PROLOG

29 9 2
                                    

Jika bahagia adalah kehidupan, maka luka, lara, sakit dan sesal adalah bagian dari hidup. Jung Jerra sadar akan porsi yang ia terima, ia hidup namun tak memiliki kehidupan. Mencecap segala pahit tanpa manis. Sekalipun ia mencecap rasa baru, itu akan terasa hambar dan hampa. Terkadang ia juga merenung bertanya pada sepi mengapa harus seperti ini hidupnya. Ia pernah menangis tersedu-sedu menyalahkan semesta, meraung-raung bak orang paling menderita.
Ia menolak segala fakta yang diberikan semesta. Namun sekeras apapun ia menolak akan fakta yang ada, fakta tetaplah fakta. Ia tak akan pernah bisa menyangkal sejengkal pun walau ia ingin.

Berteman secangkir cokelat panas ditangannya, ia kembali melempar tanya pada seseorang yang kini tengah menatap jengah padanya, "Jika itu yang dia inginkan mengapa kau tidak menyetujuinya saja? Kau tidak perlu jauh-jauh datang kemari hanya untuk mendapatkan persetujuan dariku."

"Kau mengatakan semua itu seolah dia hanya meminta permen, sialan."
Na Jimin, pemuda yang menjadi lawan bicara Yoora kini benar-benar ingin pergi ke jalanan dan menabrakan diri ke arah truk. Ia sudah terlalu lelah berbicara dengan sahabatnya yang kelewat acuh tak acuh. Namun tetap saja raut khawatir nampak terlihat jelas di wajah tampannya.

Melihat bagaimana wajah Jimin yang kini sudah sepenuhnya kusut, akhirnya Jerra sedikit menghangatkan sikapnya lalu membalas pernyataan pemuda Na itu dengan tenang, "Dia hanya memintaku untuk datang ke acara pernikahannya saja bukan?"

"Hanya? Kau menganggap itu hanya?" Jimin tak habis pikir. Bagaimana bisa Yoora menghanyakan sesuatu yang telah membuatnya hampir gila.

"Memangnya kenapa Ji? Itu bukan hal besar. Aku hanya perlu datang, mengucapkan selamat, lalu kembali pulang. Lagipula kau ikut bersamaku bukan? Tak ada yang perlu dicemaskan atau di permasalahkan." Balasnya dengan nada bicara yang kelewat tenang.

"Hatimu?"

Jerra nampak terdiam untuk beberapa detik, lalu kembali menjawab dengan yakin, "Baik-baik saja. Tak akan sesakit dulu."

"Kau yakin?" tanyanya pada Jerra sekali lagi. Sebenernya Jimin tahu bahwa Jerra tidak baik-baik saja mengingat ia amat tahu bagaimana wanita itu bertahan sampai sejauh ini, namun tetap saja ia harus memastikan.

"Ya. Aku sangat yakin Na Jimin!" Tanpa sadar ia menjawab pertanyaan Jimin dengan cukup keras dan tentu saja itu membuat Jimin terkejut.

"YAA! JUNG JERRA! AKU DATANG JAUH-JAUH DARI BUSAN KE SEOUL UNTUK MEMBERITAHUKAN KABAR BURUK DARI BAJINGAN JEON ITU DAN RESPON YANG KAU BERIKAN INI SANGAT MENYEBALKAN." Jimin berteriak dengan cukup keras. Wajah yang beberapa saat lalu penuh dengan kekhawatiran kini berganti dengan wajah frustasi.

"ITU SALAHMU SENDIRI BODOH. KENAPA KAU HARUS DATANG KEMARI HANYA UNTUK SEBUAH PERSETUJUAN? KAU TIDAK HIDUP DI JAMAN BATU TUAN MUDA NA JIMIN. KAU BISA MENGGUNAKAN HANDPHONE MILIKMU UNTUK MENELEPON ATAU SEKEDAR MENGIRIM PESAN." Jerra mengakhiri sesi berteriak nya dengan cukup terengah. Ia tidak terima diteriaki sedangkan yang salah disini adalah Jimin

***

Percakapan singkat yang diakhiri sesi berteriak kini hanya tersisa hening. Mereka sepakat untuk tidak memperpanjang percakapan yang tidak sepenuhnya penting tersebut. Memang seperti itulah Jerra dan Jimin, ada kalanya mereka terlihat seperti sepasang kekasih dan ada kalanya terlihat seperti musuh bebuyutan.

Kini, keduanya sedang bersantai didepan televisi. Jimin memutuskan untuk menginap di apartemen Jerra dibanding hotel. Jimin termasuk kedalam orang yang enggan mengeluarkan uangnya. Ia memang sangat sering menghamburkan uang, akan tetapi ia tidak bisa melewatkan sesuatu yang berbau gratis.

Jika Jimin sedang asik menonton acara yang sedang tayang di televisi, maka dengan pandangan lurus nan kosong nyatanya Jerra mempertanyakan kembali pada hatinya apakah ia yakin dengan apa yang ia katakan tadi? Apakah ia akan baik-baik saja? Atau apakah sekarang ia baik-baik saja? Ia tidak yakin dengan dirinya sendiri, semuanya terasa begitu semu.
Kembali teringat pada perkataan pertama yang keluar dari mulut Na Jimin sejak pemuda itu datang dan duduk didepan Jerra, kini sudut pada hatinya merasakan nyeri yang teramat nyata.

"Setelah sekian lama menghilang, akhirnya Jeon Jungkook datang kerumahku tadi siang dan berkata bahwa ia akan menikah bulan depan. Ia tidak memberikan surat undangan karena ia terlalu takut dan malu untuk sekedar melihat wajahmu. Jika tidak keberatan, Jungkook memintamu datang di hari pernikahan nya. Ia menyuruhku meminta persetujuan mu terlebih dahulu agar ia setidaknya bisa menyiapkan nyalinya nanti."

Hai!! Ini cerita perdana aku❤️
Jangan lupa untuk memberikan vote dan sedikit jejak disini🌹💗
enjoy reading ❤️

EphemeralWhere stories live. Discover now