Dikala 2

45 5 0
                                    

"Iya, Dik. Besok masuk siang. Lo masih bisa molor dulu," jawab Naka pada Dika. Ia segera melajukan motornya setelah menjawab pertanyaan Dika.

"Gue cabut duluan, bro," ucap Air yang diangguki Dika. Motor tua itu pun melaju setelah klaksonnya berbunyi sebanyak dua kali. Giliran Dika yang pulang. Dika segera mengenakan Pororo, lalu menyalahkan mesin Piko dan mulai mengendarainya pelan menuju gerbang kampus. Perhatiannya teralih pada satu objek.

"Hei! Ngapain di sini? Udah mau pulang?" tanya Dika ramah padanya. Dua bola mata itu menabrak mata Dika. Dika bisa menyaksikan bahwa di sana ada sesuatu yang terjadi. Mata itu sedikit redup dari pagi tadi.

"Dik, boleh minta tolong lagi?" tanyanya pelan.

Dika hanya menaikkan alisnya. Bibirnya bergerak gelisah. Antara mau berbicara atau diurungkan.

"Ada apa, Di?" tanya Dika.

"Bisa anterin gue lagi nggak? Janji, deh, ini yang terakhir," pintanya. Matanya mulai berair. Sepertinya akan menangis. Dan benar. Tak lama, salah satu matanya pun mengeluarkan air hujan. Salah satu kelemahan Dika adalah tidak bisa melihat wanita menangis. Dika yang tak tega, langsung mengiyakan.

"Ayo, naik. Ke mana, Di?" tanya Dika.

"Ke Rumah Sakit Lentera," jawabnya pelan.

Tanpa banyak tanya, Dika segera mengendarai motornya keluar dari kampus. Diam-diam Dika melihat wajah Diaa dari kaca spion Piko sebelah kanan. Lagi, air matanya keluar. Ada satu pertanyaan yang mengusik kepala Dika. Diaa kenapa?

"Dik ... bisa cepetan dikit nggak? Minta tolong," teriaknya. Aku mempercepat laju Piko. Bisa Dika rasakan kegelisahannya duduk di belakangnya. Ya, maaf. Andai Piko punya sayap, sudah Dika terbangkan ia biar gak terjebak di antara kemacetan seperti sekarang ini. Dika berusaha membuat Piko mencari celah di antara kendaraan roda empat yang rasanya sudah mau memeluk mereka. Sahutan protes dari beberapa pengemudi dihiraukan saja begitu Piko berlenggak semaunya di bawah kontrol Dika.

Rumah sakit sudah terlihat dari hadapan mereka. Tapi tiba-tiba ada dua orang berseragam cokelat krim menghadang motornya. Ya, siapa lagi kalau bukan polisi.

"Selamat pagi, Mas!" sapa salah satunya.

"Pagi, Pak! Ini ada apa, ya? Kok, saya dihadang?" tanya Dika.

"Yang Mas bonceng ini nggak pake helm. Mas jelas melanggar aturan," ucap salah satu polisi yang badannya lebih jangkung.

Dika baru sadar. Diaa tak memakai helm. Dika melihat wajahnya. Terlihat pucat pasi. Kalau gini masalahnya jadi panjang. Dika segera turun dari motor dan menyuruh Diaa juga turun. Dika kembali melihat kedua tangan Diaa yang saling bertaut dan ... gemetar.

"Pak, ini salah saya. Periksa saya saja. Biarin teman saya ini ke rumah sakit itu," tunjuk Dika. "Ada urusan urgent. Kalau ditahan, bisa bahaya," lanjutnya.

Kedua polisi itu saling bertatapan. Mungkin berbicara lewat mata sampai akhirnya mengangguk. Kayak pasangan aja. Tanpa berbicara, Diaa segera berlari ke rumah sakit itu setelah menangkupkan kedua tangannya berterima kasih.

Dika menggaruk ujung alisnya sembari mencari ide untuk menyelesaikan urusan ini tanpa berlarut-larut. Ia merogoh ponselnya setelah mendapatkan satu ide. Ia langsung mendial satu nomor yang sudah ia temukan di daftar kontak.

"Halo, Mas. Mas lagi sibuk?" Benar. Dika sedang menelpon masnya. Bukan maksudnya mencari pembelaan, tapi biar urusan ini cepat kelar. Ada satu hal yang lebih penting dari ini.

"Enggak, Dek. Ini lagi rehat. Ada apa? Tumben telpon Mas. Biasanya ada maunya baru nelpon, nih," ucap masnya di sebelah. Dika hanya terkekeh pelan. Bisa dibilang begitu, sih.

Catatan Dikala: Dia yang Kusebut KekasihWhere stories live. Discover now