Bab 12 Balasan

3 3 0
                                    

Setelah orang suruhan tersebut diinterogasi di kantor polisi, ia dilepaskan. Al masih merasa sebal telah dibodohi oleh pelaku tersebut, tetapi ia bersyukur tadi sempat menyelamatkan Anna di parkiran. Sampai rumah Anna, Al masih belum mengobati lukanya, ia hanya menutupinya dengan jaket agar tak terlihat mencolok. Selama pelaku masih belum tertangkap, Al akan tetap tinggal di rumah Anna untuk menjaga gadis itu.
Al sedang berada di kamar tamu lantai satu rumah Anna, ia mengobati luka yang ada di lengan kanannya sendiri. Meski menurutnya lukanya tidak terlalu parah, tetapi bila tidak dirawat akan bertambah parah. Entah mengapa Al merasa setelah rencananya ini gagal akan lebih banyak bahaya yang akan menimpa Anna. Andai tadi ia terus berlari mengejar pasti pelaku itu tak ada kesempatan bertukar tempat dengan orang suruhan itu.
“Al,” panggil Anna dari luar kamar.
Al langsung melilitkan perbannya asal, kemudian memakai jaketnya kembali agar lukanya tidak terlihat, tak lupa ia juga menyingkirkan obat merah, alkohol, dan kapas dari atas ranjangnya. Dengan santai Al membuka pintu, nampaklah Anna yang menatapnya tajam dengan kotak P3K di tangannya. Tiba-tiba saja gadis itu mendorong dada Al hingga membuat lelaki itu terduduk kembali di atas ranjang.
“Ada apa?” Al bingung.
“Buka baju.” Anna berkata dengan tegas.
“Eh?” Al mengedipkan matanya cepat, ia memegangi jaketnya erat-erat.
“Buka, Al.” Anna berkacak pinggang.
“Kamu kok mesum?” Al tertawa garing.
“Kata Aksa kamu terluka, biar kuobati.” Anna mulai sebal dengan tingkah Al.
“Bukannya Aksa bersama kamu terus?” Al sekarang tak lagi memegangi jaketnya.
“Iya, memang. Tapi, tadi Aksa bilang kamu bau darah katanya.” Anna duduk di samping Al.
Al mengalah, ia membuka jaketnya. Perban yang tadi ia lilitkan asal kini sama sekali tak berfungsi sebagaimana mestinya. Anna yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala, sementara Al hanya nyengir.
“Luka kamu parah juga. Apa tidak sakit?” Anna mulai mengobati luka Al.
Al hanya menggeleng, tentu ia tak akan menjawab iya di depan Anna kalau masalah luka. Lagipula, Al sudah biasa terluka saat kecil, jadi ia sudah terbiasa dengan luka semacam ini. Suasana hening, Anna sibuk mengobati luka, Al sibuk menahan perih. Setelah Anna melekatkan ujung perban dengan plester, Al bisa bernapas lega. Anna mengobati Al dengan kasar karena gemas lelaki itu nampak biasa saja dengan lukanya, tetapi Anna tak mendapat hasil ekspresi rasa sakit dari Al.
“Anna, maaf aku gagal.” Al menyesal.
Anna hanya melihat Al dari ekor matanya, gadis itu tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. “Tidak masalah, yang penting kamu tidak apa-apa.”
“Tapi, setelah ini mungkin akan lebih banyak bahaya yang mengincar kamu.” Al muram. “Tolong jangan jauh-jauh dariku, ya?” Ia menatap Anna serius.
Anna hanya bisa mengangguk, Al barusan seperti sedang mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung. Pipi Anna mulai terasa menghangat dan jantungnya berdebar-debar. Gadis itu sadar, semakin hari perasaannya kepada Al semakin besar, tetapi meski begitu ia masih tetap mencintai Aksa. Bila ia menjawab pertanyaan Al saat itu, ia akan merasa membohongi Al kalau masih ada Aksa di dalam hatinya. Namun, Anna tidak bisa melupakan Aksa.
-o-
Anna sedang menikmati kue kering sebagai pengganjal perut sampai makan malam nanti, Al sedang memandangi tempat Anna dulu bermain biola di luar tokonya dengan menyangga dagu. Lelaki itu tersenyum samar, tetapi terkesan hangat dan manis. Meski tak ada Anna di luar toko, Al selalu melihat Anna yang bermain biola di tempat itu, di dalam kepalanya kini kembali terputar melodi yang dimainkan Anna dulu. Sinar matahari sore yang masuk menerpa wajah Al, manik matanya yang kelabu terlihat indah diterpa sinar matahari yang jingga, dan rambutnya menjadi kecokelatan.
Anna berhenti memakan kue keringnya saat matanya tak sengaja menatap Al yang duduk di depannya. Al nampak tampan dan manis. Anna mengikuti arah pandangan Al, ternyata tempat itu. Gadis itu sudah ingat sebagian tentang pertemuan pertamanya dengan Al, ia ingin kembali mengingat lanjutan dari ingatan itu, tetapi sampai sekarang ia masih belum bisa mengingatnya meski sudah mencoba. Anna kembali menatap Al, senyuman lelaki itu indah, hampir sama dengan senyuman Aksa. Perlahan kedua ujung bibir Anna juga ikut terangkat untuk tersenyum, meski Anna hanya tersiram sinar jingga matahari sore sedikit karena terhalangi oleh tulisan di kaca, gadis itu juga nampak indah dengan diterpa sinar jingga matahari sore. Beberapa bagian rambutnya berwarna kecokelatan, dan sebelah mata kanannya begitu berkilau dengan warna cokelat terangnya. Ulasan senyumnya pun makin indah dan berwarna karena bibirnya juga tersiram sinar matahari sore.
Dalam diam, Anna dan Al saling memandang satu sama lain. Keduanya merasakan perasaan yang hangat dan detakan jantung mereka yang kencang pun seirama. Di sisi gelap toko roti yang tak terkena sinar matahari sore, Aksa memandang Anna dan Al sambil tersenyum—sebuah senyum penuh makna.
“Anna, seharusnya kamu menjawab perasaan Al, Al tidak akan merasa dibohongi. Sebab, Al ingin aku tetap berada di dalam hatimu.”
Anna kembali teringat akan ucapan Aksa sebelum ia dan Al berangkat menuju toko tadi pagi setelah ia bercerita tentang apa yang ia rasakan terhadap Al kepada Aksa. Gadis itu berpikir sejenak mungkin inilah saatnya ia menjawab pertanyaan Al waktu itu. Anna masih terpaku menatap Al, lelaki itu terlalu baik untuk Anna yang sekarang—Anna yang kosong.
“Al,” panggil Anna, tetapi lelaki itu tak bergeming, ia tetap asyik dengan dunia yang ia bayangkan. Anna terkekeh melihatnya. “Tak masalah, aku hanya ingin mengatakannya saja. Al, maukah kamu menunggu lebih lama lagi untuk mendengar jawabanku? Aku akan menjawabnya setelah konser terakhirku untuk membenahi tentang pandangan terhadapku, konser yang akan kugelar sebagai comeback dan pensiun sekaligus. Konser setelah semua ini selesai.” Tatapan Anna berubah menjadi sendu.
Al tiba-tiba saja menoleh dengan masih bersangga dagu. “Tentu. Aku akan menunggumu, Anna.” Ternyata lelaki itu mendengarkan Anna. Ia senang mendengar permintaan Anna tadi, sungguh berbeda dari Anna yang mendengar Al menyatakan perasaannya pertama kali. Dari nada suara gadis itu, Anna kali ini lebih bersungguh-sungguh dan penuh dengan tekad. Al merasa gadis itu sedang berjuang demi dirinya, demi menjawab sebuah pertanyaan yang singkat namun berharga untuk Al.
-o-
Sepulang dari toko roti, Anna dan Al tak langsung pulang. Al mengajak gadis itu untuk pergi membeli beberapa bahan makanan terlebih dulu di sebuah swalayan yang searah menuju rumah Anna. Gadis itu tertidur di dalam mobil, jadi Al masuk ke swalayan sendirian.
Seorang anak kecil datang menghampiri Anna yang tertidur di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan, dengan berdiri di terotoar yang agak tinggi ia mengetuk jendela mobil. Anna mulai terusik dari tidurnya, ia perlahan membuka kelopak matanya, diliriknya anak kecil tersebut sejenak, lalu Anna membuka kaca jendelanya.
“Ada apa, Dik?” tanya Anna sambil tersenyum yang samar.
“Boleh minta tolong sesuatu, Kak?” tanya anak kecil tersebut.
Anna mengumpulkan nyawanya sejenak, ia keluar dari mobil. “Ya, apa?” Ia membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan anak kecil tersebut.
“Tolong seberangkan aku,” pintanya.
“Di mana orang tuamu?” Anna bertanya halus.
“Ibu sedang belanja, aku ingin beli mainan itu dengan uang tabungan, kalau ketahuan pasti ibu melarang, karena ingin aku berhemat.” Ia menunjuk ke seberang jalan yang terhalangi mobil Al.
Anna menegakkan badannya, ia melihat ke seberang jalan, ada seorang penjual aneka mainan anak-anak di sana. Gadis itu akhirnya mau mengantar anak laki-laki itu untuk membeli mainan, Anna senang bisa membantu orang lain, jadi ia sama sekali tidak merasa keberatan. Anna menggandeng tangan anak tersebut, mereka berdiri di atas zebra cross. Jalanan saat itu memang ramai, Anna menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan keamanan. Setelah merasa aman dengan jarak mobil yang rata-rata masih jauh dari mereka, Anna berjalan bersama anak kecil tersebut.
“Anna!” Al yang baru saja keluar dari swalayan langsung menjatuhkan barang yang dibelinya lalu berlari ke arah Anna dan anak kecil yang sedang menyeberangi jalan.
Sebuah mobil sedang melaju dengan kecepatan penuh ke arah Anna tanpa mengklakson, jantung Al rasanya mau lepas sekarang juga melihat Anna dalam bahaya. Ia berlari secepat mungkin untuk menyelamatkan orang yang sedang dalam bahaya. Setelah teriakan Al, mobil yang hendak menabrak Anna dan anak kecil itu membunyikan mengklakson. Sebelum ujung mobil menyentuh Anna, Al sudah terlebih dulu menarik pakaian Anna dan anak kecil tersebut hingga mereka bertiga terjungkal ke belakang.
“Kalian tidak apa-apa?” Napas Al tersengal.
Anna nampak syok, ia masih memandangi mobil yang melaju kencang melewati mereka tadi, ia lalu memandangi anak kecil yang nampak ketakutan. Baik Anna maupun anak kecil itu sama sekali tak ada yang menjawab, mereka berdua masih gemetar dan membisu. Al hanya bisa menghela napas, ia lega sempat menyelamatkan dua orang tua tersebut. Lelaki itu ingat betul mobil tadi, memang sedari tadi mereka pulang dari toko roti mobil itu selalu di belakang mobil Al, tadinya Al masih beranggapan baik kalau mobil itu juga hendak ke swalayan, tetapi setelah melihat kecelakaan yang hampir menimpa Anna tadi, mobil itu sebenarnya mengikuti mereka, terlebih lagi kecepatan mobil tadi memang disengaja, terlihat jelas dari pengemudi yang tidak mengklakson ataupun mengurangi kecepatan saat ada orang menyeberang.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Al setelah mereka bertiga duduk di terotoar depan mobil Al terparkir.
Anna menggeleng dan anak kecil itu pun juga. Al sekarang benar-benar lega, ia pun memungut belanjaannya yang tadi ia jatuhkan lalu memasukkannya ke mobil. Al memandang sekitar, ia sedang mempertanyakan Aksa ada di mana sekarang ini. Sebenarnya Al tidak ingin selalu mengandalkan Aksa karena temannya itu memiliki resiko untuk melakukan hal-hal yang lebih.
“Reno,” panggil seorang wanita berbadan gemuk.
Anak kecil tersebut segera berdiri. “Kak, aku minta maaf. Karena membantuku kakak berada dalam bahaya,” ucapnya.  
Anna hanya tersenyum kecil sambil mengusap puncak kepala Reno pelan. Reno pun menghampiri ibunya yang sudah selesai belanja. Al segera menyuruh Anna masuk ke dalam mobil, sementara ia akan menemui Ibu Reno terlebih dulu, ia meminta wanita itu untuk berhati-hati menjaga Reno agar anak itu tidak berkeliaran sendirian.
“Oh, tadi Reno bilang ingin beli permen di situ.” Ibu itu menunjuk bagian dalam swalayan bagian depan, memang benar ada permen di sana. “Kamu bohong, ya?” Ia menatap Reno marah.
Reno hanya mengangguk pelan. “Maaf.”
Al membungkukkan badannya untuk menyetarakan tinggi. “Lain kali jangan berbohong, ya? Jujur saja, pasti ibumu akan menemanimu dan mencoba mengerti dirimu.” Ia tersenyum.
Reno pun ikut tersenyum lalu mengguk semangat. Al segera pamit kepada Ibu Reno lalu kembali ke dalam mobil. Ia melirik Anna sejenak, gadis itu terlihat masih belum bisa berbicara banyak. Al ingin bertanya di mana Aksa sekarang ini, nampaknya masih belum pas untuk bertanya sekarang.
-o-
Sepanjang Al memasak untuk makan malam, ia tak fokus sama sekali. Ia selalu mengalihkan pandangannya kepada Anna yang sedang duduk di kursi meja makan. Al masih belum berani bertanya kepada Anna, gadis itu tidak terlihat mood untuk berbicara. Tetapi, bila diam terus seperti ini, Al akan merasa gelisah sendiri.
“Al,” panggil Anna masih sambil memandangi meja yang dilapisi kaca bening.
Al menghentikan aktivitas masaknya lalu ia duduk di dekat Anna. “Ada apa?”
“Bisa buatkan aku kue kering?” Anna bertanya masih dengan posisi yang sama.
Al mengangkat sebelah alisnya, ia tak menyangka kalau Anna akan bertanya seperti itu. “Baiklah,” jawabnya. “Anna, Aksa di mana?” inilah yang ingin ia tanyakan.
Anna baru teringat sekarang, terakhir ia bertemu dengan Aksa adalah saat sebelum berangkat ke toko roti. Gadis itu melihat ke sekeliling, tetapi tak mendapati keberadaan Aska. “Aksa,” panggil Anna.
“Kamu mencariku?” Aksa duduk di samping sisi lain Anna.
“Aksa duduk di situ, Al.” Anna menunjuk ke kursi sampingnya.
“Kemana saja, Sa?” Al sedikit kesal.
“Tadi aku berada di mobil yang mengikuti kalian. Maaf, seharusnya aku melakukan sesuatu, tapi saat itu Al sudah muncul, jadi aku percaya kepadanya. Aku berpikir akan bertindak bila memang Al tak sempat menarik Anna dan anak kecil itu,” jawaban Aksa lalu disampaikan oleh Anna kepada Al, gadis itu akan jadi mediator mereka.
Al tak bisa menyalahkan Aksa juga, ia tahu ada batasan dan resiko untuk Aksa yang hanya arwah sekarang ini. “Apa kamu tadi melihat wajah pelakunya?”
“Orang itu menyamar lagi menjadi perempuan bernama Rani.” Aksa nampak sedikit sebal tentang identitas asli pelaku itu yang selalu menyamar.
“Perempuan?” Al kembali teringat pengejarannya yang gagal, saat itu pelaku tak menyamarkan identitas jenisnya, tetapi menyamarkan wajahnya. “Pelaku itu memang pintar menyamar.”
“Al, kue kering.” Anna memotong percakapan kedua lelaki itu.
“Oh, tunggu sebentar, ya?” Al langsung kembali untuk memasak dan membuat kue kering untuk Anna, seharusnya ia tadi membawa pulang beberapa dari toko, tetapi sudah terlanjur di rumah, sudahlah.
-o-
Malam harinya Anna tak bisa tidur, ia sudah mencoba berbagai posisi agar bisa tertidur, tetapi tetap saja ia tak bisa berlayar ke lautan mimpi. Ia tak lagi takut ataupun terguncang akan kecelakaan yang hendak menimpanya tadi, yang ada di pikirannya sekarang adalah Al. Lelaki itu sungguh-sungguh melindunginya, dan begitu hangat kepada Anna meski dirinya sekarang tak mengingat apa-apa. Anna ingin segera mendapatkan kembali ingatannya sebelum semua ini selesai, sebelum konser yang ingin ia gelar akan berlangsung, ia ingin menjawab pertanyaan Al dengan dirinya yang utuh.
“Anna,” panggil Aksa yang duduk di sofa dekat jendela. “Ada masalah?”
Anna merubah posisi menjadi duduk sambil bersandar pada bantal yang ia tumpuk. “Aku ingin segera bisa kembali mengingat semuanya lagi,” ucap Anna muram.
“Kenapa?”
“Aku ingin menjadi utuh kembali untuk menjawab pertanyaan Al,” jawabnya tanpa menatap Aksa di dalam temaram kamarnya.
Aksa tersenyum mendengarnya, perasaan gadis itu kini Aksa tahu siapa yang mengisinya, ada Al di sana, ada pula dirinya di sana. “Kurasa Al tidak akan mempermasalahkan tentang ingatanmu, toh sebuah kenangan bisa dibuat lagi.” Hatinya terasa teriris mengatakan hal ini, ini sama saja mengatakan kepada Anna tak apa melupakan tentangnya dan membuat kenangan baru dengan Al.
“Tapi, aku juga ingin mengingat kenangan tentang kita berdua, tanpa kenangan itu aku juga tak akan utuh.” Anna merasa menjadi gadis yang serakah sekarang ini, menginginkan dua hati sekaligus.
Aksa terharu mendengar ucapan Anna. Aksa sadar, sekarang Al sudah memenuhi janjinya kepada dirinya untuk merajai hati Anna, meski hasilnya tidak seutuhnya merajai, tetapi ini adalah keinginan Al, dan Aksa sangat menghargainya. Mungkin Anna ditakdirkan bertemu dengannya agar bisa bertemu dengan Al, Aksa merasa bersyukur bisa terlibat di dalam takdir mereka berdua, ia bersyukur bertemu dengan Al dan Anna dalam hidupnya yang singkat.
“Anna, kuberi tahu suatu hal, aku ingin menceritakannya lebih rinci.” Aksa berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Anna, “Dulu, sebelum aku meninggal, Al mengungkapkan perasaannya untukmu kepadaku. Ia mengutarakannya karena tak ingin menusukku dari belakang, Al juga menceritakan bagaimana ia bisa jatuh cinta denganmu, sebenarnya aku tahu versi lengkap pertemuanmu dengan Al pertama kali, tapi aku tak ingin menceritakannya karena Al juga tak menceritakan lengkapnya kepadamu, Al ingin kamu mengingatnya sendiri tentang kenangan yang berharga bagi Al itu. Aku memang sedikit terganggu tentang perasaan Al, tapi aku sadar kalau aku akan pergi. Lalu Al pun membuat janji kepadaku untuk merajai hatimu.”
Anna mendengarkan dengan seksama cerita dari Aksa, kini kekasihnya itu duduk di tepi ranjang, memunggunginya. Gadis itu menunggu kelanjutan cerita Aksa dengan sabar, sepertinya Aksa masih mencoba menyusun kata-kata yang tepat agar sesuai.
“Tapi, kamu tahu apa yang dikatakan Al setelah ia mulai memasuki hatimu?” Aksa memandang ke arah luar jendela, ada langit berbintang yang sedikit berawan di sana, tetapi tetap terlihat indah. “Ia bilang ingin aku tetap juga berada di dalam hatimu, Al ingin kamu tidak melupakanku, biarlah aku tersimpan rapat di dalam hatimu. Aku sampai menangis mendengarnya.” Aksa terkekeh mengingat kenangannya bersama Al malam itu.
“Iya, kini aku tahu Al ingin kamu tetap berada di hatiku.” Anna tertawa kecil.
“Terima kasih, masih memberi ruang untukku di dalam hati dan ingatanmu sehingga aku tidak benar-benar mati.” Aksa menoleh ke samping kanan, ia melihat Anna dari ekor matanya.
Anna hanya bisa tersenyum mendengar ungkapan Aksa. Dari cerita Aksa ia kini tahu, dirinya tidak tamak, Al memang ingin Anna seperti ini, dan terlebih lagi Aksa juga sebenarnya ingin Anna juga seperti ini. Tak masalah menyimpan Aksa di dalam hati dan ingatannya, ia ingin Aksa selalu ada meski hanya sebuah kenangan dan perasaan di dalam hati.
-o-
Pagi harinya, Anna sudah membulatkan tekad, ia harus segera mengingat kembali ingatannya agar menjadi dirinya yang utuh demi Al dan Aksa. Gadis itu bisa mengingat sebuah ingatan bila sedang melihat atau berada di dalam situasi yang mirip dengan kejadian yang telah lalu. Saat ini Anna ingin segera kembali mengingat tentang ingatannya ketika bertemu dengan Al pertama kali. Dengan memanggil taxi, Anna pergi ke toko roti Al sambil membawa biolanya. Sebenarnya Aksa sudah melarang untuk pergi atau jika memang ingin ia meminta Anna untuk membangunkan Al agar menemaninya, tetapi gadis itu menolak.
“Aku ingin membuat kejutan untuk Al,” itulah yang dikatakan Anna.
Aksa jadi tidak bisa memaksa, akhirnya ia menemani gadis itu pergi. Di sepanjang perjalanan Aksa hanya memandangi pergelangan tangan kirinya, tulisan itu hanya dirinya yang bisa melihatnya, sisa waktunya memang masih lebih dari 15 bulan, tetapi jika digunakan berlebihan akan cepat habis, Aksa tak ingin pergi terlebih dulu di saat-saat seperti ini, masih ada suatu hal yang ingin ia sampaikan kepada Al dan Anna setelah pelaku itu tertangkap dan Anna benar-benar aman bersama Al.
“Anna, apa tidak lebih baik menghubungi Al untuk segera menyusulmu? Aku takut sesuatu terjadi, meski aku bisa melindungimu, tapi ingatlah aku ini hanya arwah.” Aksa memandangi pergelangan tangan kirinya sendu.
Anna tidak tahu apa yang dicemaskan oleh Aksa, tetapi kecemasan kekasihnya itu tentu berasalan dan tentunya adalah suatu hal yang penting. Gadis itu menimbang-nimbang untuk menghubungi Al, mungkin memang ada baiknya menghubungi lelaki itu, terlebih lagi untuk mengusir kecemasan Aksa.
“Baiklah, aku akan menghubunginya.” Anna segera menghubung Al melalui via panggilan di ponsel.
“Ada apa? Atas bawah saja telepon apalagi jauhan?” Al masih setengah sadar, ia sepertinya baru saja terbangun karena Anna meneleponnya.
Anna terkekeh mendengar gombalan pagi Al. “Aku sekarang sedang menuju toko rotimu. Maaf tidak membangunkanmu, awalnya aku ingin membuat kejutan, tapi kelihatannya Aksa marah sekali sekarang sampai cemas. Jadi, aku memutuskan menghubungimu sesuai keinginannya.”
Mata Al langsung terbuka lebar. “Apa? Kenapa tidak membangunkanku? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Hah?” Ia langsung membeo. “Aku segera menyusul.”
Panggilan berakhir, Anna hanya tertawa pelan sedangkan Aksa sudah nampak lebih lega sekarang ini. Sementara Al langsung terburu-buru mengendarai motor matic milik Anna, motornya sejak kecelakaan itu masih masa perbaikan, jadi ia harus memakai mobil kemana-mana. Seperti saat malam konser itu, Al kini juga memacu kecepatan motornya dengan cepat. Untung masih pagi dan belum masuk jam berangkat sekolah dan kerja, jadi ia bisa berkendara cepat dengan aman.
Al mendadak sebal saat ia terhenti karena lampu merah, ponselnya kembali berdering, sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenalinya. Tanpa berpikir ia langsung menekan gambar hijau di layar lalu menaruh ponselnya di selipan helm yang ia pakai.
“Siapa?” Al sedikit buru-buru, jadi tidak ada waktu untuk sopan santun.
“Lebih baik kamu segera sampai, jika tidak gadis itu dalam bahaya.” Suaranya terdengar seperti perempuan, tapi Al tahu ini hanyalah suara samarannya.
Tanpa menjawab lagi Al langsung memutuskan sambungan, ia kembali menaruh ponsel di saku jaketnya. Lampu lalu lintas masih  merah saat itu, tetapi Al langsung menerobos begitu saja, untung masih pagi, jadi tidak ada polisi yang berjaga. Saat melewati kendaraan lain yang sedang menyeberang jalan, Al langsung mendapat makaian dan umpatan, tetapi ia menerimanya dengan lapang dada karena kali ini memang ia yang salah.
-o-
Anna sedang berdiri di depan toko roti milik Al, Aksa masih setia menemaninya sambil melihat sekitar untuk memastikan keadaan aman. Pagi ini masih sepi di jalanan depan toko Al, jadi lebih mudah untuk mengamati. Anna mulai memegang biolanya, tangannya kembali bergetar, meski ingatan tentang kejadian di taman belum ia ingat, tetapi tubuh dan mentalnya mengingat dengan jelas hingga membuatnya tetap seperti ini meski lupa ingatan. Biola kini sudah berada di leher Anna, hanya tinggal menggeseknya saja, tetapi bukannya menggesek, tangannya masih mengapung di udara.
Aksa berdiri di belakang Anna, ia memegang tangan kanan Anna yang gemetar. Perlahan ia menuntun tangan yang memegang busur itu untuk menggesek dawai biola, belum sampai benang di busur biola menyentuh dawai, Anna langsung menurunkan kedua tangannya.
“Aksa, aku ingin berusaha sendiri.” Anna terdengar penuh tekad.
Aksa hanya manggut-manggut lalu kembali mengamati sekitar, ia masih cemas dan gelisah, harapannya sekarang ini adalah Al cepat datang dan tidak ada yang sedang mengincar Anna saat ini. Perasaan Aksa mulai tak enak, ia merasa sesuatu pasti akan terjadi, suatu kejadian yang buruk. Mata Aksa kini seperti mata elang yang sedang mencari mangsa, jalanan di depan toko roti milik Al saat pagi hari begitu sepi, dan di deretan jalan ini hanyalah toko-toko, jadi tak ada orang yang tinggal, bertambah sepi jadinya. Aksa mulai tegang, ia kini melihat sesosok orang yang sedang bersembunyi sambil membidikkan sebuah pistol ke arah Anna.
Sementara Anna masih terjebak dengan trauma mentalnya saat mencoba memainkan biola, ia kini kembali teringat akan kejadian sewaktu Mora marah-marah di taman, ditambah dengan kejadian malam konser itu. Anna mengingatnya secara lengkap.
“Anna, sembunyi, cepat!” Aksa memberi perintah sambil berlari menuju orang yang hendak menembakkan pistolnya.  Tetapi, Anna sama sekali tak bergeming, ia masih tetap berada di posisi hendak memainkan biola. “Anna,” panggil Aksa keras, Anna masih diam.
Aksa harus menjatuhkan pistol itu sebelum pelaku menekan pemicu, namun ia terlambat. Sebuah peluru menembus tubuh Aksa begitu saja. Mata Aksa langsung tertuju kepada Anna yang masih terdiam, ia berlari kembali ke arah Anna, Aksa bisa mencegah peluru itu untuk menembus tubuh Anna, tetapi ia sendiri yang akan terkena imbasnya dengan kehilangan banyak energi karena menerima peluru tersebut.
“Anna!” sebuah teriakan menyadarkan Anna.
Al kini berdiri di depan Anna sambil merentangkan tangan, lelaki itu berniat menghalangi peluru dengan tubuhnya. Jantung Anna langsung berpacu cepat, ia tak tahu apa yang sedang terjadi, kini ia hanya bisa memandangi punggung Al yang lebar.
“Al!” Aksa melebarkan matanya melihat peluru menembus perut sisi kiri Al, untung ia lebih tinggi dari Anna, jadi presentase peluru menembus anggota tubuh lain lebih besar.
TES TES TES.
Al memegangi bagian perutnya yang terkena peluru, darahnya menetes di atas terotoar. Ia jatuh terduduk sambil menahan sakit, Anna yang sempat melihat darah Al seketika panik. Gadis itu kini berada di depan Al sambil terduduk untuk melihat keadaan Al.
Aksa menatap marah ke arah pelaku, secepat kilat ia berada di samping pelaku tersebut. Tanpa menampakkan wujud, Aksa hendak memukul pergelangan tangan pelaku agar segera menjatuhkan pistol, namun di luar dugaan Aksa, orang itu kembali menekan pemicunya, sial pistol otomatis dan peredam suara.
“Anna!” Aksa berteriak sekeras mungkin.
Al mendengar dengan jelas teriakan Aksa, pasti ada suatu hal yang buruk pikir Al, sebab sampai-sampai Aksa ikut menyuarakan suara kepadanya. Dengan kesadarannya yang berada di ambang batas, Al mendorong tubuh Anna ke samping kiri agar gadis itu tak berada di depannya. Al yakin pelaku itu masih berada di posisi tadi yang ia lihat saat datang. Setelah Anna terjatuh ke samping, Al merasakan bahu kanannya terbakar, begitu sakit hingga membuatnya merasa sulit bernapas. Sebuah peluru kembali menembus Al, tepat di bawah tulang selangka kanannya.
“Al.” Anna langsung memegang lelaki itu sebelum wajahnya mencium terotoar, air mata Anna sudah bercucuran, jantungnya kini berdetak kencang, ia takut kehilangan Al, ia benar-benar takut.
Aksa benar-benar murka, ia langsung memukul pergelangan tangan pelaku hingga membuat pistol yang ia pegang terjatuh, Aksa menendang pistol tersebut agar terpelanting jauh hingga pelaku tidak dapat menjangkaunya. Aksa menampakkan wujudnya yang menyeramkan di depan orang tersebut, orang itu tidak kaget—sama sekali, malah ia tersenyum miring.
“Kurang ajar! Kau pantas mati, yang seharusnya mati itu kamu!” Aksa menghajar orang itu membabi buta hingga rambut palsu dan kacamata yang digunakan untuk penyamaran lepas semua, saat itulah Aksa melihat wajah pelakunya, tetapi kurang jelas karena orang itu menunduk sambil memegangi bekas pukulan Aksa. “Hidupmu tidak akan pernah tenang sebelum kamu membayar atas perbuatanmu.” Setelah pukulan terakhir yang Aksa berikan, ia kembali menghilang. Aksa segera berlari ke arah Al dan Anna meski kini dadanya terasa sakit, di pergelangan tangan kirinya, tulisan sisa waktunya kini berkedip-kedip merah, 13 bulan, tetapi Aksa tidak menyadarinya.
“Pukul saja terus dan abaikan keadaan lelaki yang sekarat itu,” ucap pelaku itu membuat Aksa membeku lalu segera pergi ke tempat Anna dan Al. Pelaku yang baru saja dihajar Aksa hanya tersenyum miring, ia memungut rambut palsu dan kacamatanya, tak lupa ia juga mengambil pistolnya yang tadi ditendang Aksa. “Yah, tak masalah, setidaknya pembalasanku kali ini membuahkan hasil.” Ia berjalan ke arah gang kecil yang gelap, lalu menghilang.
“Anna, cepat panggil ambulans.” Aksa berada di samping Anna.
Kepala Al kini bersandar di bahu Anna, pandangannya mulai memburam sekarang, nafasnya terasa berat. Meski buram, Al bisa melihat sosok Aksa yang sedang memanggilnya berkali-kali dan memintanya agar tetapbertahan. Ah, apa aku mau mati, ya? Aku bisa melihat Aksa, mungkin sekarang sudah mati. Oh, lalu kalau aku mati siapa yang akan melindungi Anna? Aksa? Tak bisa, ia hanya arwah yang punya batasan. Aku ingat, dulu aku membuat janji kepada Anna untuk melindunginya, setidaknya sekarang aku sudah menepati janjiku. Tapi, aku belum ingin mati, aku masih harus melindungi Anna.
Setetes air mata keluar dari pelupuk mata Al, ia tersenyum tipis sambil memandangi Aksa dengan pandangannya yang makin lama makin gelap. “Aksa,” panggilnya lirih, setelah itu semuanya gelap.

Promise to AnnaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora