Feelings | 01

2.8K 317 102
                                    

"'Cause, you're so fucking fake, ah-ah ... You don't mean a single thing you say, ah-ah ... If we got a problem, say it to my face, ah-ah ... And you're just like all the people that you hate, you're so fake! When the real you's back, I'll pick up my phone."

Laki-laki yang sedang bernyanyi sambil memboncengku dengan motor vespa ini namanya Trian. Dia teman satu kamar idekosku, sekaligus anak dari sahabat mamaku. Umurnya dua tahun lebih tua dariku. Dia kuliah di salah satu Universitas ternama di kota Bandung—yang kebetulan adalah Universitas incaranku.

Saat Mama Trian tahu bahwa aku akan bimbel di Bandung—untuk mengikuti SBMPTN tahun depan, beliau langsung menawarkan ke mamaku agar aku tinggal satu kamar indekos dengan Trian. Katanya, supaya pengeluaranku nggak terlalu banyak dan aku punya teman untuk mengobrol.

Ya, memang, sih, pengeluaranku jadi nggak terlalu banyak. Tapi aku jadi agak pusing karena harus beradaptasi dengan sifat Trian yang kadang nggak jelas. Seperti saat awal-awal tinggal misalnya, Trian mencoba menakut-nakutiku dengan cerita horor yang "katanya" dia alami sendiri di indekos itu. Mulai dari suara orang mengetuk pintu di malam hari, sampai suara alarm dari kamar kosong di ujung lorong. Pas kutanyakan ke pemilik indekos, nggak ada, tuh, hantu atau hal-hal semacam itu di indekos. Aku juga nggak pernah—dan jangan sampai—mengalami hal semacam itu.

Hal-hal seperti itu lah yang membuatku kadang sulit percaya bahwa kami berdua sudah saling kenal sejak kecil. Anehnya, aku sama sekali nggak ingat apapun tentang kenangan masa kecil kami berdua. Bahkan aku nggak ingat seperti apa wajah Trian saat masih kecil.

"Kamu udah makan, belum?"

Trian seperti mengatakan sesuatu ketika lampu merah di simpang empat pasir kaliki menyala. Aku sedikit memajukan kepalaku karena suara Trian kalah keras dengan suara pengamen jalanan yang sedang bernyanyi.

"Kenapa, Ian? Kamu ngomong apa?" Aku agak mengeraskan suaraku.

Trian membelokkan pandangannya dan berkata, "aku nanya, kamu udah makan atau belum?"

"Oh ... belum," jawabku.

"Mau beli makanan dulu, nggak, sebelum balik ke kosan?"

"Boleh."

"Mau makan apa?"

Aku diam sejenak dan berpikir. "Pecel lele Pak Kumis udah buka, belum, jam segini?"

Trian menatap arloji yang melekat di tangan kirinya. "Kayaknya, sih, lagi beberes. Tapi kita lihat aja, kali, ya?"

"Oke," kataku bersamaan dengan lampu hijau yang mulai menyala.

Langit di kota Bandung sudah gelap. Lampu-lampu di berbagai tempat mulai menyala. Setelah sempat berhenti lagi di lampu merah persimpangan Pasteur, kami berdua akhirnya sampai di kedai pecel lele Pak Kumis, di dekat Universitas Kristen Maranatha. Nggak jauh dari kedai itu, ada sebuah warung kopi di bawah pohon besar dan Trian memarkirkan vespanya di dekat warung itu.

Aku lantas turun dan berusaha membuka helmku—yang entah kenapa agak susah dilepas karena klik helmnya sedikit macet.

"Manéh kunaon?" Trian setengah tertawa melihatku—yang jika diartikan ke bahasa Indonesia ucapannya adalah, "kamu kenapa?"

"Susah dicopot."

"Sini, aku copotin." Laki-laki yang lebih tinggi beberapa senti dariku itu medekat dan membantuku membukakan klik helmnya.

"Makasih." Aku langsung memberikan helm itu kepadanya dan berjalan meninggalkannya terlebih dahulu.

Ketika masuk ke dalam kedai, aku langsung melihat isi etalase kaca. Ada ayam, bebek, ikan lele, tahu, tempe, dan juga sate ati ampela yang dibumbui dengan bumbu kuning.

FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang