TIGA PULUH EMPAT

383 26 11
                                    

Kehidupan Ailen disekolah tidak tenang lagi. Teman-temannya membully dan mencemoohnya sepanjang jalan. Adik kelasnya hingga kakak kelasnya membully-nya jika Ailen tampak berada dimana pun disisi sekolah. Bahkan diluar sekolah pun jika ia bertemu teman-temannya dengan tidak sengaja, mereka akan melemparinya dengan krikil yang dapat ditemukan disepanjang jalan. Kemarahan teman-temannya, kebencian mereka, Ailen tidak dapat menghentikannya. Ia meringis melihat bajunya yang kotor karena baru saja disemprot saos oleh adik kelasnya karena bertemu di kantin. Baju putihnya yang kotor hingga matanya yang tak sengaja terkena saos hingga terasa pedas.

Seseorang menghadangnya dan membersihkan wajahnya dari saos dengan sapu tangan. Ailen mengedip-ngedipkan matanya ketika saos itu tak lagi mengganggu pengelihatannya.

"Kita perlu ke toilet untuk membersihkan wajahmu," kata orang itu. Suaranya yang lembut dapat menenangkan hati yang gundah. Ailen tertegun ketika mengetahui siapa yang berbaik hati padanya.

"Riana." Ada Rasa lega dalam diri Ailen ketika Riana tersenyum kepadanya.

"Aku memiliki baju ganti, kau bisa menggunakannya." Riana menarik dengan lembut pergelangan tangan Ailen.

Mereka memilih jalan pintas yang jarang dilalui murid-murid yang lain menuju toilet. Memastikan tidak ada orang di toilet, Riana menarik Ailen ke dalam. Gadis itu membantu Ailen mengganti baju seragamnya.

"Terimakasih Riana." Ailen tersenyum tulus membuat Riana merasa kasihan. Bukannya Riana tidak tahu yang dialami Ailen, ia sangat tahu. Ketiga sahabatnya tanpa rasa bersalah mengakui apa yang telah mereka perbuat.

Dalam beberapa hari ini, Riana melihat Ailen dibully teman-temannya. Ia ingin menolong gadis itu, akan tetapi ketiga sahabatnya menghalanginya.

Sungguh Riana tidak tega dengan apa yang dialami Ailen. Sepanjang gadis itu berjalan di koridor sekolah, ia akan diludahi, dicaci maki, disiram dengan air penuh sampah. Sangat memperihatinkan keadaan Ailen dalam beberapa hari ini. Riana sebagai gadis yang masih memiliki hati nurani, tidak tahan melihat keadaan Ailen. Sesungguhnya Ailen bukanlah orang yang bersalah.

"Apa setiap hari baju seragammu akan sekotor ini?" tanya Riana.

Sejujurnya Ailen tidak dapat menjawab. Karena baju seragamnya pun tak luput dari serangan teman-temannya. Setelah pulang sekolah, ia langsung mencuci baju seragamnya yang akan ia gunakan esok harinya. Ia mempunyai beberapa baju ganti tapi itu pun terkena imbasnya.

"Ailen maafkan aku, semuanya karena aku sehingga sahabatku membuat kekacauan." Riana menggenggam tangan Ailen. Ia tak tega dengan keadaan Ailen saat ini. Ailen masih bisa tersenyum walau semua yang dilaluinya. Sungguh Riana merasa bersalah karena dulu sempat mengira Ailen munafik karena selalu tersenyum.

"Tidak Riana, kau sama sekali tidak bersalah. Jika aku dapat menghentikan perbuatan kakaku, mungkin semua ini tak akan terjadi. Aku sadar kalau kami pembawa masalah dalam hidupmu," ujar Ailen.

Riana tak dapat menahan kesedihannya, ia benci Gina tapi tak akan membenci Ailen karena ia tahu Ailen sama sekali tidak bersalah. Dulu ia pikir Ailen adalah masalah dalam hubungannya dengan Ralex tapi nyatanya gadis itu sama sekali tidak pernah berniat menghancurkan hubungannya.

"Kau sama sekali tidak bersalah Ailen, aku akan berusaha menghentikan pembullyan ini." Riana tidak akan tinggal diam ketika ketiga sahabatnya membuat kekacauan. "Kau tenang saja, pembullyan ini akan berakhir."

"Tidak perlu Riana, aku pantas menerimanya."

Riana menghela nafas, "kau ini terlalu baik sehingga terlihat seperti orang bodoh."

Perkataan Riana sama sekali tidak menyingung Ailen. Ia menyadari jika ia memang bodoh, jika ia tidak bodoh, ia dapat menghentikan tindakan Gina. Mungkin semua ini tidak akan terjadi.

"Tidak perlu khawatir, aku akan selalu ada di sampingmu jika mereka ingin membully-mu kembali."

Ailen terharu dan tanpa sadar memeluk gadis itu. Riana tercengang, ia tak menyangka akan mendapat pelukan dari Ailen. Ia membalas pelukan Ailen dan mengelus punggung gadis itu. Ia mendengar suara Isak tangis Ailen untuk pertama kalinya. Rasa bersalah meliputi Riana, Ailen gadis yang selalu tersenyum kini menangis di pelukannya. Ia memeluk Ailen dengan rasa haru.

Suara tepuk tangan membuat Ailen mengakhiri pelukannya. Ia menoleh pada pintu toilet yang terbuka. Ia lupa mengunci pintu toilet sehingga orang yang tidak diharapkan muncul.

"Wah, wah, wah lihat drama apa yang kita tonton ini."

Riana melihat ketiga sahabatnya memandangnya tak percaya. Mereka terlihat tak suka dengan kedekatan Riana dan Ailen.

"Aku benci sekali melihat sahabatku dekat dengan pembawa masalah. Riana sudah berapa kali kami bilang bahwa seharusnya kau tidak usah dekat dengan Ailen." Itu Tiani yang berbicara. Ia kecewa melihat Riana menjadi dekat dengan Ailen.

"Riana kami kecewa padamu," lanjut Misya. Sedangkan Sarly tampak tak berniat mengikuti pembicaraan. Ia malah memandang Ailen lama membuat Ailen tak berani melihatnya.

"Seharusnya aku yang kecewa pada kalian. Sudah kukatakan bahwa Ailen sama sekali tidak bersalah, mengapa kalian malah membuat Ailen bersalah di mata teman-teman sekolah kita." Riana tak habis pikir. Mengapa ketiga sahabatnya harus melakukan itu.

"Ailen itu bukan orang baik Riana," Misya berusaha menyakinkan Riana akan tetapi gadis itu malah menatap mereka dengan marah.

"Kalian harus menghentikan pembullyan ini dan katakan kepada teman-teman sekolah kita bahwa ini semuanya salah paham," kata Riana.

"Tidak bisa." Sarly yang awalnya tidak tertarik melihat pertengkaran ini kini akan bicara.

Riana mengalihkan pandangannya pada Sarly yang tampak lebih dewasa berpikir diantara mereka berempat.

"Kenapa tidak bisa?"

"Karena ini bukanlah salah paham. Gadis aneh itu pantas mendapatkannya," balas Sarly sembari melipat tangannya. Ia memandang Riana tajam membuat Riana sedikit gemetar. Tapi itu tak lama ketika ia mengingat kembali apa yang telah Sarly perbuat pada Ailen.

"Tapi Ailen sama sekali tidak bersalah. Itu salah kakaknya bukan salah Ailen."

Sarly tertawa, "sebenarnya kami bingung padamu Riana. Kau ini menganggap kami ini apa?"

"Tentu saja kalian sahabatku," balas Riana.

"Lalu jika kami sahabatmu. Mengapa kau lebih mementingkan Ailen daripada kami?" tanya Sarly.

"Karena Ailen tidak bersalah. Sudah kukatakan beberapa kali kalau itu semuanya bukan salah Ailen." Riana masih bersikeras membela Ailen membuat Sarly muak.

"Tidak bersalah? Tapi gadis itu tidak dapat menghentikan kakaknya yang luar biasa tak tahu malu." Sarly menatap tajam. Wajahnya yang cantik tampak seperti pemeran antagonis.

"Ailen tidak mengetahuinya, jika ia tahu isi hadiah itu, ia akan berusaha menghentikannya."

"CUKUP RIANA!"

Misya sudah terlanjur emosi, ia menunjuk wajah Ailen dengan ganas.

"Kau selalu membela si sialan ini. Seberapa penting dia untukmu dibandingkan kami sahabatmu?"

"Kalian sangat penting," ujar Riana yang malah membuat Misya tertawa miris.

"Jika kami penting untukmu, kenapa kau sangat membela gadis sialan ini. Jangan katakan bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Dia tetap bersalah, jika dia dan keluarganya tidak ada dalam hidupmu. Mungkin kau tidak akan salah paham pada tuan Ralex."

"Ingat Riana, kami lah yang selalu ada di sampingmu jika kau memiliki masalah. Bukan Ailen." Tiani menambahi seraya keluar dari toilet diikuti Misya dan Sarly. Sarly menoleh sejenak dan menatap Riana tajam.

"Kau berkata bahwa Ailen tidak bersalah tetapi faktanya dia selalu menambah masalah dalam hidupmu."

𝐓𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐝𝐮𝐤𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚.

TBC.

Riana & RalexWhere stories live. Discover now