Chapter 1 : Ketika Agustus Dimulai

Start from the beginning
                                    

"Mungkin dia bosen jadi sultan." celetuk Ari, asal.

Lagi-lagi Romlah membalasnya dengan keplak. "Elu makanya nonton tipi, ri. Emang ntar rumah kita bakal dibedah dah! Kaga tau-tauan elu!"

Ari menghela nafas, nyerah dia bikin Enyaknya paham. Setelah Romlah kembali masuk, mata Ari tak berpaling dari api yang bergejolak mengikuti arah angin. "Dia mau menyuarakan harapan kita, nyak. Dia bersedia berdiri bersama orang-orang bawah untuk kepentingan masyarakat." bisik Ari.

"Kenapa elo mau tinggal dirumah gua? Keliatan banget emang muka susah gue?"

"Bukan begitu alasanku." Andaru menahan Ari yang emosinya cukup tersulut.

Pasti bagi anak itu, dia meremehkan dan merendahkan keluarga Ari. Padahal, tak sama sekali. Andaru dibuat penasaran oleh Ari setelah remaja itu menolongnya dari korban pencurian.

Ego Ari tersentil setelah Andaru bilang ingin tinggal bersama rakyat miskin.

"Gua nggak mau lu tinggal di keluarga gua. Elo sendiri yang bilang kan, gua itu kaum miskin. Ngasih makan ke Enyak dan adek-adek gua aja setengah mampus. Apalagi nambah beban kayak lo! Cari aja yang lain."

"Ari, aku sungguh tidak bermaksud merendahkanmu. Aku akan berusaha tidak menyusahkan kalian. Aku hanya ingin melihat keseharian kalian, belajar dari kalian dan––"

"Mendokumentasikan kami layaknya kami orang-orang bodoh?" sela Ari, membuat Andaru tercekat seketika.

Kata 'mendokumentasikan' yang keluar dari mulut Ari cukup menyentil hatinya. Andaru kehilangan kata-katanya, dia bungkam oleh serangan seseorang yang pendidikannya saja tidak tinggi.

Tapi entah mengapa, kalimat Ari bagai racun diksi diotaknya. Jelas, benar dan sakit. Kekaguman Andaru semakin menjadi-jadi. Dia yakin, orang seperti Ari ini bisa mengerti jalan pikirannya.

"Aku butuh bantuanmu, nestapa Jauhari." ungkap Andaru, serius. "Aku memilih jalan ini, karena aku tak bisa hanya mengandalkan modal ocehanku membela kalian. Aku harus merasakan apa yang kalian rasakan. Kelaparan, kehausan, kepanasan, kedinginan, kekurangan dan serba susah. Aku ingin memperjuangkan hak-hak kalian dan melihat kalian langsung dengan mataku sendiri."

"Kalian?" sepasang mata Ari membidik Andaru tajam. "Elo terlalu halus menyebut kami begitu. Bilang aja terang-terangan. Kaum miskin! Kaum yang nggak punya apa-apa!"

"Ya, kalian miskin." Andaru menyahut tegas. "Dan kalian tak terlihat." sambungnya. "Aku disini untuk kalian, untuk mendengungkan penderitaan kalian!" tekadnya sama seperti Ari.

Sementara Ari marah karena menurutnya Andaru memandang rendah orang-orang bawah, Andaru malah merasa Ari terlalu gengsi untuk mengaku penderitaannya.

"Elo cuma kasihan, andaru. Atau, elo mau nyalonin diri jadi Presiden, iya?"

Andaru mengepalkan tangannya. "Aku memang ingin menjadi pemimpin negeri. Tapi, apalah daya jika aku memang menjadi orang nomor satu negeri, namun rakyatku tak menghendaki?" Andaru menghela nafas.

"Karena memang sejatinya pemimpin negeri itu rakyat! Dari rakyat untuk rakyat. Bukan dari rakyat untuk pejabat!" Ari membalas tandas. "Tapi kebanyakan mereka yang duduk mengatasnamakan rakyat lupa hal sepenting itu. Mereka lupa daratan ketika bertemu uang!"

"Karena itulah, tolong aku. Bantu aku menyuarakan suara-suara mereka yang membutuhkan! Keadilan harus merata si tanah Nusantara! Aku tidak bisa melakukannya sendiri, ari. Aku butuh orang-orang sepertimu."

Kemiskinan Yang Tak TerlihatWhere stories live. Discover now