dan terdengar suara lelaki yang serak diseberang sana. Suara khas laki-laki yang perokok berat. Ia dengan nada lembut mengatakan,
"Feeda beri aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan bahwa aku ini serius."

Faraz mencoba mencerna apa yang laki-laki ini cerna. Lalu ia menyambung lagi,
"Kalau harus dengan bertekuk lutut dihadapanmu agar kamu kembali padaku, Aku akan lakukan hari ini juga Feeda. Mohon jangan diamkan aku seperti ini."

Faraz yang bingung hendak mengatakan apa hanya terdiam dan terus bungkam. Faraz ingin laki-laki ini bicara lebih rinci tentang masalahnya dengan Feeda yang sepertinya begitu intim.

"Aku menyusulmu. Tunggu aku ya, Gadis kecil."

Telepon terputus.

🌻🌻🌻🌻🌻

FARAZ & FEEDAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt